MENAKAR
KEPENTINGAN USA-IRAN DALAM NORMALISASI
ISRAEL DENGAN UNI EMIRAT ARAB
Mahasiswa
Ilmu Hubungan Internasional
Universitas
Paramadina
(min.basir@gmail.com)
PENDAHULUAN
Diskursus tentang Geopolitik
Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari tiga fenomena utama yaitu persaingan
perebutan pengaruh antara Iran dan Arab Saudi, konflik berkepanjangan antara
Israel dengan Palestina dan keterlibatan Amerika Serikat dalam setiap konflik
yang terjadi di kawasan tersebut. Iran dan Arab Saudi menjadi dua aktor penting
dalam percaturan politik Timur tengah. Perseteruan kedua negara dengan
penghasil minyak terbesar di Timur tengah, diperparah dengan isu sektarian
Sunni Shia yang selalu dimunculkan di perbedaan. Konflik Israel-Palestina
sendiri merupakan konflik berkepanjangan sejak gerakan Zionisme dimulai.
Sejarah mencatat bahwa Amerika
Serikat selalu berada pada garis depan dalam setiap konflik di Timur tengah
baik keterlibatan secara langsung maupun menjadikan negara lain sebagai proxy.
Amerika Serikat semakin menancapkan pengaruhnya di Timur tengah pasca tragedi
9/11 dengan dalih untuk memerangi kelompok Teroris. Pidato Presiden Amerika
Serikat saat itu, George W Bush “You’re with us or against us” menjadi alat
legitimasi Amerika Serikat masuk dalam perccaturan geopolitik Timur tengah.
Pidato George W Bush tersebut dimaknai sebagai sebuah seruan Amerika Serikat
terhadap negara-negara lain untuk memilih bersama dengan Amerika Serikat memerangi
kelompok Teroris atau menjadi bagian dari kelompok Teroris jika tidak bersedia
membantu Amerika Serikat.
Konstalasi perpolitikan di Timur
Tengah berubah drastis pasca revolusi Iran 1979. Iran yang sebelumnya dipimpin
oleh Mohammad Reza Pahlevi sangat dekat dengan Amerika Serikat, ditumbangkan
oleh gelombang revolusi yang kemudian mengantar Ayatullah Khomeini ke puncak
kekuasaan. Iran kemudian menjadi sebuah negara teokrasi yang dikenal dengan
Negara Republik Islam melalui referendum nasional. Revolusi tersebut membuat
hegemoni Amerika Serikat di Iran memudar dan berubah menjadi negara yang paling
reaktif menentang dominasi Amerika Serikat di Timur tengah. Pada bulan Oktober
1981 sesaat setelah dilantik, presiden Ali Khamenei berpidato dengan penekanan bahwa
Iran akan menghilangkan pengaruh Amerika Serikat.
Tidak bisa dinafikan bahwa pasca
kejadian 9/11, Amerika Serikat, Arab Saudi dan Iran menjadi aktor penting di
kawasan Timur tengah. Setiap konflik yang terjadi selalu diwarnai wacana
tentang keterlibatan ketiga negara tersebut. Konflik Suriah tidak luput dari
tudingan keterlibatan ketiga Negara. Iran mendukung Pemerintahan Bashar
al-Assad dalam memerangi kelompok oposisi sedangkan Amerika Serikat dan Arab
Saudi berada di posisi yang lain membantu kelompok oposisi untuk mencoba
menggulingkan pemerintahan yang sah. Konflik ini menjadi kabur karena diframing
menjadi konflik sektarian antara kelompok Shia dengan Sunni. Konflik yang
terjadi di di kawasan Timur tengah menjadi arena proxy war antara Iran berhadapan
dengan Arab Saudi dan Amerika Serikat.
Iran menjadi negara antitesa bagi
Amerika Serikat di Timur tengah. Hubungan antara kedua negara tidak pernah
menemui titik temu bahkan ketegangan nampaknya mengarah menjadi sebuah perang
terbuka ketika di awal tahun 2020, terjadi tragedi kematian Jenderal yang
sangat berpengarah di Iran, Qasem Soleimani. Jenderal yang menjabat sebagai
komandan Pasukan Garda Revolusi tersebut meninggal di Irak oleh serangan udara
Amerika Serikat. Iran merespon tragedi tersebut dengan ancaman akan melakukan
serangan balik yang lebih besar terhadap penjahat.
Perseteruan panjang antar Amerika
Serikat dan Iran tidak hanya dalam bentuk konflik terbuka bahkan dalam bentuk
lain dengan cara melakukan praktik hegemoni terhadap negara lain di kawasan
Timur tengah. Amerika Serikat mempunyai Israel sebagai pion di Timur tengah
sehingga memudahkan untuk melakukan akselerasi politik. Perebutan hegemoni
negara-negara lain di kawasan Timur tengah sangat penting untuk melemahkan kubu
lawan. Praktik yang sama terjadi ketika Amerika Serikat dan Uni Sovyet masih
menjadi kekuatan Bipolar selama perang dingin. Nampaknya pola yang sama terjadi
antara Amerika Serikat dengan Iran di Timur tengah.
Normalisasi hubungan antara
Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan beberapa negara lain di Timur tengah
yang dimediasi oleh Amerika Serikat menandakan bahwa konsep tentang hegemoni
dan teori domino masih relevan dalam mengubah geopolitik dalam sebuah kawasan.
Penandatangan kesepakatan normalisasi kedua negara bahkan dilakukan di Gedung
Putih, Amerika Serikat pada tanggal 15 September 2020. Iran tentunya menjadi
aktor yang paling dilemahkan terkait langkah politik yang diambil oleh
pemerintah UEA menerima pinangan Amerika Serikat untuk menandatangani Abrahan
Accord sebagai bentuk normalisasi hubungan diplomatic dengan Israel. Seperti
apa posisi Iran setelah proses normalisasi antara Israel dan UEA beserta negara
Timur tengah yang juga akan mengikuti langkah UEA.
KERANGKA BERPIKIR
1.
Hegemoni
Kajian tentang konsep Hegemoni
secara sederhana bisa ditemukan dalam literatur Yunani yang diartikan sebuah
sebuah dominasi dalam sebuah kepemimpinan negara. pada perkembangan
selanjutnya, Hegemoni kemudian dieksplorasi lebih mendalam oleh Antonio Gramsci
yang mendasari analisanya dari ekonomi politik yang meskipun Gramsci dikenal
sebagai seorang Marxis, Gramsci berbeda pendapat tentang konsep determinisme
ekonomi. Gramsci memandang bahwa faktor ekonomi memang sangat penting namun ia
meragukan bahwa determinisme ekonomi menjadi satu-satunya faktor yang mendorong
terjadinya revolusi oleh massa arus bawah.
Konsep Hegemoni yang dikembangkan
oleh Antonio Gramsci sangat penting dalam melihat peta perpolitikan global
dalam hal perebutan pengaruh. Meskipun pada dasarnya bahwa konsep tersebut
muncul dari analisa Gramsci melihat hubungan penguasa dengan rakyatnya. Dalam
perkembangannya, praktik hegemoni dalam berbagai bidang, ditempuh oleh
negara-negara besar dalam melakukan penjajahan model baru tanpa harus melalui
peperangan. Hal ini yang kemudian mengaburkan banyak hal karena negara yang
dijajah dalam bentuk hegemoni seringkali tidak menyadari penjajahan yang sedang
dialami.
Hegemoni dalam konsep Antonio
Gramsci secara sederhana bisa diartikan sebagai berikut:
Suatu pengetahuan atau ideology atau
keyakinan baru yang dimasukkan secara terselubung, pembiasaan maupun dengan
paksaan(doktrinasi) ke dalam atmosfir baru. Bisa jadi kesadaran maupun
pengetahuan yang mengendap dalam Masyarakat merupakan program “hegemonik” oleh
subyek kelompok tertentu.
2.
Teori
Domino
Pada tahun-tahun awal pasca
berakhirnya perang dunia kedua, konstalasi politik dunia menjadi tatanan global
yang Bipolar. terbagi menjadi dua kubu antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Kajian Hubungan
Internasional saat itu didominasi oleh perspektif Realisme dimana aktor yang
terlibat adalah negara. Negara-negara periferi pada momen tersebut tidak bisa
mengambil pilihan rasional bagi negara, kedaulatan mereka tergerus oleh
kepentingan dua kekuatan besar beserta aliansinya.
Amerika Serikat dan Uni Sovyet
pada saat itu tidak pernah terlibat dalam perang terbuka namun persaingan
mereka mewujud dalam perang proxy di wilayah lain. Perebutan pengaruh juga
tercermin dalam indoktrinasi ideologi masing-masing di negara lain. Semakin
banyak negara yang mampu dipengaruhi maka secara psikologis, negara terdekat
akan mudah dipengaruhi.
Konsep efek domino menjadi sangat
populer pada masa perang dingin. Konsep dalam strategi internasional dalam
menganalisa bagaimana sebuah kekuatan besar menanamkan pengaruhnya pada negara
di sebuah kawasan. Jika sebuah negara di suatu kawasan sudah jatuh dalam
hegemoni kekuatan besar maka secara alamiah, negara-negara tetangga akan ikut
terseret seperti rangkaian domino yang akan tumbang secara berurutan menimpa
negara di dekatnya.
Teori Domino adalah sebuah interrelasi strategis yang bersifat
ideologis yang bertesis bahwa jatuhnya suatu negara kedalam jurang komunisme
akan men-ciptakan spillover yang merambat ke negara-negara di sekitarnya
Meskipun konsep ini sudah mulai ditinggalkan sejak runtuhnya kekuatan Uni
Sovyet pada tahun 1989 membuat Amerika Serikat tidak lagi mempunyai lawan yang
sepadan, namun konsep efek domino relevan dalam menggambarkan situasi
geopolitik di Timur tengah saat ini. Negara Islam Iran yang muncul sebagai
sebuah kekuatan baru mencoba menentang supremasi kekuatan Amerika Serikat yang
sudah sejak lama mendeklarasikan negara mereka sebagai pemimpin dunia.
Konsep efek domino yang sudah ditinggalkan kembali menemui momennya dalam
membendung akselarasi politik Iran di Timur tengah. Amerika Serikat memiliki
Israel sebagai kartu AS di kawasan Timur tengah yang berperan penting dalam
melanggengkan kepentingan Amerika Serikat di Timur tengah.
PEMBAHASAN
Geopolitik Timur
Tengah dalam Bingkai Kepentingan Amerika Serikat dan Iran
Timur Tengah adalah Sebuah
kawasan yang sangat sangat unik dan memiliki sejarah panjang dalam perjalanan
kehidupan Manusia. Yerussalam adalah salah satu daerah yang dikenal sebagai
asal dari tiga agama samawi. Agama yang dianggap membawa kedamaian terhadap
kehidupan Manusia namun menjadi sangat paradoks karena ternyata, Timur Tengah
adalah kawasan dengan sejarah panjang konflik yang tidak pernah menemui titik
temu.
Dari perspektif ekonomi Politik,
Timur Tengah tidak pernah lepas dari konflik karena kawasan tersebut
dianugerahi Minyak bumi yang melimpah sehingga menjadi daya tarik negara lain
untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan ini dalam rangka memperoleh kepentingan
ekonomi. Kawasan Timur tengah adalah lahan basah bagi para negara besar untuk
mendulang kepentingan ekonomi. Minyak bumi yang melimpah ruah di kawasan
tersebut menjadi salah satu penyebab utama terjadi konflik yang berkepanjangan.
Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling berkepentingan di kawasan
Timur tengah. Keikutsertaan mereka pada perang dunia kedua membawa dampak
kerugian ekonomi yang begitu besar meskipun mereka menjadi satu dari dua negara
superpower pada saat itu. Untuk menutupi kerugian ekonomi pada masa perang
dunia, Amerika Serikat tentunya membutuhkan sumber daya alam dalam jumlah besar
khususnya Minyak bumi. Kawasan Timur tengah sebagai penghasil minyak bumi
terbesar di dunia tentunya menjadi ladang paling potensial untuk melakukan
recovery kerugian mereka dalam perang dunia.
Keterlibatan Amerika serikat
dalam kancah percaturan politik Timur tengah tidak bisa dilepaskan dari andil
Arab Saudi. Bermula pada Februari 1945 ketika Franklin D Roosevelt bertemu
dengan Abd Aziz bin Saud yang
menghasilkan sebuah keputusan saling menguntungkan. Arab Saudi menjual murah
Minyak bumi di pasar global dan sebagai imbalannya, Amerika serikat melindungi
Arab Saudi. Kesepakatan
tersebut dijadikan pintu masuk bagi Amerika Serikat untuk menguatkan
pengaruhnya di kawasan Timur tengah.
Naiknya Mohammad Reza Shah
Pahlevi pada tahun 1953 sebagai pemimpin Iran membuat pengaruh Amerika serikat
di Timur tengah semakin kuat karena kedekatannya dengan Iran. Hal ini tidak
terlepas karena jatuhnya perdana menteri Mohammed Mossadegh adalah sumbangsih
dari Amerika Serikat melaui CIA.
Romantisme antara Amerika
Serikat, Iran dan Arab Saudi akhirnya berakhir setelah pecahnya gelombang
revolusi Iran pada tahun 1979. Ayatullah Khomeini sebagai Pemimpin baru Iran
adalah sosok yang sangat keras terhadap pengaruh dari barat. Iran yang kemudian
berubah bentuk negara menjadi Republik Islam Iran akhirnya menjadi negara yang
sangat menentang dominasi Amerika Serikat di kawasan Timur tengah, bahkan
hubungan Arab Saudi dan Iran juga memburuk karena kedekatan Arab Saudi dengan
Amerika serikat bahkan pada tahun-tahun berikutnya hubungan Iran dan Arab Saudi
semakin mengarah pada titik klimaks karena hubungan antara kedua negara
tersebut diperparah dengan isu sektarianisme yaitu antara Sunni dan Shiah. Isu
sektarian yang dianggap oleh Ahmad Syafii Maarif sebagai sumber bencana yang
bertanggung jawab bagi hancurnya persaudaraan antar umat itu sendiri dan tidak
akan pernah berakhir kecuali pemicu perpecahan tersebut tidak ditinggalkan. Pada tahun 2016, hubungan kedua negara benar-benar
berada pada titik nadir ketika kedua negara memutuskan hubungan diplomatik
melalui serangkain konflik terbuka dimulai ketika Arab Saudi mengeksekusi ulah
Shiah yang terkemuka, Nirm Bagir al-Nirm.
Hubungan antara Amerika Serikat
dengan Iran semakin tidak menemui titik terang seiring dengan memburuknya
hubungan antara Arab Saudi dengan Iran. Arab Saudi tetap akrab dengan Amerika
Serikat sedangkan Iran berjuang untuk berdaulat dari pengaruh Amerika Serikat.
Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadap Iran seperti mendukung tindakan
terorisme, Menyimpan senjata nuklir dan Penyebaran paham Revolusi Islam adalah
isu yang diangkat ke permukaan untuk mendiskreditkan dan melemahkan peran Iran
di kawasan Timur tengah.
Dampak
Normalisasi Hubungan Israel dengan UEA terhadap Pengaruh Iran di Timur Tengah
Pertanyaan yang paling menarik
ketika fenomena beberapa negara Timur tengah melakukan rekonsiliasi dengan
Israel adalah “dimana posisi Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ketika
normalisasi diadakan?”
OKI dibentuk dengan tujuan untuk
memperkuat solidaritas antar sesama negara Islam dalam berbagai bidang dan
diskriminasi khususnya terkait Palestina yang dianeksasi oleh Israel. Uni Emirat
Arab (UEA) tergabung sebagai salah satu anggota OKI namun melakukan langkah
politik dengan cara melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Sebuah
keputusan yang tentu saja semakin mendiskreditkan posisi Palestina meskipun
dengan dalih dari UEA bahwa hubungan tersebut berdampak pada ditundanya
aneksasi Tepi barat oleh Israel. Sebuah kalkulasi politik yang tentu saja tidak
menguntungkan bagi Palestina karena pada kesempatan lain, Perdana Menteri
Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Israel setuju menunda aneksasi Tepi
barat sebagai bagian dari proses normalisasi dengan UEA namun rencana aneksasi
tersebut akan tetap dilanjutkan.
Pernyataan Benjamin Netanyahu
tersebut dengan sangat jelas menggambarkan bahwa normalisasi hubungan Israel
dengan UEA yang dimediasi oleh Amerika Serikat tidak dimaksudkan untuk
meredakan niat Israel dalam mencaplok wilayah Palestina. Kalkulasi politik UEA
tidak ditujukan untuk membantu Palestina dengan cara mengakrabkan diri dengan
Israel. ada kalkulasi politik yang sedang dimainkan oleh Amerika Serikat di
kawasan Timur tengah dengan pendekatan yang lebih moderat dari
tindakan-tindakan sebelumnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat di kawasan ini.
Kemudian pertanyaan inti yang
diajukan adalah ”apa sebenarnya maksud dari proses normalisasi Israel dengan
UEA yang dimediasi oleh Amerika Serikat?”
Mendegradasi posisi Iran di Timur tengah adalah tujuan dari kesepakatan ini. Mousavian, S. H., & Shahidsaless, S menjelaskan
bahwa:
From
the American perspective, the major dimensions of conflict include: Iran’s
provoking anti-Americans, the potential export of the revolution in one of the
most important geostrategic regions of the world, Iran’s potential threat to
the Arab-Israeli peace process and security of Israel; its nuclear program; its
role in terrorism; and its violation of human rights.
Penjelasan tersebu di atas menjadi alasan yang
sangat kuat bagi Amerika Serikat untuk mendeligitimasi posisi Iran dalam peta
perpolitikan Timur Tengah. Amerika Serikat tidak lagi menempuh cara vulgar
seperti invasi terbuka yang dilakukan terhadap Irak pada tahun 2003 namun
Amerika Serikat menjalankan metode lama saat masa perang dingin dengan cara
membangun aliansi dengan negara-negara tetangga Iran untuk menjatuhkan
kedudukan Iran.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bagir, H.
(2012). Menuju Persatuan Umat. Pandangan Intelektual Muslim Indonesia
Maarif, A.
S. (2018). Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Bentang Bunyan
Ritzer, G.
(2014). Teori Sosiologi Modern (Edisi Ketujuh). Jakarta: Kencana
Sulaiman, D.
Y. (2010). Obama revealed: realitas di balik pencitraan
Trofimov, Y.
(2008). Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak. Pustaka Alvabet
Jurnal
Mikail, K. (2013). IRAN DI TENGAH HEGEMONI BARAT (Studi
Politik Luar Negeri Iran Pasca Revolusi 1979). Tamaddun: Jurnal
Kebudayaan dan Sastra Islam, 13(2)
Jones, T. C.
(2012). America, oil, and war in the Middle East. The Journal of
American History, 99(1), 208-218
Hikmawan, E., & Putri, G. E. (2018). UPAYA ARAB SAUDI
TERHADAP ORGANISASI KERJA SAMA ISLAM DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK IRAN DAN ARAB
SAUDI TAHUN 2013-2018. Dauliyah Journal of Islamic and International
Affairs, 3(2), 249-284
Bew,
J. (2014). The Real Origins of Realpolitik. The
National Interest, (130), 40-52. Retrieved October 5, 2020, from
http://www.jstor.org/stable/44153278
Mikail, K. (2013). IRAN DI TENGAH
HEGEMONI BARAT (Studi Politik Luar Negeri Iran Pasca Revolusi 1979). Tamaddun:
Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam, 13(2)
Nauvarian, D. (2019). Keterlibatan Amerika Serikat
dalam Perang Vietnam: Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme. Jurnal Hubungan Internasional, 12(2), 69-86
Jones, T. C. (2012). America, oil,
and war in the Middle East. The Journal of American History, 99(1),
208-218 Hal 208