Saturday, October 10, 2020

Kebenaran yang Hilang




Judul Buku      : Kebenaran yang Hilang (Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim)

Penulis                : Farag Foda

Penerjemah         : Novriantoni

Penerbit              : Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan Penerbit Dian Rakyat

Tebal Buku        : 198 Halaman


Perdebatan panjang tentang Islam nampaknya tidak akan pernah berakhir sampai kehidupan ini sendiri berakhir. perdebatan yang berada pada semua elemen kehidupan mulai dari hal kecil bagaimana membersihkan badan atau sekedar tata cara makan sampai pada hal-hal yang menyangkut negara. perdebatan sengit antara para penganut Islam akan lebih terasa pada tataran makro mengenai sistem apa yang seharusnya dijalankan pada sebuah negara. di satu pihak, para penganut Khilafah terus menggaungkan impian untuk mengembalikan sistem yang dianggap paling paripurna membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. sistem yang terakhir tumbang di konstantinopel ketika kekhalifaan Utsmani (Ottoman) berakhir pada tahun 3 Maret 1924. di lain pihak, beberapa pemikir Islam beranggapan bahwa sistem khalifah sudah tidak relevan dengan kehidupan manusia di era sekarang. salah satu aktivis HAM, kelahiran Mesir dan seorang muslim, Farag Fouda menjadi kritikus paling berpengaruh tentang sistem khalifah. 


Farag Fouda menganggap bahwa sistem khilafah bukanlah sebuah sistem idaman dengan menunjukkan bukti-bukti sejarah terkait kelamnya sistem yang dianggap paling baik oleh Islam fundamental. seperti yang sudah sering terjadi, beberapa tokoh Islam yang tidak senang dikritik selalu menjadikan dalih agama untuk membungkam para pengkritik. Farag Fouda difatwa murtad dan harus meregang nyawa di tangan seorang muslim fundamental. kembali lagi sejarah mencatat bahwa antara sesama penganut Islam saling menghalalkan darah sebagai justifikasi untuk menghilangkan pengkritik. di luar semua itu, saya menyukai pernyataan Farag Foda dalam bukunya "Kebenaran yang Hilang" bahwa Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah, politik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama, keimanan, dan keyakinan. Ini adalah perbicangan tentang umat Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. Hal. 3

 Pernyataan tersebut mengafirmasi bahwa apa yang dikritik oleh Farag Fouda bukanlah Islam itu sendiri namun tidak lebih dari variabel-variabel yang sering disandingkan dengan agama Islam seperti bidang politik, sejarah dalam bidang lainnya yang sering terkaburkan karena dibungkus dengan doktrin agama oleh para tokoh Islam yang mempunyai kepentingan tersebulung. entah dari mana awalnya kehidupan Islam yang selalu mencoba untuk membungkam intelektual Islam yang ingin membersihkan dunia Islam dari bias sejarah sehingga generasi mendatang mampu memahami Islam secara utuh tanpa doktrin dari pemeluknya yang sudah sangat jauh dari Islam itu sendiri.

Farag Fouda menyatakan bahwa apa yang sering menjadi biang konflik sesama Muslim hanyalah sebuah slogan dengan teriakan-teriakan yang digemakan di negara Muslim. “Wahai Negara Islam,Kembalilah!”; “Islam Adalah Solusi”; “Islam, Mesti Islam!”

Pada Bab I tentang "Kebenaran yang Hilang" Faraq Fouda menjelaskan secara gamblang tentang penerapan syariah Islam yang gencar digemakan di Mesir. beliau menganggap bahwa kelompok-kelompok tersebut hanya mengerti kulitnya tanpa mau bersusah payah untuk menelisik lebih jauh mengenai hakekat Islam. penerapan syariat Islam meninggalkan perdebatan yang sangat melelahkan. Faraq memberikan contoh mengenai perdebatan tentang, Riba, hukum sewa dan kredit rumah dan bermuara pada persoalan keuangan secara luas dalam konteks kenegaraan. persoalan yang memang sangat pelik karena perkembangan zaman yang sangat cepat sedangkan tidak ada preseden sebelumnya pada masa Kenabian.

Dalam hal tata cara memilih pemimpin, Farag Fouda memberikan fakta sejarah yang sangat gamblang bagaimana Islam tidak mengatur pemilihan pemimpin secara pakem. Farag Fouda menjelaskan bahwa dalam memilih pemimpin, para khalifah berbeda cara misalnya Abu bakar menulis surat wasiat memilih Umar bin Khattab sebagai penggantinya tanpa sepengetahuan Umar sedangkan Umar sendiri menunjuk satu diantara enam pemuka agama, cara tersebut juga berbeda ketika Ali bin Abi Thalib membaiat pemimpin di beberapa wilayah. Hal. 25. sejarah yang tertulis secara nyata tersebut seharusnya menjadi bahan renungan para pemimpin di dunia Islam bahwa dalam proses pemilihan pemimpin, agama tidak mengatur secara kaku seperti mengatur pelaksanaan shalat, puasa dan rukun Islam lainnya.

Terkait masalah kepemimpinan, Faraq Fouda menjelaskan periode khulafa al-Rasyidin. Abu bakar 2 tahun, 3 bulan 8 hari. Kepemimpinan Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 19 hari. Masa Usman berlangsung selama 11 tahun 11 bulan dan 19 hari. Lalu ditutup masa Ali sepanjang 4 tahun 7 bulan. (Hal 31). Faraq membandingkan masa Umar dan Usman karena dianggap masa paling stabil. Umar dianggap mampu memimpin dengan baik dan segala urusan selesai karena Umar dan ummatnya menjunjung Islam dan esensinya sedang Usman sendiri dianggap gagal dalam memimpin. Beliau abai terhadap ummatnya yang memberikan masukan dan kritik.

Pada Bab 2, Faraq Fouda mencoba untuk menelisik lagi sejarah Khulafa al-Rasyidin. Farag menyimpulkan bahwa tafsir ala fotokopi tidak seharusnya diterapkan di masa sekarang. umat Islam harus tumbuh sesuai dengan zamannya dalam hal hukum ketatanegaraan. Farag Fouda juga menggambarkan dengan sangat baik bagaimana kelompok khawarij yang mewujud dalam kalangan ekstrimisme saat ini. farag Fouda memberi contoh Ibnu Muljam, seorang Muslim yang membunuh Ali bin Abi Thalib karena menganggap Ali tidak berhukum pada hukum Agama. saat dieksekusi, Ibnu Muljam tidak merasa bersalah bahkan menunjukkan ketegarannya dengan dalih dia telah membela agama. tidak heran jika saat ini, kita melihat pelaku teroris yang dihukum namun sama sekali tidak menunjukkan penyesalannya karena merasa membela agama.

Sangat rumit untuk memahami apa yang sedang terjadi pada saat itu. bagaimana golongan awal Muslim yang notabene pernah hidup bersama Nabi namun berakhir dalam pertempuran antar sesama. apa yang menyebabkan dan apa sebenarnya hikmah atas sejarah tersebut? sebuah kenyataan sejarah yang sampai saat ini pun sangat membingungkan bagi saya pribadi. jadi tidak heran jika di beberapa negara Timur tengah yang notabene mayoritas Islam, sampai sekarang masih saling memerangi satu sama lain. mereka berperang dengan teriakan yang sama yaitu mengagungkan nama Tuhan. betapa nistanya kita ini semua.

Saya menyukai cara Faraq Fouda dalam melakukan pembacaan ulang terhadap Khulafa al-Rasyidin. Beliau berusaha untuk tetap adil dalam menganalisa langkah-langkah politik yang ditempuh oleh setiap pemimpin saat itu, seperti saat beliau menjelaskan langkah politik yang dijalankan oleh Abu Bakar.

"Islam tidak datang untuk suatu masa tertentu saja. Al-Qur'an tidak hanya diwahyukan untuk kepentingan masa sesaat saja. Islam & Al-Qur'an, kita anggap sebagai piranti yang berlaku untuk mengatasi segala masa dan segala zaman." Hal. 196

"Sistem khilafah yang kita sematkan padanya kata “Islamiyyah”, pada hakikatnya tak lebih dari sistem kekuasaan monarki absolut Arab-Quraisy. Ia tidak menampilkan apa-apa dari Islam kecuali namanya. Dan seruan untuk menghidupkannya lagi, sebenarnya lebih pas disetarakan dengan ambisi nasionalisme Arab untuk mempersatukan beberapa wilayah Arab, daripada ambisi untuk menegakkan negara teokratis ala Islam. Jika dasarnya itu, kita dapat menerimanya sebagai seruan politik an sich. Jika agendanya mengajak persatuan, dasarnya mestilah kepentingan semua. Dan bila ajakannya berupa kampanye untuk saling melengkapi, maka pijakannya haruslah prinsip-prinsip peradaban yang rasional. Dan bila ia tetap ingin mengambil inspirasi dari masa lalu, hendaklah itu dilakukan lewat analisis yang cermat terhadap geografi sejarah." hal 233

Ironi bagi Farag Fouda, Beliau meregang nyawa dengan prinsip yang diyakini untuk melihat Islam lebih murni terbebas dari variabel-variabel lain. beliau meninggal di kantornya dengan peluru  yang bersarang di dalam tubuhnya. buntut pembunuhan atas dirinya didasari atas fatwa ulama Al-Azhar kepada dirinya yang dianggap melakukan penistaan agama. Sebagian besar dari penganut Islam selalu mengulang sejarah yang sama. membungkam sesamanya yang berbeda pandangan bahkan sampai sekarang.

Lalu kapan Islam akan menemukan momentumnya menyinari dunia jika para penganutnya masih terus berada dalam pola yang sama. bertengkar atas sesama bahkan saling menghabisi. Saya teringat buku kumpulan tulisan Buya Syafii Maarif yang berjudul "Krisis Arab dan Masa Depan Islam" Bagaimana beliau mengkritisi habis-habisan perilaku antar sesama Muslim yang masih saja bertingkai karena perbedaan mazhab.

Semoga kita bisa bejalar dari sejarah masa lalu.

Politik Timur Tengah (2)

MENAKAR KEPENTINGAN USA-IRAN DALAM NORMALISASI 

ISRAEL DENGAN UNI EMIRAT ARAB

 

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Paramadina

(min.basir@gmail.com)


PENDAHULUAN

Diskursus tentang Geopolitik Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari tiga fenomena utama yaitu persaingan perebutan pengaruh antara Iran dan Arab Saudi, konflik berkepanjangan antara Israel dengan Palestina dan keterlibatan Amerika Serikat dalam setiap konflik yang terjadi di kawasan tersebut. Iran dan Arab Saudi menjadi dua aktor penting dalam percaturan politik Timur tengah. Perseteruan kedua negara dengan penghasil minyak terbesar di Timur tengah, diperparah dengan isu sektarian Sunni Shia yang selalu dimunculkan di perbedaan. Konflik Israel-Palestina sendiri merupakan konflik berkepanjangan sejak gerakan Zionisme dimulai.

Sejarah mencatat bahwa Amerika Serikat selalu berada pada garis depan dalam setiap konflik di Timur tengah baik keterlibatan secara langsung maupun menjadikan negara lain sebagai proxy. Amerika Serikat semakin menancapkan pengaruhnya di Timur tengah pasca tragedi 9/11 dengan dalih untuk memerangi kelompok Teroris. Pidato Presiden Amerika Serikat saat itu, George W Bush “You’re with us or against us” menjadi alat legitimasi Amerika Serikat masuk dalam perccaturan geopolitik Timur tengah. Pidato George W Bush tersebut dimaknai sebagai sebuah seruan Amerika Serikat terhadap negara-negara lain untuk memilih bersama dengan Amerika Serikat memerangi kelompok Teroris atau menjadi bagian dari kelompok Teroris jika tidak bersedia membantu Amerika Serikat.

Konstalasi perpolitikan di Timur Tengah berubah drastis pasca revolusi Iran 1979. Iran yang sebelumnya dipimpin oleh Mohammad Reza Pahlevi sangat dekat dengan Amerika Serikat, ditumbangkan oleh gelombang revolusi yang kemudian mengantar Ayatullah Khomeini ke puncak kekuasaan. Iran kemudian menjadi sebuah negara teokrasi yang dikenal dengan Negara Republik Islam melalui referendum nasional. Revolusi tersebut membuat hegemoni Amerika Serikat di Iran memudar dan berubah menjadi negara yang paling reaktif menentang dominasi Amerika Serikat di Timur tengah. Pada bulan Oktober 1981 sesaat setelah dilantik, presiden Ali Khamenei berpidato dengan penekanan bahwa Iran akan menghilangkan pengaruh Amerika Serikat[1].

Tidak bisa dinafikan bahwa pasca kejadian 9/11, Amerika Serikat, Arab Saudi dan Iran menjadi aktor penting di kawasan Timur tengah. Setiap konflik yang terjadi selalu diwarnai wacana tentang keterlibatan ketiga negara tersebut. Konflik Suriah tidak luput dari tudingan keterlibatan ketiga Negara. Iran mendukung Pemerintahan Bashar al-Assad dalam memerangi kelompok oposisi sedangkan Amerika Serikat dan Arab Saudi berada di posisi yang lain membantu kelompok oposisi untuk mencoba menggulingkan pemerintahan yang sah. Konflik ini menjadi kabur karena diframing menjadi konflik sektarian antara kelompok Shia dengan Sunni. Konflik yang terjadi di di kawasan Timur tengah menjadi arena proxy war antara Iran berhadapan dengan Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Iran menjadi negara antitesa bagi Amerika Serikat di Timur tengah. Hubungan antara kedua negara tidak pernah menemui titik temu bahkan ketegangan nampaknya mengarah menjadi sebuah perang terbuka ketika di awal tahun 2020, terjadi tragedi kematian Jenderal yang sangat berpengarah di Iran, Qasem Soleimani. Jenderal yang menjabat sebagai komandan Pasukan Garda Revolusi tersebut meninggal di Irak oleh serangan udara Amerika Serikat. Iran merespon tragedi tersebut dengan ancaman akan melakukan serangan balik yang lebih besar terhadap penjahat.[2]

Perseteruan panjang antar Amerika Serikat dan Iran tidak hanya dalam bentuk konflik terbuka bahkan dalam bentuk lain dengan cara melakukan praktik hegemoni terhadap negara lain di kawasan Timur tengah. Amerika Serikat mempunyai Israel sebagai pion di Timur tengah sehingga memudahkan untuk melakukan akselerasi politik. Perebutan hegemoni negara-negara lain di kawasan Timur tengah sangat penting untuk melemahkan kubu lawan. Praktik yang sama terjadi ketika Amerika Serikat dan Uni Sovyet masih menjadi kekuatan Bipolar selama perang dingin. Nampaknya pola yang sama terjadi antara Amerika Serikat dengan Iran di Timur tengah.

Normalisasi hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan beberapa negara lain di Timur tengah yang dimediasi oleh Amerika Serikat menandakan bahwa konsep tentang hegemoni dan teori domino masih relevan dalam mengubah geopolitik dalam sebuah kawasan. Penandatangan kesepakatan normalisasi kedua negara bahkan dilakukan di Gedung Putih, Amerika Serikat pada tanggal 15 September 2020.[3] Iran tentunya menjadi aktor yang paling dilemahkan terkait langkah politik yang diambil oleh pemerintah UEA menerima pinangan Amerika Serikat untuk menandatangani Abrahan Accord sebagai bentuk normalisasi hubungan diplomatic dengan Israel. Seperti apa posisi Iran setelah proses normalisasi antara Israel dan UEA beserta negara Timur tengah yang juga akan mengikuti langkah UEA.

KERANGKA BERPIKIR

1.    Hegemoni

Kajian tentang konsep Hegemoni secara sederhana bisa ditemukan dalam literatur Yunani yang diartikan sebuah sebuah dominasi dalam sebuah kepemimpinan negara. pada perkembangan selanjutnya, Hegemoni kemudian dieksplorasi lebih mendalam oleh Antonio Gramsci yang mendasari analisanya dari ekonomi politik yang meskipun Gramsci dikenal sebagai seorang Marxis, Gramsci berbeda pendapat tentang konsep determinisme ekonomi. Gramsci memandang bahwa faktor ekonomi memang sangat penting namun ia meragukan bahwa determinisme ekonomi menjadi satu-satunya faktor yang mendorong terjadinya revolusi oleh massa arus bawah.

Konsep Hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci sangat penting dalam melihat peta perpolitikan global dalam hal perebutan pengaruh. Meskipun pada dasarnya bahwa konsep tersebut muncul dari analisa Gramsci melihat hubungan penguasa dengan rakyatnya. Dalam perkembangannya, praktik hegemoni dalam berbagai bidang, ditempuh oleh negara-negara besar dalam melakukan penjajahan model baru tanpa harus melalui peperangan. Hal ini yang kemudian mengaburkan banyak hal karena negara yang dijajah dalam bentuk hegemoni seringkali tidak menyadari penjajahan yang sedang dialami.

Hegemoni dalam konsep Antonio Gramsci secara sederhana bisa diartikan sebagai berikut:

Suatu pengetahuan atau ideology atau keyakinan baru yang dimasukkan secara terselubung, pembiasaan maupun dengan paksaan(doktrinasi) ke dalam atmosfir baru. Bisa jadi kesadaran maupun pengetahuan yang mengendap dalam Masyarakat merupakan program “hegemonik” oleh subyek kelompok tertentu.[4]

2.    Teori Domino

Pada tahun-tahun awal pasca berakhirnya perang dunia kedua, konstalasi politik dunia menjadi tatanan global yang Bipolar. terbagi menjadi dua kubu antara Uni Sovyet  dan Amerika Serikat. Kajian Hubungan Internasional saat itu didominasi oleh perspektif Realisme dimana aktor yang terlibat adalah negara. Negara-negara periferi pada momen tersebut tidak bisa mengambil pilihan rasional bagi negara, kedaulatan mereka tergerus oleh kepentingan dua kekuatan besar beserta aliansinya.

Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada saat itu tidak pernah terlibat dalam perang terbuka namun persaingan mereka mewujud dalam perang proxy di wilayah lain. Perebutan pengaruh juga tercermin dalam indoktrinasi ideologi masing-masing di negara lain. Semakin banyak negara yang mampu dipengaruhi maka secara psikologis, negara terdekat akan mudah dipengaruhi.

Konsep efek domino menjadi sangat populer pada masa perang dingin. Konsep dalam strategi internasional dalam menganalisa bagaimana sebuah kekuatan besar menanamkan pengaruhnya pada negara di sebuah kawasan. Jika sebuah negara di suatu kawasan sudah jatuh dalam hegemoni kekuatan besar maka secara alamiah, negara-negara tetangga akan ikut terseret seperti rangkaian domino yang akan tumbang secara berurutan menimpa negara di dekatnya.

Teori Domino adalah sebuah interrelasi strategis yang bersifat ideologis yang bertesis bahwa jatuhnya suatu negara kedalam jurang komunisme akan men-ciptakan spillover yang merambat ke negara-negara di sekitarnya[5]

Meskipun konsep ini sudah mulai ditinggalkan sejak runtuhnya kekuatan Uni Sovyet pada tahun 1989 membuat Amerika Serikat tidak lagi mempunyai lawan yang sepadan, namun konsep efek domino relevan dalam menggambarkan situasi geopolitik di Timur tengah saat ini. Negara Islam Iran yang muncul sebagai sebuah kekuatan baru mencoba menentang supremasi kekuatan Amerika Serikat yang sudah sejak lama mendeklarasikan negara mereka sebagai pemimpin dunia.

Konsep efek domino yang sudah ditinggalkan kembali menemui momennya dalam membendung akselarasi politik Iran di Timur tengah. Amerika Serikat memiliki Israel sebagai kartu AS di kawasan Timur tengah yang berperan penting dalam melanggengkan kepentingan Amerika Serikat di Timur tengah.

PEMBAHASAN

Geopolitik Timur Tengah dalam Bingkai Kepentingan Amerika Serikat dan Iran

Timur Tengah adalah Sebuah kawasan yang sangat sangat unik dan memiliki sejarah panjang dalam perjalanan kehidupan Manusia. Yerussalam adalah salah satu daerah yang dikenal sebagai asal dari tiga agama samawi. Agama yang dianggap membawa kedamaian terhadap kehidupan Manusia namun menjadi sangat paradoks karena ternyata, Timur Tengah adalah kawasan dengan sejarah panjang konflik yang tidak pernah menemui titik temu.

Dari perspektif ekonomi Politik, Timur Tengah tidak pernah lepas dari konflik karena kawasan tersebut dianugerahi Minyak bumi yang melimpah sehingga menjadi daya tarik negara lain untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan ini dalam rangka memperoleh kepentingan ekonomi. Kawasan Timur tengah adalah lahan basah bagi para negara besar untuk mendulang kepentingan ekonomi. Minyak bumi yang melimpah ruah di kawasan tersebut menjadi salah satu penyebab utama terjadi konflik yang berkepanjangan. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling berkepentingan di kawasan Timur tengah. Keikutsertaan mereka pada perang dunia kedua membawa dampak kerugian ekonomi yang begitu besar meskipun mereka menjadi satu dari dua negara superpower pada saat itu. Untuk menutupi kerugian ekonomi pada masa perang dunia, Amerika Serikat tentunya membutuhkan sumber daya alam dalam jumlah besar khususnya Minyak bumi. Kawasan Timur tengah sebagai penghasil minyak bumi terbesar di dunia tentunya menjadi ladang paling potensial untuk melakukan recovery kerugian mereka dalam perang dunia.

Keterlibatan Amerika serikat dalam kancah percaturan politik Timur tengah tidak bisa dilepaskan dari andil Arab Saudi. Bermula pada Februari 1945 ketika Franklin D Roosevelt bertemu dengan Abd Aziz bin Saud             yang menghasilkan sebuah keputusan saling menguntungkan. Arab Saudi menjual murah Minyak bumi di pasar global dan sebagai imbalannya, Amerika serikat melindungi Arab Saudi.[6] Kesepakatan tersebut dijadikan pintu masuk bagi Amerika Serikat untuk menguatkan pengaruhnya di kawasan Timur tengah.

Naiknya Mohammad Reza Shah Pahlevi pada tahun 1953 sebagai pemimpin Iran membuat pengaruh Amerika serikat di Timur tengah semakin kuat karena kedekatannya dengan Iran. Hal ini tidak terlepas karena jatuhnya perdana menteri Mohammed Mossadegh adalah sumbangsih dari Amerika Serikat melaui CIA.

Romantisme antara Amerika Serikat, Iran dan Arab Saudi akhirnya berakhir setelah pecahnya gelombang revolusi Iran pada tahun 1979. Ayatullah Khomeini sebagai Pemimpin baru Iran adalah sosok yang sangat keras terhadap pengaruh dari barat. Iran yang kemudian berubah bentuk negara menjadi Republik Islam Iran akhirnya menjadi negara yang sangat menentang dominasi Amerika Serikat di kawasan Timur tengah, bahkan hubungan Arab Saudi dan Iran juga memburuk karena kedekatan Arab Saudi dengan Amerika serikat bahkan pada tahun-tahun berikutnya hubungan Iran dan Arab Saudi semakin mengarah pada titik klimaks karena hubungan antara kedua negara tersebut diperparah dengan isu sektarianisme yaitu antara Sunni dan Shiah. Isu sektarian yang dianggap oleh Ahmad Syafii Maarif sebagai sumber bencana yang bertanggung jawab bagi hancurnya persaudaraan antar umat itu sendiri dan tidak akan pernah berakhir kecuali pemicu perpecahan tersebut tidak ditinggalkan.[7]  Pada tahun 2016, hubungan kedua negara benar-benar berada pada titik nadir ketika kedua negara memutuskan hubungan diplomatik melalui serangkain konflik terbuka dimulai ketika Arab Saudi mengeksekusi ulah Shiah yang terkemuka, Nirm Bagir al-Nirm.

Hubungan antara Amerika Serikat dengan Iran semakin tidak menemui titik terang seiring dengan memburuknya hubungan antara Arab Saudi dengan Iran. Arab Saudi tetap akrab dengan Amerika Serikat sedangkan Iran berjuang untuk berdaulat dari pengaruh Amerika Serikat. Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadap Iran seperti mendukung tindakan terorisme, Menyimpan senjata nuklir dan Penyebaran paham Revolusi Islam adalah isu yang diangkat ke permukaan untuk mendiskreditkan dan melemahkan peran Iran di kawasan Timur tengah.

Dampak Normalisasi Hubungan Israel dengan UEA terhadap Pengaruh Iran di Timur Tengah

Pertanyaan yang paling menarik ketika fenomena beberapa negara Timur tengah melakukan rekonsiliasi dengan Israel adalah “dimana posisi Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ketika normalisasi diadakan?”

OKI dibentuk dengan tujuan untuk memperkuat solidaritas antar sesama negara Islam dalam berbagai bidang dan diskriminasi khususnya terkait Palestina yang dianeksasi oleh Israel. Uni Emirat Arab (UEA) tergabung sebagai salah satu anggota OKI namun melakukan langkah politik dengan cara melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Sebuah keputusan yang tentu saja semakin mendiskreditkan posisi Palestina meskipun dengan dalih dari UEA bahwa hubungan tersebut berdampak pada ditundanya aneksasi Tepi barat oleh Israel. Sebuah kalkulasi politik yang tentu saja tidak menguntungkan bagi Palestina karena pada kesempatan lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Israel setuju menunda aneksasi Tepi barat sebagai bagian dari proses normalisasi dengan UEA namun rencana aneksasi tersebut akan tetap dilanjutkan.[8]

Pernyataan Benjamin Netanyahu tersebut dengan sangat jelas menggambarkan bahwa normalisasi hubungan Israel dengan UEA yang dimediasi oleh Amerika Serikat tidak dimaksudkan untuk meredakan niat Israel dalam mencaplok wilayah Palestina. Kalkulasi politik UEA tidak ditujukan untuk membantu Palestina dengan cara mengakrabkan diri dengan Israel. ada kalkulasi politik yang sedang dimainkan oleh Amerika Serikat di kawasan Timur tengah dengan pendekatan yang lebih moderat dari tindakan-tindakan sebelumnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat di kawasan ini.

Kemudian pertanyaan inti yang diajukan adalah ”apa sebenarnya maksud dari proses normalisasi Israel dengan UEA yang dimediasi oleh Amerika Serikat?” Mendegradasi posisi Iran di Timur tengah adalah tujuan dari kesepakatan ini. Mousavian, S. H., & Shahidsaless, S menjelaskan bahwa:

From the American perspective, the major dimensions of conflict include: Iran’s provoking anti-Americans, the potential export of the revolution in one of the most important geostrategic regions of the world, Iran’s potential threat to the Arab-Israeli peace process and security of Israel; its nuclear program; its role in terrorism; and its violation of human rights.[9]

 Penjelasan tersebu di atas menjadi alasan yang sangat kuat bagi Amerika Serikat untuk mendeligitimasi posisi Iran dalam peta perpolitikan Timur Tengah. Amerika Serikat tidak lagi menempuh cara vulgar seperti invasi terbuka yang dilakukan terhadap Irak pada tahun 2003 namun Amerika Serikat menjalankan metode lama saat masa perang dingin dengan cara membangun aliansi dengan negara-negara tetangga Iran untuk menjatuhkan kedudukan Iran.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bagir, H. (2012). Menuju Persatuan Umat. Pandangan Intelektual Muslim Indonesia

Maarif, A. S. (2018). Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Bentang Bunyan

Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi Modern (Edisi Ketujuh). Jakarta: Kencana

Sulaiman, D. Y. (2010). Obama revealed: realitas di balik pencitraan

Trofimov, Y. (2008). Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak. Pustaka Alvabet

 

Jurnal

Mikail, K. (2013). IRAN DI TENGAH HEGEMONI BARAT (Studi Politik Luar Negeri Iran Pasca Revolusi 1979). Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam13(2)

Jones, T. C. (2012). America, oil, and war in the Middle East. The Journal of American History99(1), 208-218

Hikmawan, E., & Putri, G. E. (2018). UPAYA ARAB SAUDI TERHADAP ORGANISASI KERJA SAMA ISLAM DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK IRAN DAN ARAB SAUDI TAHUN 2013-2018. Dauliyah Journal of Islamic and International Affairs3(2), 249-284

Bew, J. (2014). The Real Origins of Realpolitik. The National Interest, (130), 40-52. Retrieved October 5, 2020, from http://www.jstor.org/stable/44153278



[1]Mikail, K. (2013). IRAN DI TENGAH HEGEMONI BARAT (Studi Politik Luar Negeri Iran Pasca Revolusi 1979). Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam13(2)

[3]https://www.aljazeera.com/news/2020/9/15/israel-uae-and-bahrain-sign-us-brokered-normalisation-deals  diaksesl tanggal 4 Oktober 2020 pukul 23.33 WIB

[4]Santoso, L. (2003). Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri hal. 88

[5]Nauvarian, D. (2019). Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam: Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme. Jurnal Hubungan Internasional, 12(2), 69-86

[6] Jones, T. C. (2012). America, oil, and war in the Middle East. The Journal of American History99(1), 208-218 Hal 208

[7] Maarif, A. S. (2018). Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Bentang Bunyan. Hal 34

[9] Mousavian, S. H., & Shahidsaless, S. (2014). Iran and the United States. Bloomsbury Publishing USA

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...