Saturday, October 10, 2020

Kebenaran yang Hilang




Judul Buku      : Kebenaran yang Hilang (Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim)

Penulis                : Farag Foda

Penerjemah         : Novriantoni

Penerbit              : Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan Penerbit Dian Rakyat

Tebal Buku        : 198 Halaman


Perdebatan panjang tentang Islam nampaknya tidak akan pernah berakhir sampai kehidupan ini sendiri berakhir. perdebatan yang berada pada semua elemen kehidupan mulai dari hal kecil bagaimana membersihkan badan atau sekedar tata cara makan sampai pada hal-hal yang menyangkut negara. perdebatan sengit antara para penganut Islam akan lebih terasa pada tataran makro mengenai sistem apa yang seharusnya dijalankan pada sebuah negara. di satu pihak, para penganut Khilafah terus menggaungkan impian untuk mengembalikan sistem yang dianggap paling paripurna membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. sistem yang terakhir tumbang di konstantinopel ketika kekhalifaan Utsmani (Ottoman) berakhir pada tahun 3 Maret 1924. di lain pihak, beberapa pemikir Islam beranggapan bahwa sistem khalifah sudah tidak relevan dengan kehidupan manusia di era sekarang. salah satu aktivis HAM, kelahiran Mesir dan seorang muslim, Farag Fouda menjadi kritikus paling berpengaruh tentang sistem khalifah. 


Farag Fouda menganggap bahwa sistem khilafah bukanlah sebuah sistem idaman dengan menunjukkan bukti-bukti sejarah terkait kelamnya sistem yang dianggap paling baik oleh Islam fundamental. seperti yang sudah sering terjadi, beberapa tokoh Islam yang tidak senang dikritik selalu menjadikan dalih agama untuk membungkam para pengkritik. Farag Fouda difatwa murtad dan harus meregang nyawa di tangan seorang muslim fundamental. kembali lagi sejarah mencatat bahwa antara sesama penganut Islam saling menghalalkan darah sebagai justifikasi untuk menghilangkan pengkritik. di luar semua itu, saya menyukai pernyataan Farag Foda dalam bukunya "Kebenaran yang Hilang" bahwa Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah, politik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama, keimanan, dan keyakinan. Ini adalah perbicangan tentang umat Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. Hal. 3

 Pernyataan tersebut mengafirmasi bahwa apa yang dikritik oleh Farag Fouda bukanlah Islam itu sendiri namun tidak lebih dari variabel-variabel yang sering disandingkan dengan agama Islam seperti bidang politik, sejarah dalam bidang lainnya yang sering terkaburkan karena dibungkus dengan doktrin agama oleh para tokoh Islam yang mempunyai kepentingan tersebulung. entah dari mana awalnya kehidupan Islam yang selalu mencoba untuk membungkam intelektual Islam yang ingin membersihkan dunia Islam dari bias sejarah sehingga generasi mendatang mampu memahami Islam secara utuh tanpa doktrin dari pemeluknya yang sudah sangat jauh dari Islam itu sendiri.

Farag Fouda menyatakan bahwa apa yang sering menjadi biang konflik sesama Muslim hanyalah sebuah slogan dengan teriakan-teriakan yang digemakan di negara Muslim. “Wahai Negara Islam,Kembalilah!”; “Islam Adalah Solusi”; “Islam, Mesti Islam!”

Pada Bab I tentang "Kebenaran yang Hilang" Faraq Fouda menjelaskan secara gamblang tentang penerapan syariah Islam yang gencar digemakan di Mesir. beliau menganggap bahwa kelompok-kelompok tersebut hanya mengerti kulitnya tanpa mau bersusah payah untuk menelisik lebih jauh mengenai hakekat Islam. penerapan syariat Islam meninggalkan perdebatan yang sangat melelahkan. Faraq memberikan contoh mengenai perdebatan tentang, Riba, hukum sewa dan kredit rumah dan bermuara pada persoalan keuangan secara luas dalam konteks kenegaraan. persoalan yang memang sangat pelik karena perkembangan zaman yang sangat cepat sedangkan tidak ada preseden sebelumnya pada masa Kenabian.

Dalam hal tata cara memilih pemimpin, Farag Fouda memberikan fakta sejarah yang sangat gamblang bagaimana Islam tidak mengatur pemilihan pemimpin secara pakem. Farag Fouda menjelaskan bahwa dalam memilih pemimpin, para khalifah berbeda cara misalnya Abu bakar menulis surat wasiat memilih Umar bin Khattab sebagai penggantinya tanpa sepengetahuan Umar sedangkan Umar sendiri menunjuk satu diantara enam pemuka agama, cara tersebut juga berbeda ketika Ali bin Abi Thalib membaiat pemimpin di beberapa wilayah. Hal. 25. sejarah yang tertulis secara nyata tersebut seharusnya menjadi bahan renungan para pemimpin di dunia Islam bahwa dalam proses pemilihan pemimpin, agama tidak mengatur secara kaku seperti mengatur pelaksanaan shalat, puasa dan rukun Islam lainnya.

Terkait masalah kepemimpinan, Faraq Fouda menjelaskan periode khulafa al-Rasyidin. Abu bakar 2 tahun, 3 bulan 8 hari. Kepemimpinan Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 19 hari. Masa Usman berlangsung selama 11 tahun 11 bulan dan 19 hari. Lalu ditutup masa Ali sepanjang 4 tahun 7 bulan. (Hal 31). Faraq membandingkan masa Umar dan Usman karena dianggap masa paling stabil. Umar dianggap mampu memimpin dengan baik dan segala urusan selesai karena Umar dan ummatnya menjunjung Islam dan esensinya sedang Usman sendiri dianggap gagal dalam memimpin. Beliau abai terhadap ummatnya yang memberikan masukan dan kritik.

Pada Bab 2, Faraq Fouda mencoba untuk menelisik lagi sejarah Khulafa al-Rasyidin. Farag menyimpulkan bahwa tafsir ala fotokopi tidak seharusnya diterapkan di masa sekarang. umat Islam harus tumbuh sesuai dengan zamannya dalam hal hukum ketatanegaraan. Farag Fouda juga menggambarkan dengan sangat baik bagaimana kelompok khawarij yang mewujud dalam kalangan ekstrimisme saat ini. farag Fouda memberi contoh Ibnu Muljam, seorang Muslim yang membunuh Ali bin Abi Thalib karena menganggap Ali tidak berhukum pada hukum Agama. saat dieksekusi, Ibnu Muljam tidak merasa bersalah bahkan menunjukkan ketegarannya dengan dalih dia telah membela agama. tidak heran jika saat ini, kita melihat pelaku teroris yang dihukum namun sama sekali tidak menunjukkan penyesalannya karena merasa membela agama.

Sangat rumit untuk memahami apa yang sedang terjadi pada saat itu. bagaimana golongan awal Muslim yang notabene pernah hidup bersama Nabi namun berakhir dalam pertempuran antar sesama. apa yang menyebabkan dan apa sebenarnya hikmah atas sejarah tersebut? sebuah kenyataan sejarah yang sampai saat ini pun sangat membingungkan bagi saya pribadi. jadi tidak heran jika di beberapa negara Timur tengah yang notabene mayoritas Islam, sampai sekarang masih saling memerangi satu sama lain. mereka berperang dengan teriakan yang sama yaitu mengagungkan nama Tuhan. betapa nistanya kita ini semua.

Saya menyukai cara Faraq Fouda dalam melakukan pembacaan ulang terhadap Khulafa al-Rasyidin. Beliau berusaha untuk tetap adil dalam menganalisa langkah-langkah politik yang ditempuh oleh setiap pemimpin saat itu, seperti saat beliau menjelaskan langkah politik yang dijalankan oleh Abu Bakar.

"Islam tidak datang untuk suatu masa tertentu saja. Al-Qur'an tidak hanya diwahyukan untuk kepentingan masa sesaat saja. Islam & Al-Qur'an, kita anggap sebagai piranti yang berlaku untuk mengatasi segala masa dan segala zaman." Hal. 196

"Sistem khilafah yang kita sematkan padanya kata “Islamiyyah”, pada hakikatnya tak lebih dari sistem kekuasaan monarki absolut Arab-Quraisy. Ia tidak menampilkan apa-apa dari Islam kecuali namanya. Dan seruan untuk menghidupkannya lagi, sebenarnya lebih pas disetarakan dengan ambisi nasionalisme Arab untuk mempersatukan beberapa wilayah Arab, daripada ambisi untuk menegakkan negara teokratis ala Islam. Jika dasarnya itu, kita dapat menerimanya sebagai seruan politik an sich. Jika agendanya mengajak persatuan, dasarnya mestilah kepentingan semua. Dan bila ajakannya berupa kampanye untuk saling melengkapi, maka pijakannya haruslah prinsip-prinsip peradaban yang rasional. Dan bila ia tetap ingin mengambil inspirasi dari masa lalu, hendaklah itu dilakukan lewat analisis yang cermat terhadap geografi sejarah." hal 233

Ironi bagi Farag Fouda, Beliau meregang nyawa dengan prinsip yang diyakini untuk melihat Islam lebih murni terbebas dari variabel-variabel lain. beliau meninggal di kantornya dengan peluru  yang bersarang di dalam tubuhnya. buntut pembunuhan atas dirinya didasari atas fatwa ulama Al-Azhar kepada dirinya yang dianggap melakukan penistaan agama. Sebagian besar dari penganut Islam selalu mengulang sejarah yang sama. membungkam sesamanya yang berbeda pandangan bahkan sampai sekarang.

Lalu kapan Islam akan menemukan momentumnya menyinari dunia jika para penganutnya masih terus berada dalam pola yang sama. bertengkar atas sesama bahkan saling menghabisi. Saya teringat buku kumpulan tulisan Buya Syafii Maarif yang berjudul "Krisis Arab dan Masa Depan Islam" Bagaimana beliau mengkritisi habis-habisan perilaku antar sesama Muslim yang masih saja bertingkai karena perbedaan mazhab.

Semoga kita bisa bejalar dari sejarah masa lalu.

No comments:

Post a Comment

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...