Monday, November 30, 2020

Studi Hubungan Internasional

  Judul : Studi Hubungan Internasional

Penulis : P. Anthonius Sitepu

Tahun : 2011

Penerbit         : Graha Ilmu


tujuan studi hubungan internasional adalah untuk mempelajari perilaku para aktor seperti misalnya negara, maupun yang bukan termasuk kategori sebuah Negara (organisasi internasional) di dalam arena transaksi internasional. Perilaku itu bisa berwujud perang, konflik, kerjasama dalam organisasi internasional. (Mochtar Mas'oed, 1990, 32).

Permasalahan yang pertama-tama muncul dalam luas lingkup studi hubungan internasional adalah bahwa terminologi (istilah) tersebut sering digunakan dan disamakan dengan politik internasional. Kendati demikian, akhirnya inti hubungan internasional itu adalah politik internasional. Akan tetapi hubungan internasional tidak selalu hanya mencakup politik internasional. Artinya, ada hubungan-hubungan yang berskala internasional memiliki dimensi ekonomi, militer, budaya dan sebagainya.

menurut K . j . Holsti, istilah hubungan internasional senantiasa berkaitan dengan segala bentuk interaksi di antara masyarakat negara-negara, baik itu yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh negara-negara. 

Hubungan Internasional (international realtions) yang secara harfiah, dapat kita terjemahkan sebagai suatu hubungan antarbangsa (politik, hukum, ekonomi, diplomasi) namun aspek politik dan hukum

merupakan dua aspek yang dominan. (Budiono Kusumohamidjojo, 1987, 7). Aspek politik, sebagai aspek material (kepentingan militer, ekonomi dan kebudayaan) sedangkan aspek hukumnya menjadikannya sebagai aspek formal dalam artian merupakan bentuk atas penyelesaian prosedural dari berbagai kepentingan (interests). 

Teori dijadikan sebagai landasan pokok untuk memahami fenomena internasional yang dimaksudkan itu.  teori itu adalah "system generalisasi yang berdasarkan kepada penemuan empiris atau yang dapat diuji secara empiris" (Estephen L. Wasby, 1970, 62). Teori juga sering menunjukkan kepada sejumlah generalisasi yang secara teratur, sistematis dan sering berkaitan dengan deskripsi, analisis dan sintesa. (Ronald H. Chilcote, 1981, 15). Teori merupakan bentuk pernyataan yang senantiasa harus dapat dan mampu menjawab pertanyaan "mengapa" sebagai upaya untuk memberikan makna terhadap fenomena yang terjadi. 

sistem. Maka teori yang dikembangkan di dalam studi hubungan internasional sering disebut sebagai proses taxanomi, klasifikasi atau kerangka konseptual sebagai alat untuk mengatur tertib data. 

Pada periode sejarah Eropa dari tahun 1648 sampai tahun 1914, disebut sebagai zaman keemasan terutama dalam bidang diplomasi (the golden age of diplomacy), perimbangan kekuatan (balance of power) dan hukum internasional (international law). 

teorisasi normatif tidak dapat atau mampu menjelaskan "mengapa" suatu negara melakukan tindakan tertentu. Dan sebaliknya, karena mereka terlalu menekankan pada masalah yang berkenaan dengan pertanyaan, bagaimana seharusnya negara bertindak.

Teori realisme mengasumsikan bahwa lokasi/wilayah geografis suatu bangsa, akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan nasionalnya serta orientasi kebijaksanaan politik luar negerinya. Oleh sebab itu, kondisi atau faktor geografis bagi suatu bangsa/negara dianggap sebagai suatu hal yang esensial khususnya di dalam kerangka implementasi kebijaksanaan politik luar negerinya.

Variabel-variabel Pengaruh Dalam Pengambilan Keputusan Politik Luar Negeri:

1. Variabel Idiosyncratic (Variabel Individual) 

Variabel ini senantiasa berkenaan dengan persepsi, image dan karakteristik pribadi si pembuat keputusan politik luar negeri, antara lain terlihat di dalam kondisi-kondisi seperti, ketenangan versus tergesa-gesa; kemarahan versus prudensi; pragmatis versus ideologj yang bersifat pembasmian atau pemberantasan; ketakutan versus sikap percaya diri yang berlebihan; keunggulan versus keterbelakangan; kreativitas versus penghancuran.

2. Variabel Peranan (role)

3. Variabei Birokratik (governmental) Variabel ini menyangkut pada struktur dan proses pemerintahan serta implikasinya terhadap pelaksanaan politik luar negeri.

Variabel Sosial (societal) kita akan mengarahkan perhatian kita kepada identifikasi efek struktur kelas,

penyebaran, (distribusi) pendapatan, status dan persamaan ras linguistik, budaya dan agama terhadap politik luar negeri negara-negara tertentu.

4. Variabel Sistemik (systemic influences) kita dapat memasukkan seluruh struktur dan proses sistem internasional.

negara adalah seperangkat institusi (lembaga), lembaga atau institusi ini diisi oleh personal negara.

Sejarah kebangkitan nasionalisme, nasionalisme bangsa-bangsa di Eropa, bersamaan dengan ditandatanganinya naskah Perjanjian Damai Westphalia (Treaty of Westphalia) 1648.

Politik luar negeri adalah keseluruhan perjalanan keputusan pemerintah untuk mengatur semua hubungan dengan negara lain. Politik luar negeri merupakan pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam hubungannya dengan negara Iain.

Dua unsur utama tersebut yang dalam politik luar negeri yaitu:

a. Tujuan nasional (national objectives); dan

b. Sarana (means) untuk mencapai tujuan tersebut.

Unsur-unsur yang termasuk ke dalam kategori yang nyata terlihat (tangible) terdiri dari unsur-unsur, seperti penduduk, wilayah, sumber-sumber daya alam, kemampuan industrial, pertanian, militer dan mobilitas. Dan yang termasuk dalam kategori unsur-unsur yang tidak terlihat nyata (intangible) terdiri dari: kepemimpinan, dan personal, birokrasi-organisasi efisiensi, tipe pemerintahannya, reputasi, dukungan luar negeri dan ketergantungan.

Instrumen Kebijakan Luar Negeri, yaitu Diplomasi, Propoganda, Instrumen Ekonomi, Intervensi


Sunday, November 29, 2020

Metodologi Penelitian

Paradigma pertama kali diperkenalkan Thomas Kuhn (18 Juli 1922 – 17 Juni 1996) melalui bukunya "the structure of scientific revolutions". seorang filsuf, fisikawan dan sejarawan USA.

Paradigma, cara pandang terhadap dunia dan alam sekitarnya yang merupakan gambaran/perspektif umum berupa cara-cara untuk menjabarkan dunia yang kompleks.

Implikasi dari paradigma adalah dia hanya mau menghalalkan caranya sendiri sekaligus mengharamkan caranya orang lain.

Bias yang selama ini terjadi pada penelitian kualitatif dan kuantitaf adalah seringkali disalahartikan bahwa kuantitaf itu penuh angka dan kualitatif tidak.

Variabe penelitian:

  • Characteristic that tend to differ from individual, though any two or more individuals may have the same variable trait or measure (Charles, C.M)
  • Setiap hal dalam suatu penetian yang datanya ingin diperoleh (Hasan Mustafa)
Macam-macam Variabel:
Berdasarkan kategori terdiri dari:
  • Variabel kontinu. dikatakan variabel kontinu apabila memiliki perbedaan dalam satu sifat yang bertingkat. contoh, tinggi badan, berat badan, kecepatan
  • variabel diskrit. dikategorikan variabel diskrit apabila secara alami variasinya terpisah atau dikatakan berasal dari dua kutub yang berlawanan. contoh laki-laki atau perempuan, panas atau dingin
Berdasarkan posisinya yaitu:
  • Variabel bebas, variabel yang dalam penelitian tersebut nilainya tidak dipengaruhi oleh nilai variabel lain. contoh 


  • Variabel pengganggu/intervensi, variabel yang di luar kontrol peneliti ikut memberi pengaruh pada variabel terikat. contoh kondisi fisik seperti capek,sakit dll
  • Variabel terikat, variabel yang dalam penelitian tersebut nilainya dipengaruhi oleh variabel lainnya

Kesimpulan itu berisi sintesa, refleksi dan resume untuk sampai pada jawaban yang sudah ditentukan. 

Saturday, October 10, 2020

Kebenaran yang Hilang




Judul Buku      : Kebenaran yang Hilang (Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim)

Penulis                : Farag Foda

Penerjemah         : Novriantoni

Penerbit              : Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan Penerbit Dian Rakyat

Tebal Buku        : 198 Halaman


Perdebatan panjang tentang Islam nampaknya tidak akan pernah berakhir sampai kehidupan ini sendiri berakhir. perdebatan yang berada pada semua elemen kehidupan mulai dari hal kecil bagaimana membersihkan badan atau sekedar tata cara makan sampai pada hal-hal yang menyangkut negara. perdebatan sengit antara para penganut Islam akan lebih terasa pada tataran makro mengenai sistem apa yang seharusnya dijalankan pada sebuah negara. di satu pihak, para penganut Khilafah terus menggaungkan impian untuk mengembalikan sistem yang dianggap paling paripurna membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. sistem yang terakhir tumbang di konstantinopel ketika kekhalifaan Utsmani (Ottoman) berakhir pada tahun 3 Maret 1924. di lain pihak, beberapa pemikir Islam beranggapan bahwa sistem khalifah sudah tidak relevan dengan kehidupan manusia di era sekarang. salah satu aktivis HAM, kelahiran Mesir dan seorang muslim, Farag Fouda menjadi kritikus paling berpengaruh tentang sistem khalifah. 


Farag Fouda menganggap bahwa sistem khilafah bukanlah sebuah sistem idaman dengan menunjukkan bukti-bukti sejarah terkait kelamnya sistem yang dianggap paling baik oleh Islam fundamental. seperti yang sudah sering terjadi, beberapa tokoh Islam yang tidak senang dikritik selalu menjadikan dalih agama untuk membungkam para pengkritik. Farag Fouda difatwa murtad dan harus meregang nyawa di tangan seorang muslim fundamental. kembali lagi sejarah mencatat bahwa antara sesama penganut Islam saling menghalalkan darah sebagai justifikasi untuk menghilangkan pengkritik. di luar semua itu, saya menyukai pernyataan Farag Foda dalam bukunya "Kebenaran yang Hilang" bahwa Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah, politik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama, keimanan, dan keyakinan. Ini adalah perbicangan tentang umat Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. Hal. 3

 Pernyataan tersebut mengafirmasi bahwa apa yang dikritik oleh Farag Fouda bukanlah Islam itu sendiri namun tidak lebih dari variabel-variabel yang sering disandingkan dengan agama Islam seperti bidang politik, sejarah dalam bidang lainnya yang sering terkaburkan karena dibungkus dengan doktrin agama oleh para tokoh Islam yang mempunyai kepentingan tersebulung. entah dari mana awalnya kehidupan Islam yang selalu mencoba untuk membungkam intelektual Islam yang ingin membersihkan dunia Islam dari bias sejarah sehingga generasi mendatang mampu memahami Islam secara utuh tanpa doktrin dari pemeluknya yang sudah sangat jauh dari Islam itu sendiri.

Farag Fouda menyatakan bahwa apa yang sering menjadi biang konflik sesama Muslim hanyalah sebuah slogan dengan teriakan-teriakan yang digemakan di negara Muslim. “Wahai Negara Islam,Kembalilah!”; “Islam Adalah Solusi”; “Islam, Mesti Islam!”

Pada Bab I tentang "Kebenaran yang Hilang" Faraq Fouda menjelaskan secara gamblang tentang penerapan syariah Islam yang gencar digemakan di Mesir. beliau menganggap bahwa kelompok-kelompok tersebut hanya mengerti kulitnya tanpa mau bersusah payah untuk menelisik lebih jauh mengenai hakekat Islam. penerapan syariat Islam meninggalkan perdebatan yang sangat melelahkan. Faraq memberikan contoh mengenai perdebatan tentang, Riba, hukum sewa dan kredit rumah dan bermuara pada persoalan keuangan secara luas dalam konteks kenegaraan. persoalan yang memang sangat pelik karena perkembangan zaman yang sangat cepat sedangkan tidak ada preseden sebelumnya pada masa Kenabian.

Dalam hal tata cara memilih pemimpin, Farag Fouda memberikan fakta sejarah yang sangat gamblang bagaimana Islam tidak mengatur pemilihan pemimpin secara pakem. Farag Fouda menjelaskan bahwa dalam memilih pemimpin, para khalifah berbeda cara misalnya Abu bakar menulis surat wasiat memilih Umar bin Khattab sebagai penggantinya tanpa sepengetahuan Umar sedangkan Umar sendiri menunjuk satu diantara enam pemuka agama, cara tersebut juga berbeda ketika Ali bin Abi Thalib membaiat pemimpin di beberapa wilayah. Hal. 25. sejarah yang tertulis secara nyata tersebut seharusnya menjadi bahan renungan para pemimpin di dunia Islam bahwa dalam proses pemilihan pemimpin, agama tidak mengatur secara kaku seperti mengatur pelaksanaan shalat, puasa dan rukun Islam lainnya.

Terkait masalah kepemimpinan, Faraq Fouda menjelaskan periode khulafa al-Rasyidin. Abu bakar 2 tahun, 3 bulan 8 hari. Kepemimpinan Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 19 hari. Masa Usman berlangsung selama 11 tahun 11 bulan dan 19 hari. Lalu ditutup masa Ali sepanjang 4 tahun 7 bulan. (Hal 31). Faraq membandingkan masa Umar dan Usman karena dianggap masa paling stabil. Umar dianggap mampu memimpin dengan baik dan segala urusan selesai karena Umar dan ummatnya menjunjung Islam dan esensinya sedang Usman sendiri dianggap gagal dalam memimpin. Beliau abai terhadap ummatnya yang memberikan masukan dan kritik.

Pada Bab 2, Faraq Fouda mencoba untuk menelisik lagi sejarah Khulafa al-Rasyidin. Farag menyimpulkan bahwa tafsir ala fotokopi tidak seharusnya diterapkan di masa sekarang. umat Islam harus tumbuh sesuai dengan zamannya dalam hal hukum ketatanegaraan. Farag Fouda juga menggambarkan dengan sangat baik bagaimana kelompok khawarij yang mewujud dalam kalangan ekstrimisme saat ini. farag Fouda memberi contoh Ibnu Muljam, seorang Muslim yang membunuh Ali bin Abi Thalib karena menganggap Ali tidak berhukum pada hukum Agama. saat dieksekusi, Ibnu Muljam tidak merasa bersalah bahkan menunjukkan ketegarannya dengan dalih dia telah membela agama. tidak heran jika saat ini, kita melihat pelaku teroris yang dihukum namun sama sekali tidak menunjukkan penyesalannya karena merasa membela agama.

Sangat rumit untuk memahami apa yang sedang terjadi pada saat itu. bagaimana golongan awal Muslim yang notabene pernah hidup bersama Nabi namun berakhir dalam pertempuran antar sesama. apa yang menyebabkan dan apa sebenarnya hikmah atas sejarah tersebut? sebuah kenyataan sejarah yang sampai saat ini pun sangat membingungkan bagi saya pribadi. jadi tidak heran jika di beberapa negara Timur tengah yang notabene mayoritas Islam, sampai sekarang masih saling memerangi satu sama lain. mereka berperang dengan teriakan yang sama yaitu mengagungkan nama Tuhan. betapa nistanya kita ini semua.

Saya menyukai cara Faraq Fouda dalam melakukan pembacaan ulang terhadap Khulafa al-Rasyidin. Beliau berusaha untuk tetap adil dalam menganalisa langkah-langkah politik yang ditempuh oleh setiap pemimpin saat itu, seperti saat beliau menjelaskan langkah politik yang dijalankan oleh Abu Bakar.

"Islam tidak datang untuk suatu masa tertentu saja. Al-Qur'an tidak hanya diwahyukan untuk kepentingan masa sesaat saja. Islam & Al-Qur'an, kita anggap sebagai piranti yang berlaku untuk mengatasi segala masa dan segala zaman." Hal. 196

"Sistem khilafah yang kita sematkan padanya kata “Islamiyyah”, pada hakikatnya tak lebih dari sistem kekuasaan monarki absolut Arab-Quraisy. Ia tidak menampilkan apa-apa dari Islam kecuali namanya. Dan seruan untuk menghidupkannya lagi, sebenarnya lebih pas disetarakan dengan ambisi nasionalisme Arab untuk mempersatukan beberapa wilayah Arab, daripada ambisi untuk menegakkan negara teokratis ala Islam. Jika dasarnya itu, kita dapat menerimanya sebagai seruan politik an sich. Jika agendanya mengajak persatuan, dasarnya mestilah kepentingan semua. Dan bila ajakannya berupa kampanye untuk saling melengkapi, maka pijakannya haruslah prinsip-prinsip peradaban yang rasional. Dan bila ia tetap ingin mengambil inspirasi dari masa lalu, hendaklah itu dilakukan lewat analisis yang cermat terhadap geografi sejarah." hal 233

Ironi bagi Farag Fouda, Beliau meregang nyawa dengan prinsip yang diyakini untuk melihat Islam lebih murni terbebas dari variabel-variabel lain. beliau meninggal di kantornya dengan peluru  yang bersarang di dalam tubuhnya. buntut pembunuhan atas dirinya didasari atas fatwa ulama Al-Azhar kepada dirinya yang dianggap melakukan penistaan agama. Sebagian besar dari penganut Islam selalu mengulang sejarah yang sama. membungkam sesamanya yang berbeda pandangan bahkan sampai sekarang.

Lalu kapan Islam akan menemukan momentumnya menyinari dunia jika para penganutnya masih terus berada dalam pola yang sama. bertengkar atas sesama bahkan saling menghabisi. Saya teringat buku kumpulan tulisan Buya Syafii Maarif yang berjudul "Krisis Arab dan Masa Depan Islam" Bagaimana beliau mengkritisi habis-habisan perilaku antar sesama Muslim yang masih saja bertingkai karena perbedaan mazhab.

Semoga kita bisa bejalar dari sejarah masa lalu.

Politik Timur Tengah (2)

MENAKAR KEPENTINGAN USA-IRAN DALAM NORMALISASI 

ISRAEL DENGAN UNI EMIRAT ARAB

 

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Paramadina

(min.basir@gmail.com)


PENDAHULUAN

Diskursus tentang Geopolitik Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari tiga fenomena utama yaitu persaingan perebutan pengaruh antara Iran dan Arab Saudi, konflik berkepanjangan antara Israel dengan Palestina dan keterlibatan Amerika Serikat dalam setiap konflik yang terjadi di kawasan tersebut. Iran dan Arab Saudi menjadi dua aktor penting dalam percaturan politik Timur tengah. Perseteruan kedua negara dengan penghasil minyak terbesar di Timur tengah, diperparah dengan isu sektarian Sunni Shia yang selalu dimunculkan di perbedaan. Konflik Israel-Palestina sendiri merupakan konflik berkepanjangan sejak gerakan Zionisme dimulai.

Sejarah mencatat bahwa Amerika Serikat selalu berada pada garis depan dalam setiap konflik di Timur tengah baik keterlibatan secara langsung maupun menjadikan negara lain sebagai proxy. Amerika Serikat semakin menancapkan pengaruhnya di Timur tengah pasca tragedi 9/11 dengan dalih untuk memerangi kelompok Teroris. Pidato Presiden Amerika Serikat saat itu, George W Bush “You’re with us or against us” menjadi alat legitimasi Amerika Serikat masuk dalam perccaturan geopolitik Timur tengah. Pidato George W Bush tersebut dimaknai sebagai sebuah seruan Amerika Serikat terhadap negara-negara lain untuk memilih bersama dengan Amerika Serikat memerangi kelompok Teroris atau menjadi bagian dari kelompok Teroris jika tidak bersedia membantu Amerika Serikat.

Konstalasi perpolitikan di Timur Tengah berubah drastis pasca revolusi Iran 1979. Iran yang sebelumnya dipimpin oleh Mohammad Reza Pahlevi sangat dekat dengan Amerika Serikat, ditumbangkan oleh gelombang revolusi yang kemudian mengantar Ayatullah Khomeini ke puncak kekuasaan. Iran kemudian menjadi sebuah negara teokrasi yang dikenal dengan Negara Republik Islam melalui referendum nasional. Revolusi tersebut membuat hegemoni Amerika Serikat di Iran memudar dan berubah menjadi negara yang paling reaktif menentang dominasi Amerika Serikat di Timur tengah. Pada bulan Oktober 1981 sesaat setelah dilantik, presiden Ali Khamenei berpidato dengan penekanan bahwa Iran akan menghilangkan pengaruh Amerika Serikat[1].

Tidak bisa dinafikan bahwa pasca kejadian 9/11, Amerika Serikat, Arab Saudi dan Iran menjadi aktor penting di kawasan Timur tengah. Setiap konflik yang terjadi selalu diwarnai wacana tentang keterlibatan ketiga negara tersebut. Konflik Suriah tidak luput dari tudingan keterlibatan ketiga Negara. Iran mendukung Pemerintahan Bashar al-Assad dalam memerangi kelompok oposisi sedangkan Amerika Serikat dan Arab Saudi berada di posisi yang lain membantu kelompok oposisi untuk mencoba menggulingkan pemerintahan yang sah. Konflik ini menjadi kabur karena diframing menjadi konflik sektarian antara kelompok Shia dengan Sunni. Konflik yang terjadi di di kawasan Timur tengah menjadi arena proxy war antara Iran berhadapan dengan Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Iran menjadi negara antitesa bagi Amerika Serikat di Timur tengah. Hubungan antara kedua negara tidak pernah menemui titik temu bahkan ketegangan nampaknya mengarah menjadi sebuah perang terbuka ketika di awal tahun 2020, terjadi tragedi kematian Jenderal yang sangat berpengarah di Iran, Qasem Soleimani. Jenderal yang menjabat sebagai komandan Pasukan Garda Revolusi tersebut meninggal di Irak oleh serangan udara Amerika Serikat. Iran merespon tragedi tersebut dengan ancaman akan melakukan serangan balik yang lebih besar terhadap penjahat.[2]

Perseteruan panjang antar Amerika Serikat dan Iran tidak hanya dalam bentuk konflik terbuka bahkan dalam bentuk lain dengan cara melakukan praktik hegemoni terhadap negara lain di kawasan Timur tengah. Amerika Serikat mempunyai Israel sebagai pion di Timur tengah sehingga memudahkan untuk melakukan akselerasi politik. Perebutan hegemoni negara-negara lain di kawasan Timur tengah sangat penting untuk melemahkan kubu lawan. Praktik yang sama terjadi ketika Amerika Serikat dan Uni Sovyet masih menjadi kekuatan Bipolar selama perang dingin. Nampaknya pola yang sama terjadi antara Amerika Serikat dengan Iran di Timur tengah.

Normalisasi hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan beberapa negara lain di Timur tengah yang dimediasi oleh Amerika Serikat menandakan bahwa konsep tentang hegemoni dan teori domino masih relevan dalam mengubah geopolitik dalam sebuah kawasan. Penandatangan kesepakatan normalisasi kedua negara bahkan dilakukan di Gedung Putih, Amerika Serikat pada tanggal 15 September 2020.[3] Iran tentunya menjadi aktor yang paling dilemahkan terkait langkah politik yang diambil oleh pemerintah UEA menerima pinangan Amerika Serikat untuk menandatangani Abrahan Accord sebagai bentuk normalisasi hubungan diplomatic dengan Israel. Seperti apa posisi Iran setelah proses normalisasi antara Israel dan UEA beserta negara Timur tengah yang juga akan mengikuti langkah UEA.

KERANGKA BERPIKIR

1.    Hegemoni

Kajian tentang konsep Hegemoni secara sederhana bisa ditemukan dalam literatur Yunani yang diartikan sebuah sebuah dominasi dalam sebuah kepemimpinan negara. pada perkembangan selanjutnya, Hegemoni kemudian dieksplorasi lebih mendalam oleh Antonio Gramsci yang mendasari analisanya dari ekonomi politik yang meskipun Gramsci dikenal sebagai seorang Marxis, Gramsci berbeda pendapat tentang konsep determinisme ekonomi. Gramsci memandang bahwa faktor ekonomi memang sangat penting namun ia meragukan bahwa determinisme ekonomi menjadi satu-satunya faktor yang mendorong terjadinya revolusi oleh massa arus bawah.

Konsep Hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci sangat penting dalam melihat peta perpolitikan global dalam hal perebutan pengaruh. Meskipun pada dasarnya bahwa konsep tersebut muncul dari analisa Gramsci melihat hubungan penguasa dengan rakyatnya. Dalam perkembangannya, praktik hegemoni dalam berbagai bidang, ditempuh oleh negara-negara besar dalam melakukan penjajahan model baru tanpa harus melalui peperangan. Hal ini yang kemudian mengaburkan banyak hal karena negara yang dijajah dalam bentuk hegemoni seringkali tidak menyadari penjajahan yang sedang dialami.

Hegemoni dalam konsep Antonio Gramsci secara sederhana bisa diartikan sebagai berikut:

Suatu pengetahuan atau ideology atau keyakinan baru yang dimasukkan secara terselubung, pembiasaan maupun dengan paksaan(doktrinasi) ke dalam atmosfir baru. Bisa jadi kesadaran maupun pengetahuan yang mengendap dalam Masyarakat merupakan program “hegemonik” oleh subyek kelompok tertentu.[4]

2.    Teori Domino

Pada tahun-tahun awal pasca berakhirnya perang dunia kedua, konstalasi politik dunia menjadi tatanan global yang Bipolar. terbagi menjadi dua kubu antara Uni Sovyet  dan Amerika Serikat. Kajian Hubungan Internasional saat itu didominasi oleh perspektif Realisme dimana aktor yang terlibat adalah negara. Negara-negara periferi pada momen tersebut tidak bisa mengambil pilihan rasional bagi negara, kedaulatan mereka tergerus oleh kepentingan dua kekuatan besar beserta aliansinya.

Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada saat itu tidak pernah terlibat dalam perang terbuka namun persaingan mereka mewujud dalam perang proxy di wilayah lain. Perebutan pengaruh juga tercermin dalam indoktrinasi ideologi masing-masing di negara lain. Semakin banyak negara yang mampu dipengaruhi maka secara psikologis, negara terdekat akan mudah dipengaruhi.

Konsep efek domino menjadi sangat populer pada masa perang dingin. Konsep dalam strategi internasional dalam menganalisa bagaimana sebuah kekuatan besar menanamkan pengaruhnya pada negara di sebuah kawasan. Jika sebuah negara di suatu kawasan sudah jatuh dalam hegemoni kekuatan besar maka secara alamiah, negara-negara tetangga akan ikut terseret seperti rangkaian domino yang akan tumbang secara berurutan menimpa negara di dekatnya.

Teori Domino adalah sebuah interrelasi strategis yang bersifat ideologis yang bertesis bahwa jatuhnya suatu negara kedalam jurang komunisme akan men-ciptakan spillover yang merambat ke negara-negara di sekitarnya[5]

Meskipun konsep ini sudah mulai ditinggalkan sejak runtuhnya kekuatan Uni Sovyet pada tahun 1989 membuat Amerika Serikat tidak lagi mempunyai lawan yang sepadan, namun konsep efek domino relevan dalam menggambarkan situasi geopolitik di Timur tengah saat ini. Negara Islam Iran yang muncul sebagai sebuah kekuatan baru mencoba menentang supremasi kekuatan Amerika Serikat yang sudah sejak lama mendeklarasikan negara mereka sebagai pemimpin dunia.

Konsep efek domino yang sudah ditinggalkan kembali menemui momennya dalam membendung akselarasi politik Iran di Timur tengah. Amerika Serikat memiliki Israel sebagai kartu AS di kawasan Timur tengah yang berperan penting dalam melanggengkan kepentingan Amerika Serikat di Timur tengah.

PEMBAHASAN

Geopolitik Timur Tengah dalam Bingkai Kepentingan Amerika Serikat dan Iran

Timur Tengah adalah Sebuah kawasan yang sangat sangat unik dan memiliki sejarah panjang dalam perjalanan kehidupan Manusia. Yerussalam adalah salah satu daerah yang dikenal sebagai asal dari tiga agama samawi. Agama yang dianggap membawa kedamaian terhadap kehidupan Manusia namun menjadi sangat paradoks karena ternyata, Timur Tengah adalah kawasan dengan sejarah panjang konflik yang tidak pernah menemui titik temu.

Dari perspektif ekonomi Politik, Timur Tengah tidak pernah lepas dari konflik karena kawasan tersebut dianugerahi Minyak bumi yang melimpah sehingga menjadi daya tarik negara lain untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan ini dalam rangka memperoleh kepentingan ekonomi. Kawasan Timur tengah adalah lahan basah bagi para negara besar untuk mendulang kepentingan ekonomi. Minyak bumi yang melimpah ruah di kawasan tersebut menjadi salah satu penyebab utama terjadi konflik yang berkepanjangan. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling berkepentingan di kawasan Timur tengah. Keikutsertaan mereka pada perang dunia kedua membawa dampak kerugian ekonomi yang begitu besar meskipun mereka menjadi satu dari dua negara superpower pada saat itu. Untuk menutupi kerugian ekonomi pada masa perang dunia, Amerika Serikat tentunya membutuhkan sumber daya alam dalam jumlah besar khususnya Minyak bumi. Kawasan Timur tengah sebagai penghasil minyak bumi terbesar di dunia tentunya menjadi ladang paling potensial untuk melakukan recovery kerugian mereka dalam perang dunia.

Keterlibatan Amerika serikat dalam kancah percaturan politik Timur tengah tidak bisa dilepaskan dari andil Arab Saudi. Bermula pada Februari 1945 ketika Franklin D Roosevelt bertemu dengan Abd Aziz bin Saud             yang menghasilkan sebuah keputusan saling menguntungkan. Arab Saudi menjual murah Minyak bumi di pasar global dan sebagai imbalannya, Amerika serikat melindungi Arab Saudi.[6] Kesepakatan tersebut dijadikan pintu masuk bagi Amerika Serikat untuk menguatkan pengaruhnya di kawasan Timur tengah.

Naiknya Mohammad Reza Shah Pahlevi pada tahun 1953 sebagai pemimpin Iran membuat pengaruh Amerika serikat di Timur tengah semakin kuat karena kedekatannya dengan Iran. Hal ini tidak terlepas karena jatuhnya perdana menteri Mohammed Mossadegh adalah sumbangsih dari Amerika Serikat melaui CIA.

Romantisme antara Amerika Serikat, Iran dan Arab Saudi akhirnya berakhir setelah pecahnya gelombang revolusi Iran pada tahun 1979. Ayatullah Khomeini sebagai Pemimpin baru Iran adalah sosok yang sangat keras terhadap pengaruh dari barat. Iran yang kemudian berubah bentuk negara menjadi Republik Islam Iran akhirnya menjadi negara yang sangat menentang dominasi Amerika Serikat di kawasan Timur tengah, bahkan hubungan Arab Saudi dan Iran juga memburuk karena kedekatan Arab Saudi dengan Amerika serikat bahkan pada tahun-tahun berikutnya hubungan Iran dan Arab Saudi semakin mengarah pada titik klimaks karena hubungan antara kedua negara tersebut diperparah dengan isu sektarianisme yaitu antara Sunni dan Shiah. Isu sektarian yang dianggap oleh Ahmad Syafii Maarif sebagai sumber bencana yang bertanggung jawab bagi hancurnya persaudaraan antar umat itu sendiri dan tidak akan pernah berakhir kecuali pemicu perpecahan tersebut tidak ditinggalkan.[7]  Pada tahun 2016, hubungan kedua negara benar-benar berada pada titik nadir ketika kedua negara memutuskan hubungan diplomatik melalui serangkain konflik terbuka dimulai ketika Arab Saudi mengeksekusi ulah Shiah yang terkemuka, Nirm Bagir al-Nirm.

Hubungan antara Amerika Serikat dengan Iran semakin tidak menemui titik terang seiring dengan memburuknya hubungan antara Arab Saudi dengan Iran. Arab Saudi tetap akrab dengan Amerika Serikat sedangkan Iran berjuang untuk berdaulat dari pengaruh Amerika Serikat. Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadap Iran seperti mendukung tindakan terorisme, Menyimpan senjata nuklir dan Penyebaran paham Revolusi Islam adalah isu yang diangkat ke permukaan untuk mendiskreditkan dan melemahkan peran Iran di kawasan Timur tengah.

Dampak Normalisasi Hubungan Israel dengan UEA terhadap Pengaruh Iran di Timur Tengah

Pertanyaan yang paling menarik ketika fenomena beberapa negara Timur tengah melakukan rekonsiliasi dengan Israel adalah “dimana posisi Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ketika normalisasi diadakan?”

OKI dibentuk dengan tujuan untuk memperkuat solidaritas antar sesama negara Islam dalam berbagai bidang dan diskriminasi khususnya terkait Palestina yang dianeksasi oleh Israel. Uni Emirat Arab (UEA) tergabung sebagai salah satu anggota OKI namun melakukan langkah politik dengan cara melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Sebuah keputusan yang tentu saja semakin mendiskreditkan posisi Palestina meskipun dengan dalih dari UEA bahwa hubungan tersebut berdampak pada ditundanya aneksasi Tepi barat oleh Israel. Sebuah kalkulasi politik yang tentu saja tidak menguntungkan bagi Palestina karena pada kesempatan lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Israel setuju menunda aneksasi Tepi barat sebagai bagian dari proses normalisasi dengan UEA namun rencana aneksasi tersebut akan tetap dilanjutkan.[8]

Pernyataan Benjamin Netanyahu tersebut dengan sangat jelas menggambarkan bahwa normalisasi hubungan Israel dengan UEA yang dimediasi oleh Amerika Serikat tidak dimaksudkan untuk meredakan niat Israel dalam mencaplok wilayah Palestina. Kalkulasi politik UEA tidak ditujukan untuk membantu Palestina dengan cara mengakrabkan diri dengan Israel. ada kalkulasi politik yang sedang dimainkan oleh Amerika Serikat di kawasan Timur tengah dengan pendekatan yang lebih moderat dari tindakan-tindakan sebelumnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat di kawasan ini.

Kemudian pertanyaan inti yang diajukan adalah ”apa sebenarnya maksud dari proses normalisasi Israel dengan UEA yang dimediasi oleh Amerika Serikat?” Mendegradasi posisi Iran di Timur tengah adalah tujuan dari kesepakatan ini. Mousavian, S. H., & Shahidsaless, S menjelaskan bahwa:

From the American perspective, the major dimensions of conflict include: Iran’s provoking anti-Americans, the potential export of the revolution in one of the most important geostrategic regions of the world, Iran’s potential threat to the Arab-Israeli peace process and security of Israel; its nuclear program; its role in terrorism; and its violation of human rights.[9]

 Penjelasan tersebu di atas menjadi alasan yang sangat kuat bagi Amerika Serikat untuk mendeligitimasi posisi Iran dalam peta perpolitikan Timur Tengah. Amerika Serikat tidak lagi menempuh cara vulgar seperti invasi terbuka yang dilakukan terhadap Irak pada tahun 2003 namun Amerika Serikat menjalankan metode lama saat masa perang dingin dengan cara membangun aliansi dengan negara-negara tetangga Iran untuk menjatuhkan kedudukan Iran.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bagir, H. (2012). Menuju Persatuan Umat. Pandangan Intelektual Muslim Indonesia

Maarif, A. S. (2018). Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Bentang Bunyan

Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi Modern (Edisi Ketujuh). Jakarta: Kencana

Sulaiman, D. Y. (2010). Obama revealed: realitas di balik pencitraan

Trofimov, Y. (2008). Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak. Pustaka Alvabet

 

Jurnal

Mikail, K. (2013). IRAN DI TENGAH HEGEMONI BARAT (Studi Politik Luar Negeri Iran Pasca Revolusi 1979). Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam13(2)

Jones, T. C. (2012). America, oil, and war in the Middle East. The Journal of American History99(1), 208-218

Hikmawan, E., & Putri, G. E. (2018). UPAYA ARAB SAUDI TERHADAP ORGANISASI KERJA SAMA ISLAM DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK IRAN DAN ARAB SAUDI TAHUN 2013-2018. Dauliyah Journal of Islamic and International Affairs3(2), 249-284

Bew, J. (2014). The Real Origins of Realpolitik. The National Interest, (130), 40-52. Retrieved October 5, 2020, from http://www.jstor.org/stable/44153278



[1]Mikail, K. (2013). IRAN DI TENGAH HEGEMONI BARAT (Studi Politik Luar Negeri Iran Pasca Revolusi 1979). Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam13(2)

[3]https://www.aljazeera.com/news/2020/9/15/israel-uae-and-bahrain-sign-us-brokered-normalisation-deals  diaksesl tanggal 4 Oktober 2020 pukul 23.33 WIB

[4]Santoso, L. (2003). Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri hal. 88

[5]Nauvarian, D. (2019). Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam: Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme. Jurnal Hubungan Internasional, 12(2), 69-86

[6] Jones, T. C. (2012). America, oil, and war in the Middle East. The Journal of American History99(1), 208-218 Hal 208

[7] Maarif, A. S. (2018). Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Bentang Bunyan. Hal 34

[9] Mousavian, S. H., & Shahidsaless, S. (2014). Iran and the United States. Bloomsbury Publishing USA

Wednesday, July 1, 2020

Anak Semua Bangsa

Kutipan dari Buku Tetralogi Abah Pram, "Anak Semua Bangsa

Orang bilang apa yang ada di depan manusia hanya jarak dan batasnya adalah ufuk. begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh, yang tertinggal jarang itu juga - abadi. di depan sana ufuk yang itu juga - abadi. tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dalam tangan. jarak dan ufuk abadi itu.

Kau harus bertindak terhadap terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya mengambil milik tanpa izin, pencurian, itu tidak benar, harus di lawan. apalagi pencurian terhadap kebebasan kita selama beberapa hari ini.

Barang siapa tidak bersetia pada azas dia terbuka terhadap segala kejahatan, dijahati atau menjahati.

Kalau hati dan pikiran manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang berseru?

Bunda, ia selalu merestui asal diri berani memilkul risiko dan lebih dari itu, tidak merugikan orang lain.

Teringat pesan Bunda agar selalu waspada dan curiga pada siapa saja yang memuji-muji.

Pribumi Hindia, Jawa khususnya yang terus menerus dikalahkan di medan perang selam ratusan tahun, bukan saja dipaksa mengakui keunggulan Eropa juga dipaksa merasa rendah diri terhadapnya.

Apa artinya pandai kalau tak berbahagia di rumah sendiri? Belajar bekerja juga penting-belajar membangun kehidupan sendiri, sekolahan kan cuma penyermpurna saja?

Kehidupan ini seimbang Tuan, barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila, barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.

Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oeh manusia. 

Kerja Tuan muda, Apa harus seperti pohon? tak kerja apa-apa tapi terus menerus menghisap Bumi?

Membiarkan orang yag ingin tahu tetap dalam ketidaktahuan adalah khianat.

Hanya dari jerih payah sendiri orang bisa merasai kebahagiaan.

Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat dalam segala-galanya. jangan sepelekan persahabatan. kehebatannya lebih besar daripaada panasnya permusuhan.

Kalau Kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil biarpun dia sarjana.

Ya Ma, kita sudah melawan, Ma biarpun hanya dengan mulut.

2 juli 20

Saturday, June 27, 2020

Indonesia dan Rivalitas China, Jepang dan India

Judul        Indonesia dan Rivalitas China, Jepang dan India
Penulis     : Poltak Partogi Nainggolan
Penerbit    : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun        : 2018

Amerika Serikat pada akhir Januari 2016 telah menutup pabrik mobil Ford yang sudah lama eksis di Indonesia
Hubungan China dan Indonesia telah berlangsung lama selama berabad-abad, secara resm sejak kedatangan misi Laksamana Cheng Ho ke Majapahit. Hal. 2
Laksamana Ceng Ho diyakini Sinolog Pattiradjawane tidak pernah berlabuh di Indonesia namun AL China dengan utusan Cheng Ho hadir di Nusantara antara lain di Majapahit untuk memungut pajak yang ditolak penguasa Majapahit, Raden Wijaya ketika itu, memotong telinga utusan China tersebut sehingga menyulut perang yang berpengaruh kemudian atas masa dengan kerajaannya. Hal 11
Konsep Major Power bersifat terbuka yang artinya negara (kekuatan) baru atau lama bisa keluar masuk dari ketegori ini. Hal 12
Perimbangan kekuataan (balance of power) untuk dapat memberikan daya tangkal (deterrence) yang bagi penganut realis justru dinilai mampu mencegah prang. premis bahwa bersiap-siap untuk perang dengan membangun dan memperkuat angkatan bersenjata nasional adalah baik dalam rangkah mencegah intimidasi dan tekanan militer negara lain. hal. 13
Pada tahun 2014, PD China tercatat menempati 2 terbesar di dunia-hanya setingkat di bawah AS-dengan jumlah PDB terbesar US$11,212 Triliun. Hal 15

Sunday, June 21, 2020

Organization of the Islamic Conference

Konflik, kekerasan dan ancaman terhadap perdamaian dewasa ini banyak terjadi di negara-negara berpenduduk muslim (anggota OIC), padahal Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan toleransi. Mengapa negara-negara tersebut rentan terhadap konflik dan kerusuhan? 
Islam sebagai salah satu Agama terbesar di dunia, mengajarkan tentang perdamaian dan toleransi dalam semua sisi kehidupan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa negara-negara Islam khususnya di kawasan Timur Tengah sangat rentan dilanda konflik dan kerusuhan. Ada beberapa faktor yang menurut saya membuat negara Islam terjebak dalam konflik yang berkepanjangan baik sesama umat Islam maupun konflik dengan agama lain atau pun dengan negara Barat. Pertama bahwa konsep Jihad yang sering disalahpahami oleh kelompok garis keras umat Islam. Jihad dianggap sebagai sebuah metode berperang untuk membela agama Islam. Kedua adalah paham Khawarij yang masih menjangkiti sebagian kelompok umat Islam, bahkan semakin tumbuh subur di era sekarang. Mereka tidak segan berkonfrontasi bahkan dengan sesama umat Islam yang tidak sealiran dengan mereka. Di masa sekarang kelompok Khawarij mewujud dalam kelompok Teroris seperti Al-Qaeda pada dekade silam, kemudian ISIS, Taliban dan kelompok radikal lainnya yang dengan mudahnya mengkafirkan umat Islam yang berbeda dengan mereka bahkan sampai memeranginya. Jika kelompok Khawari ini masih menjamur maka dunia Islam akan selalu dipenuhi konflik berdarah. Ketiga adalah sikap eksklusivisme sebagian umat Islam. hampir sama dengan sikap Khawarij namun sikap eksklusif yang menjangkiti sebagian umat Islam tidak sampai memerangi kelompok yang dianggap berbeda. Mereka mengagung-agungkan Islam/kelompoknya dengan merendahkan agama lain/kelompok lainnya namun masih dalam batas pemikiran tidak melakukan tindakan kekerasan, namun jika tidak dikontrol maka sikap seperti ini bisa berubah menjadi tindakan intoleran. Keempat adalah politisasi antara Sunni dengan Shia yang masih berlanjut sampai saat ini. Dalam konferensi Islam Internasional di Amman, Yordania pada tanggal 4-6 Juli 2005, sudah disepakati bahwa Mazhab Shia (Ja’fari & Zaidi) adalah bagian Islam namun tetap saja pada akar rumput umat Islam, masih terprovokasi politisasi bahwa Shia bukan Islam sehingga memperuncing konflik antar sesama Muslim. Umat Islam tidak bisa bersatu dalam menghadapi ancaman dari luar akibat perbedaan Sunni dengan Shia yang selalu ditonjolkan. Kelima lebih pada faktor eksternal yaitu pemberitaan media Barat yang tidak seimbang dalam menginformasikan segala hal mengenai Islam. hal ini mengundang sikap defensif dari berbagai kalangan umat Islam bahkan kelompok Islam yang inklusif sekalipun akan merasa tidak nyaman dengan pemberitaan sebagian media Barat yang selalu mendiskreditkan segala hal tentang Islam.

Mengapa konflik-konflik tersebut seringkali mengarah kepada keterlibatan tindak terorisme? Dalam konflik yang terjadi di negara Islam, seringkali menggunakan metode Terorisme. Salah satu konsep dalam Islam yang selalu diidentikkan dengan terorisme adalah konsep Jihad. Sebuah konsep mulia dalam ajaran Islam yang disalahartikan oleh sebagian kecil kelompok radikal Islam. Jihad pada hakekatnya adalah “berjuang atau berusaha keras” namun direduksi maknanya oleh sebagian kelompok menjadi sebuah tindakan kekerasan dalam makna fisik atas nama “membela Islam”. konsep Jihad ini yang kemudian dikonversi menjadi tindakan terorisme oleh sebagian kecil kelompok Islam. alih-alih tindak terorisme tersebut membela Islam bahkan sebaliknya menjadikan nama Islam tercoreng sebagai agama yang dianggap melegalkan kekerasan. Sebagian dari umat Islam lainnya berusaha mendemonstrasikan ke dunia Global bahwa terorisme bukan bagian dari Islam bahkan Islam sama sekali melarang tindakan terorisme namun umat Islam juga harus mengakui bahwa sejak peristiwa 11 September 2011, sebagian besar tindakan teror didalangi oleh kelompok yang beragama Islam sehingga umat Islam harus lebih mengevaluasi ke dalam internal dibandingkan selalu berupaya keras mendemonstrasikan secara verbal ke dunia Global bahwa Islam bukan agama Teroris. Ada proses yang tidak berkelanjutan dalam tubuh Islam sehingga beberapa konsep mulia seperti Jihad, disalahartikan oleh sebagian kelompok atau mungkin digunakan sebagai tameng oleh mereka untuk mencapai tujuan kelompoknya.

Apa upaya OIC merespon konflik-konflik itu, dan langkahnya dalam mempromosikan perdamaian dan kehidupan dunia yang lebih harmonis?  Salah satu upaya OIC dalam mempromosikan perdamaian dan kehidupan yang lebih harmonis adalah dengan membentuk sebuah badan independen dalam organisasi OIC yang dikenal dengan nama Independent Permanent Human Rights Commission (IPHRC). Badan independen tersebut berfungsi untuk mempromosikan hak-hak sipil, politik, sosial dan ekonomi bagi seluruh negara anggota OIC yang disepakati sesuai dengan nilai-nilai dalam Islam. namun badan ini masih terbatas fungsinya hanya sebatas konsultatif seperti yang tercantum dalam statuta piagam OIC.
Langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh oleh OIC dalam mempromosikan perdamaian yang lebih harmonis adalah mencoba untuk membuka ruang dialog antar agama, mempererat hubungan kerjasama dengan organisasi lain di dunia seperti PBB dan Uni Eropa sebagai representasi organisasi di dunia barat yang selalu vis a vis dengan dunia Islam. OIC juga harus mampu membuka diri untuk bekerjasama dengan media yang selama ini memberitakan dunia Islam dari sisi negatif. Jika ruang dialog dibuka selebar-lebarnya maka diharapkan pihak-pihak yang selama ini mendiskreditkan Islam, bisa memahami dunia Islam dari sisi positifnya.

Perbaikan seperti apa yang perlu dilakukan oleh OIC dalam upaya penyelesaian konflik dan mempromosikan perdamaian dunia? OIC diharapkan mampu menjadi organisasi di negara Islam untuk menyelesaikan berbagai macam konflik yang selama ini melanda negara Islam namun sebelum melangkah lebih jauh dalam proses penanganan konflik, maka OIC sebagai organisasi kerjasama Islam harus mampu menjadi wadah yang netral bagi semua negara anggota. OIC harus menegaskan dirinya sebagai organisasi yang berdiri secara netral dan tidak memihak terhadap negara yang sedang berkonflik. Upaya lain yang harus ditempuh adalah melalui proses musyawarah dalam mencapai sebuah solusi atas konflik yang sedang terjadi. 

Dalam proses mempromosikan perdamaian dunia, maka terlebih dulu OIC harus menjawab tantangan di dunia Islam itu sendiri seperti isu terorisme, Islamphobia, sampai pada kekerasan hak asasi manusia yang sering terjadi di negara Islam. jika isu-isu tersebut masih sering terjadi di dunia Islam itu sendiri, maka OIC akan mengalami kesulitan dalam mempromosikan perdamaian dunia karena negara-negara lain tidak akan mempercayai OIC sebagai sebuah organisasi yang mengusung perdamaian dunia jika di dalam tubuh negara-negara anggotanya masih sering terjadi hal-hal yang kontraproduktif dengan isu perdamaian dunia. Satu hal yang sangat urgent dalam proses OIC menjadi organisasi yang diakui oleh dunia adalah sampai dimana kemampuan mereka memediasi kepentingan Palestina. Sepanjang masalah Palestina masih terus berlanjut tanpa solusi yang jelas maka selama itu pula, OIC akan dianggap sebagai organisasi yang gagal karena tidak bisa dipungkiri bahwa awal berdirinya OIC adalah membela kepentingan Palestina.

Negara-negara Islam yang tergabung dalam OIC mengadopsi The Cairo Declaration of Human Rights in Islam pada bulan Juli 1990. Apa alasan yang melatarbelakangi dilakukannya deklarasi tersebut? 

Pada dasarnya The Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) merupakan sebuah konsepsi tentang hak asasi manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar perumusan deklarasi tersebut. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan deklarasi HAM PBB 1948 yang berlandaskan pada kemanusiaan tanpa memasukkan nilai-nilai Islam. Dari isi Deklarasi Kairo tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa isi deklarasi tersebut sangat jelas ditujukan kepada penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang bernafaskan nilai-nilai Islam sehingga ketika timbul masalah HAM diantara para negara anggota OIC yang notabene adalah negara dengan mayoritas penduduk Islam, maka dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, OIC akan memediasi dengan berdasarkan pada CDHRI.

Selain itu, Deklarasi Kairo tentang HAM (CDHRI) juga sebagai pelengkap/komplemen. dimana terdapat beberapa pernyataan dalam CDHRI yang melengkapi isi the Universal Declaration of Human Rights sebagai dasar pijakan OIC dalam menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Secara sederhananya bahwa kenapa OIC merasa perlu mengadopsi CDHRI sedangkan sudah ada Deklarasi HAM PBB 1948 maka bisa disimplifikasi bahwa jika terjadi permasalahan HAM antara sesama anggota OIC maka referensinya adalah Deklarasi Kairo karena lebih spesifik terkait HAM dalam konteks Islam namun jika timbul masalah HAM antar negara anggota OIC dengan negara yang bukan anggota maka Deklarasi HAM PBB 1948 yang dijadikan rujukan atau referensi dalam menyelesaikan masalah HAM tersebut.

Selain sebagai sebuah pelengkap namun Deklarasi Kairo juga menyisakan perdebatan panjang yang belum menemui titik terang antar anggota OKI yaitu pada pasal 24 dan pasal 25. Pasal 24 menyatakan bahwa “ semua hak dan kebebasan yang diatur dalam deklarasi ini tunduk pada Syariat Islam”sedangkan pasal 25 menetapkan bahwa “Syariat Islam sebagai referensi tunggal dalam hal penjelasan dan klarifikasi atas semua poin dalam deklarasi Kairo.” Perdebatan lainnya adalah pembatasan kebebasan dalam beragama melalui pelarangan keluar/murtad dari Islam, pembatasan berekspresi yang harus sesuai dengan yang ditentukan Syariat Islam, isi Deklarasi ini juga menambahkan bahwa dalam proses rekonsiliasi antara Islam dan HAM internasional maka dua hak khusus untuk Islam adalah hak untuk tetap harus menjadi Muslim dan larangan Riba.

Mengapa OIC perlu membuat Deklarasi HAM dan instrumen sendiri terkait perlindungan HAM? OIC membuat deklarasi HAM dan instrumen tersendiri terkait perlindungan HAM adalah sebagai manifestasi bahwa terdapat perbedaan mencolok terkait konsep HAM menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disepakati oleh PBB dengan konsep HAM dalam pemahaman ajaran Islam. deklarasi Kairo sebagai Deklarasi HAM tersendiri bagi negara-negara OIC menjadi dasar pijakan dalam menyelesaikan permasalahan HAM dalam dunia Islam. sedangkan instrumen tersendiri dibentuk sebagai alat untuk mempromosikan HAM di negara-negara anggota OIC. Tingginya pelanggaran HAM di negara-negara Islam menjadi perhatian serius bagi OIC bagaimana menegakkan Hak Asasi Manusia di dalam dunia Islam yang selama ini diberitakan oleh dunia Barat sebagai negara dengan memiliki sejarah panjang pelanggaran HAM.

Dalam piagam OIC Pasal 1-15 sangat jelas menyatakan bahwa negara anggota OIC diharuskan untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan utama termasuk hak-hak perempuan , anak-anak, pemuda, orang tua dan orang yang berkebutuhan khusus. Kemudian pasal 1-16 menjelaskan bahwa OIC melindungi hak, martabat, dan identitas agama dan budaya Islam dan kelompok minoritas di negara non anggota. 

Dari isi piagam tersebut, dapat disimpulkan bahwa deklarasi HAM bagi OIC sangat dibutuhkan sebagai pengejewantahan defenisi konsep HAM dalam negara Islam dan sebagai dasar dalam penegakan HAM bagi negara-negara anggota OIC. 

Bagaimana dampak adanya IPHRC, sebagai komisi HAM independen yang didirikan oleh OIC, terhadap promosi HAM di negara-negara anggota OIC?  IPHRC yang sudah terbentuk selama 9 (Sembilan) tahun, belum berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan HAM di negara anggota OIC karena beberapa hal. Salah satu hal yang membuat IPHRC tidak berkembang dengan baik karena mandat dari statuta yang diamanatkan kepada IPHRC sangat minim yaitu hanya sebatas mempromosikan HAM kepada negara anggota OIC, tidak ada kewenangan dalam fungsi perlindungan ataupun pengawasan sehingga meskipun IPHRC dideklarasikan sebagai komisi independen dalam organisasi OIC namun kerja-kerjanya hanya melakukan promosi atau pengenalan tentang HAM. Dari hal tersebut juga, bisa dimaklumi jika sepak terjang IPHRC dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa negara anggota OIC, tidak terlalu signifikan. Contohnya pada keterlibatan IPHRC dalam kasus Libya, IPHRC hanya sebatas memberikan bantuan terhadap para pengungsi yang melarikan diri dari konflik di Libya tanpa mampu berbuat lebih jauh lagi. Pada akhirnya, komisi IPHRC akan bergerak dalam menjalankan fungsinya hanya sebatas mengingatkan atau mengeluarkan himbauan sehingga tidak mengherankan jika komisi independen ini belum mempunyai pengaruh yang signifikan baik dalam internal anggota OIC maupun di dunia internasional. Selain hal tersebut di atas, peran IPHRC dalam perkembangan HAM di negara anggota OIC belum maksimal karena belum adanya kesepakatan yang jelas terkait batasan fungsi dari IPHRC itu sendiri. menurut mantan ketua IPHRC 2012-2016, Siti Ruhaini Dzuhayatin bahwa beberapa negara anggota OIC yang konservatif masih ragu menjadikan IPHRC sebagai salah satu instrumen dalam menegakkan masalah HAM diantara negara anggota OIC sehingga IPHRC hanya sebatas menjelaskan konten HAM global terhadap negara anggota OKI dan sebatas instrumen promosi HAM 

Bagaimana posisi negara-negara OIC dalam diplomasi HAM di kancah internasional? Sebagai organisasi antar-negara terbesar kedua di dunia setelah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), menjadikan OIC mempunyai peran yang sangat signifikan dalam proses diplomasi mengenai HAM di dunia internasional, salah satunya adalah kelompok negara OIC sangat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan pada badan HAM di PBB dimana negara-negara OIC secara konsisten menolak resolusi yang terlalu spesifik pada Dewan HAM PBB karena negara OIC menganggap resolusi tersebut mempunyai sebuah tujuan terselubung dari negara-negara barat untuk menjustifikasi tujuan mereka dalam hal melakukan intervensi terhadap sebuah negara dengan dalih HAM. Negara-negara OIC menganggap bahwa hal semacam itu melanggar kedaulatan nasional suatu negara dan resolusi yang spesifik terhadap sebuah negara juga melampaui mandat dari Dewan HAM PBB. 

Apa yang dapat Anda sampaikan sebagai kritik perbaikan terhadap OIC dalam diplomasi HAM global? Menurut pendapat saya mengenai perbaikan OIC dalam diplomasi HAM global adalah langkah awal yang harus ditempuh sebelum melangkah lebih jauh dalam diplomasi HAM Global adalah negara-negara anggota OIC harus satu suara dalam memaknai HAM itu sendiri. Negara-negara yang tergabung dalam organisasi ini mempunyai posisi daya tawar yang sangat kuat di mata internasional namun demikian, permasalahan dasar di Organisasi ini adalah masih terjadi perdebatan panjang dalam tataran ontologi bahwa esensi dari HAM menurut semua negara anggota OIC belum seragam sehingga tafsir terhadap isi Deklarasi Kairo yang diadopsi sebagai salah satu pedoman organisasi masih menjadi perdebatan. OIC yang juga sangat identik dengan negara-negara Timur tengah mendapat tantangan yang cukup berat karena konflik yang terjadi di Timur tengah seakan tidak pernah berhenti. Jika dalam internal saja negara anggota masih berkonflik dan tingkat pelanggaran HAM yang masih tinggi, maka OIC tidak bisa berbicara banyak di panggung internasional. Saya tidak sedang berpretensi untuk mendorong OIC mengadopsi full konsep HAM menurut Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang diadopsi oleh majelis umum PBB pada 10 Desember 1948, namun setidaknya bahwa kesepakatan konsep HAM di antara negara OIC akan menguatkan posisi daya tawar mereka ketika berbicara lebih jauh di kancah diplomasi HAM Global. Perdebatan panjang diantara sesama anggota masih terjadi pada ranah HAM sesuai konsep Islam yang murni misalnya tentang Perempuan dan perkawinan.

21 6 20

Asean Community

Sejarah panjang perjalanan Asean sebagai sebuah organisasi regional sejak dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, sudah melalui begitu banyak dinamika dalam proses interaksi antar sesama negara anggota yang notabene memiliki banyak persamaan yang memudahkan mereka dalam menjalankan kerjasama dalam berbagai bidang. Asean dibentuk pada saat kondisi dunia terbagi dalam kekuatan Bipolar, namun dengan berdirinya Asean menjadi sebuah pengukuhan bahwa negara-negara Asean mampu bersikap secara independen tanpa memihak kepada salah satu blok yang saat itu didominasi oleh Uni Sovyet dan Amerika Serikat. 

Sebelum ditandatangani Asean Charter pada tahun 2007 dan berlaku efektif pada 15 Desember 2008, Asean belum memiliki dasar hukum yang kuat dalam mengikat kerjasama di berbagi bidang sehingga sebelumnya, Asean berjalan hanya seperti sebuah organisasi paguyuban yang didirikan karena berbagai latar belakang persamaan sehingga berdampak pada pencapaian tujuan yang tidak maksimal karena tidak adanya dasar hukum bersama yang disepakati dan dijadikan rujukan sehingga dengan disepakatinya Piagam Asean menjadi pencapaian tersendiri bagi perjalanan organisasi Asean.

Asean Community yang ditandantangani pada pada Deklarasi Asean Concord II dan tercantum dalam pembukaan Piagam Asean menjadi blueprint dalam memimpikan sebuah progress kerjasama di antara sesama negara Anggota Asean. Sebuah cita-cita dalam mewujudkan kerjasama di tingkat kawasan Asia Tenggara yang lebih maju, makmur dan saling membantu. diwujudkan dalam sebuah kondisi di mana semua anggota Asean saling menopang dalam semua bidang tanpa ada satu negara yang tertinggal. Asean Community terdiri dari tiga pilar yang akan diwujudkan bersama-sama anggota Asean yaitu: 
1. Pilar pertama adalah Komunitas Politik Keamanan (Asean Political-Security Community/ASC) yang menekankan pada pembentukan norma-norma politik bagi negara anggota Asean
2. Pilar kedua adalah Komunitas Ekonomi Asean (Asean Economic Community/AEC) yang menekankan pada pembentukan pasar tunggal. Semua warga negara Asean berhak bekerja dan juga membuka usaha di wilayah Asean manapun
3. Pilar ketiga adalah Komunitas Sosial Budaya Asean (Asean Socio-Cultural Community/ASCC) yang diharapkan membentuk sebuah hubungan saling tolong di antara sesama anggota Asean khususnya dalam beberapa hal yang mendesak seperti penanganan bencana alam, masalah lingkungan hidup, Kesehatan, Pengentasan kemiskinan dll. 

Meskipun tetap optimis dalam menghadapi rencana-rencana yang sudah ditetapkan dalam konsep Asean Community namun para Stakeholder juga harus bersikap realistis bahwa dalam mewujudkan Asean Community yang dimanifestikan dalam tiga pilar di atas, bahwa langkah-langkah yang diambil akan mendapat tantangan yang cukup serius.

Pada masa sekarang, ketiga pilar tersebut mendapat tantangan tersendiri yang cukup menguras energi untuk diselesaikan. Tantangan terhadap pilar komunitas Politik-Keamanan Asean antara lain isu di Laut Cina Selatan yang melibatkan Tiongkok dengan beberapa negara Asean, isu keamanan di selat Malaka dan kasus perompakan di Laut Cina Selatan. tantangan pada Komunitas Ekonomi Asean antara lain isu kesenjangan ekonomi antara negara anggota Asean, isu RCEP yang diprakarsai oleh Tiongkok dengan isu TPP yang diprakarsai Amerika Serikat.

Menurut pandangan saya bahwa dari ketiga pilar Asean Community tersebut beserta tantangan yang sedang dihadapi dan potensi tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang, maka ada pilar yang cukup sulit diwujudkan dalam Asean Community yang yang terwujud dalam konektivitas Asean 2025. Pilar yang paling sulit diwujudkan adalah pilar komunitas Politik-Keamanan Asean. Khusus pilar ini menurut saya menghadapi tantangan yang cukup serius baik dari internal negara anggota Asean maupun tantangan yang berasal dari eksternal. Menurut blueprint komunitas Politik-Keamanan Asean bahwa 
“Asean’s cooperation in political development aims to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote and protect human rights and fundamental freedom, with due regards to the rights and responsibilities of the member states of Asean.” (ASEAN Political-Security Community Blueprint 2025 article A.2)
 
Dari beberapa poin blueprint komunitas Politik-Keamanan Asean di atas, ada tiga poin yang saya kemukakan sebagai dasar argumen kenapa saya menarik kesimpulan bahwa pilar Politik-Keamanan Asean cukup sulit diwujudkan. Poin pertama adalah strengthen democracy. Perlu digarisbawahi bahwa negara anggota Asean sangat heterogen bahkan menurut mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirayuda bahwa hanya dua dari 10 negara anggota Asean yang demokratis.  Kenyataan ini jelas sangat paradoks dengan blueprint yang diusung dalam pilar Komunitas Politik-Keamanan Asean  yang bermaksud memperkuat demokrasi bahkan menurut Emmerson (2005) bahwa Laos, Myanmar dan Vietnam menyatakan keberatannya tentang penyebutan demokrasi sebagai tujuan bersama Asean (as cited in Choiruzzad, 2014:53). Meskipun negara-negara tersebut tetap meratifikasi Piagam Asean yang memuat konsep demokrasi, namun tetap saja bahwa demokrasi bagi negara anggota Asean yang belum menerapkannya akan menyisakan masalah yang tidak sepele.

Poin kedua yang saya tekankan pada blueprint di atas yaitu mengenai enhance good governance and the rule of law. Poin ini berhubungan erat dengan perlindungan hak asasi manusia. jika pelanggaran HAM masih masif terjadi di sebagian negara anggota maka hal tersebut menjadi salah satu indikator bahwa penegakan hukum di negara tersebut masih sangat lemah. Tidak bisa dipungkiri bahwa negara-negara Asean masih menjadi sorotan dalam penegakan hukum yang masih lemah. Fakta di lapangan bahwa kawasan Asia Tenggara masih menjadi lahan bagi berbagai macam kejahatan seperti, perdagangan manusia, perdagangan narkoba, dan perdagangan satwa liar dan obat palsu.

laporan terbaru dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menyatakan bahwa konteks obat palsu, Asia Tenggara telah menghabiskan uang berkisar antara US $ 520 juta dan US $ 2,6 miliar per tahun untuk obat palsu . Maraknya kejahatan di Asia Tenggara menjadi indikasi bahwa penegakan hukum di kawasan ini masih sangat lemah yang secara langsung akan menghambat perwujudan cita-cita komunitas Politik-Keamanan Asean.

Poin yang ketiga tentang “promote and protect human rights.” Dalam hal mempromosikan hak asasi manusia, Asean tidak mengalami kesulitan yang berarti pada dalam berbagai bentuk yang sifatnya formalitas misalnya seminar, pendidikan dan metode promosi lainnya karena masih dalam ranah teoritis namun jika sudah berbicara mengenai perlindungan hak asasi manusia di tengah Masyarakat, maka beberapa negara anggota Asean akan mengalami kontraproduktif. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa negara anggota Asean masih bermasalah dengan pelanggaran hak asasi manusia baik yang menjadi sorotan dunia global maupun dalam skala nasional yang mampu ditutupi oleh Pemerintahannya untuk melindungi nama baik negara.

Kasus pelanggaran Hak asasi manusia yang masih belum menemui titik terang sampai saat ini adalah kasus Rohingya di Myanmar. Kasus pelanggaran HAM atas etnis Rohingnya belum menemui titik terang sampai sekarang meskipun PBB sudah menyetujui resolusi yang mengutuk pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar. bukan hanya pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di Myanmar, bahkan di negara Indonesia sekalipun yang dikenal sebagai negara yang sudah mengusung sistem Demokrasi namun tidak lepas dari pelanggaran HAM misalnya kasus pelanggaran HAM tahun 1998 yang masih belum selesai dan kasus pelanggaran HAM di Papua yang tidak disikapi dengan  dengan baik oleh Pemerintah Indonesia.

The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) sebagai lembaga dalam bertugas menangani masalah pelanggaran HAM di Asean juga tidak bisa berbuat banyak karena terdapat prinsip non-intervensi yang dianut oleh Asean sehingga membatasi ruang gerak AICHR dalam memantau pelanggaran HAM yang terjadi dalam internal negara anggota Asean. 

Asean juga menghadapi tantangan yang cukup vital di bidang Politik-Keamanan karena sengketa perbatasan antar sesama negara Anggota Asean yang belum menemui titik terang. Salah satu contohnya adalah konflik antara Vietnam dan Filipina, Brunia, Malysia dan Singapura di Laut Cina Selatan. Sengketa antar negara anggota Asean terkait masalah territorial akan menghambat segala upaya organisasi ini dalam mencapai komunitas Politik Keamanan Asean.

Melihat secara keseluruhan hal tersebut di atas, saya berpendapat bahwa pilar Asean  Community khususnya pilar Politik-Keamanan Asean akan sangat sulit terwujud karena permasalahan internal negara anggota Asean belum sepenuhnya selesai baik yang terkait dengan hak asasi manusia, penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan sampai pada proses demokratisasi yang dicantumkan dalam blueprint Komunitas Politik-Keamanan Asean namun dalam proses penerapannya, mayoritas negara anggota Asean belum mengadopsi secara absolut proses demokratisasi yang ideal. 

Selain itu, faktor eksternal juga sangat mempengaruhi sulitnya mewujudkan pilar Politik-Keamanan Asean dalam waktu dekat. meningkatnya pengaruh Tiongkok di laut Cina Selatan turut mempengaruhi kestabilan dalam internal Asean. Tindakan agresif Tiongkok mengklaim laut Cina Selatan membuat negara-negara Asean semakin terancam, bahkan Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Vietnam sudah mengajukan protes terhadap Tiongkok terhadap beberapa pelanggaran yang dilakukan di kawasan Asean.  Di lain hal, negara-negara Asean mengalami kondisi dilema dalam setiap konflik dengan Tiongkok karena tidak bisa dipungkiri bahwa Tiongkok menjadi sumber dana bagi Asean bahkan di masa kondisi Pandemi Covid-19, Pemerintah Tiongkok melalui duta besarnya untuk Asean, Deng Xijun bahwa Tiongkok berkomitmen memberikan bantuan USD 2 Miliar terhadap Asean.

Konstalasi bidang politik dan keamanan di Kawasan Asean menjadi tantangan yang sangat berat bagi Asean dalam proses perwujudan Masyarakat Politik Keamanan Asean yang merupakan salah satu pilar dalam cita-cita Asean seperti yang tercantum dalam Asean Community. Namun demikian, bukan berarti Asean lantas pesimis namun harus ada langkah riil dalam mewujudkan semua pilar Asean Community yang disepakati. Langkah-langkah menuju perwujudan pilar Politik-Keamanan Asean bisa dilakukan dengan cara melalui penanganan masalah domestik seluruh negara anggota Asean kemudian mengatasi masalah yang meliputi kawasan.

Jika negara-negara anggota Asean sudah menyelesaikan masalah internal maka faktor eksternal seperti friksi yang terjadi dengan Tiongkok khususnya di Laut Cina Selatan, bisa diatasi jika negara anggota Asean bersatu dalam menyikapi hal tersebut.

21 6 20

DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP PROSPEK INDO PASIFIK,
SENTRALITAS ASEAN DAN PERAN INDONESIA  
DALAM PERKEMBANGAN INDO PASIFIK

A. Pendahuluan
Indo Pasifik adalah kawasan yang terbentang sepanjang Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indo Pasifik menjadi terminologi baru dalam geopolitik dan geostrategis global sejak diperkenalkan oleh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe pada Quadrilateral Security Dialogue (forum dialog yang beranggotakan Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan India) tahun 2007. kawasan ini menjadi episentrum perebutan kekuasaan oleh negara-negara besar di dunia. kenyataan yang lumrah jika Indo Pasifik menjadi area geopolitik dan geostrategis yang paling mewah saat ini karena kawasan tersebut menjadi lahan paling basah dalam perekonomian dunia, diperkirakan GDP di kawasan Indo Pasifik mencapai 52 triliun dolar US.

Salah satu bukti bahwa negara-negara besar di dunia menaruh perhatian besar pada Indo Pasifik adalah perebutan pengaruh melalui serangkaian kebijakan di kawasan tersebut. Amerika Serikat merilis kebijakan ”Free and Open Indo Pasific (FOIP).” Sebuah kebijakan yang secara formal bertujuan untuk memajukan demokrasi di kawasan ini namun pada intinya bahwa kebijakan tersebut dibuat untuk menghadapi Tiongkok yang semakin menancapkan pengaruhnya di kawasan Indo Pasifik. Tiongkok sebelumnya sudah mendominasi kawasan Indo Pasifik dengan bantuannya melalui Belt and Road initiative (BRI) yang mencapai nilai  US$1 triliun. Sebuah angka fantastis yang membuktikan keseriusan Tiongkok dalam mengakses Indo Pasifik sebagai lahan kekuasaannya.

Bencana Pandemi Covid-19 yang muncul sejak akhir tahun 2019, berpengaruh sangat signifikan terhadap stabilitas geopolitik di kawasan Indo Pasifik. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat dan Tiongkok menaruh perhatian lebih pada kawasan ini dengan bersaing dalam memberikan bantuan dalam penanganan wabah Covid 19, bahkan dikhawatirkan bahwa kawasan Indo Pasifik akan menjadi area yang paling merasakan persaingan hegemoni antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Kedua negara tersebut tidak berhenti saling bersaing di Indo Pasifik untuk mengukuhkan hegemoni mereka. Beberapa prediksi menyatakan bahwa Indo Pasifik akan menjadi arena baru dalam babak perang dingin antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Diskursus tentang Indo Pasifik tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan Asean sebagai kawasan yang tepat berada di tengah Indo Pasifik. Jika terjadi konflik di kawasan ini, maka Asean menjadi kawasan yang terkena dampak paling besar. Berangkat dari hal tersebut, Asean yang dalam proses pembentukannya pada 8 Agustus 1967, di mana saat itu masih berlangsung perang dingin dan Asean mampu tetap bersikap netral pada saat itu, maka di situasi sekarang, Asean juga diharapkan mampu mempertahankan sikap netralitas dalam posisi sentralitasnya di kawasan Indo Pasifik. Indonesia sebagai Leader dalam Asean harus mampu menjadi inisiator dalam menggerakkan Asean menjaga stabilitas geopolitik di Indo Pasifik.

B. Kerangka Konseptual
Dalam menganalisa Sentralitas Asean dan Peran Indonesia di Indo Pasifik dalam kaitannya dengan dampak Covid 19 yang menyebabkan perubahan Geopolitik di kawasan akibat persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat, maka akan digunakan teori Balance of power dan Regionalisme. Balance of Power sebagai sebuah grand teori dalam hubungan Internasional dimaksudkan untuk menganalisa persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam perebutan hegemoni di Indo Pasifik saat dan pasca pandemi Covid 19 sedangkan teori Regionalisme digunakan sebagai bahan analisa untuk melihat sentralitas Asean dalam menyikapi dinamika geopolitik di Indo Pasifik akibat pandemi Covid 19. Meskipun teori ini merupakan salah satu teori klasik yang marak digunakan pada saat perang dingin, namun bangkitnya Tiongkok mengimbangi kekuatan Amerika Serikat di tatanan politik Global menjadikan teori ini kembali relevan.

Balance of Power adalah sebuah konsep yang sangat populer pada masa perang dingin ketika dunia dikuasai oleh kekuatan Bipolar yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Paradigma Realisme meyakini bahwa untuk menciptakan dunia yang damai maka diperlukan kedua negara beserta aliansinya dalam perimbangan kekuatan sehingga tidak ada salah satu diantara mereka yang benar-benar menyerang secara terbuka. jika salah satu phak menjadi lebih besar dari pihak yang lain maka pihak yang lebih kuat akan dengan leluasa melakukan tindakan yang menguntungkan pihaknya bahkan sampai pada penyerangan. Balance of Power pada intinya dimaksudkan untuk tetap menjaga kondisi aman dari perang karena adanya dua kekuatan yang sama kuat dan tidak saling menyerang karena mereka sadar bahwa jika menyerang maka kemungkinan kalah sangat besar.

Konsep Regionalisme sendiri masih menjadi perdebatan pada tataran karakteristik terbentuknya, namun demikian menurut Edward D. Mansfield1 dan Helen V bahwa ada dua jenis Regionalisme yaitu Regionalisme berdasarkan geografis yaitu adanya kerjasama diantara negara-negara yang berdekatan secara geografis dan yang kedua adalah Regionalisme berdasarkan non-geografis, peningkatan level ekonomi dan aktivitas negara di antara negara yang tidak berdekatan secara geografis.

Secara sederhana, konsep Regionalisme bisa dimaknai sebagai hubungan negara-negara yang terlembaga dengan baik dalam satu kawasan tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Aspek dalam kerjasama regionalisme sangat luas mencakup bidang politik, ekonomi, sosia, budaya bahkan semua ruang lingkup kehidupan bernegara.

C. Dampak Pandemi Covid 19 terhadap Prospek Indo Pasifik
Pandemi Covid-19 yang muncul akhir tahun 2019 di Wuhan, Tiongkok membuat tatanan global berubah secara drastis. Tiongkok menjadi negara yang paling awal mengalami dampak yang signifikan karena wabah tersebut berasal dari salah satu provinsi di Tiongkok dan diprediksi Tiongkok akan mengalami keterpurukan akibat wabah Covid-19, namun seiring berjalanannya waktu yang hanya berlangsung sekitar 5 bulan, Tiongkok mampu mengatasi wabah tersebut di saat negara-negara di dunia baru terjangkit. Ketika episentrum Covid-19 berada di kawasan Eropa dan Amerika Serikat, Tiongkok sudah berhasil keluar dari kondisi krisis akibat wabah Covid 19 dan mulai bergerak mengarahkan bantuan ke negara-negara yang terkena dampak wabah Covid 19.

Indo Pasifik sebagai kawasan yang sangat luas, membentang dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadi salah satu kawasan yang terdampak pandemi Covid 19. Dampak wabah Covid 19 menjadi celah bagi persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Indo Pasifik menjadi terbuka karena kawasan tersebut membutuhkan bantuan yang sangat besar dalam proses penanganan saat pandemi Covid 19 dan pemulihan pada suatu saat pandemi Covid 19 berlalu. Persaingan kedua kekuatan baru dunia ini akan semakin mengubah Geopolitik di kawasan Indo Pasifik yang memang menjadi primadona kawasan paling diperebutkan oleh kedua negara sebelum pandemi Covid 19. 

Tiongkok yang sudah melewati masa krisis selangkah lebih maju dari Amerika Serikat yang masih bergulat dengan urusan domestik dalam penanganan Covid 19. Namun demikian, Amerika Serikat bukan aktor baru dalam dunia Internasional, negara ini sudah melewati beberapa kali dinamika tatanan global dan menjadi aktor tunggal negara adidaya pasca perang dingin, sehingga meskipun masih dalam masa pandemi Covid 19, Amerika Serikat tetap meningkatkan tekanan militernya terhadap Tiongkok. Pesawat pengebom Amerika Serikat tetap melakukan aktivitas di kawasan Indo Pasifik bahkan pihak Pentagon menyatakan bahwa wabah Covid 19 sama sekali tidak merusak kemampuan Amerika Serikat untuk merespon tindak Tiongkok. 

Persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok jika dilihat dari paradigm Realisme dengan menggunakan konsep Balance of Power bahwa jika menginginkan kawasan Indo Pasifik tetap aman dari arena perang terbuka, maka kedua negara tersebut harus tetap dalam kondisi kekuatan yang sama, baik kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi karena jika salah satu dari kedua negara tersebut menjadi lebih kuat, maka akan terjadi serangan terbuka dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.

D. Sentralitas Asean terhadap Indo Pasifik dan Peran Indonesia dalam Perkembangan Indo Pasifik
Asean sebagai sebuah organisasi kawasan yang tepat berada di tengah Indo Pasifik, menjadi pihak yang terdampak jika terjadi ketegangan di Indo Pasifik. Di masa krisis seperti ini, netralitas Asean akan diuji kembali dengan tatatan politik dunia yang hampir mirip pada saat perang dingin. Pada saat perang dingin dalam suasana persaingan hegemoni kekuatan Bipolar saat itu, Asean mampu melewati dengan tetap menjaga netralitas tanpa berpihak kepada salah satu pihak. Tatanan dunia global saat ini menampakkan tanda-tanda yang sama bahwa dunia kembali akan terjebak dalam sebuah tatanan dunia yang dikuasai oleh kekuatan Bipolar dengan aktor yang berbeda, kali ini Amerika Serikat vis-à-vis dengan Tiongkok. Asean memiliki tantangan yang berlipat karena Asean tepat berada di dalam sentral kawasan Indo Pasifik yang notabene menjadi area paling diperebutkan oleh kedua negara tersebut. Setiap dampak dari perubahan Geopolitik di Indo Pasifik serta merta menjadi masalah tersendiri bagi Asean. 

Indonesia sebagai Leader di Asean harus menggunakan peranannya untuk mengarahkan Asean menjadi lebih netral dalam menyikapi persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang semakin meningkat di kawasan Indo Pasifik. Konsep Politik Luar Negeri Indonesia bebas aktif bisa menjadi sebuah alat untuk mengarahkan Asean menjadi lebih tepat dalam mengambil keputusan dalam menyikapi situasi geopolitik yang sedang berkembang di Indo Pasifik. Konsep politik luar negeri Indonesia dalam tataran Asean bisa diartikan bahwa Asean bebas dalam menentukan sikap tanpa dipengaruhi oleh salah satu pihak yang sedang berkonflik sedangkan aktif bisa dimaknai bahwa Asean aktif berinisiatif dalam mencari solusi atas krisis yang terjadi sehingga pihak yang berkonflik mampu menerima solusi yang menguntungkan bagi semua pihak. 

Indonesia mewujudkan hal tersebut dalam mempelopori kerjasama multilaterisme kawasan Indo Pasifik yang berbasiskan sentralitas Asean. Indonesia menginternalisasi kebijakan Politik Luar Negeri bebas aktif melalui Asean Outlook on Indo-Pasific (AOIP) yang dihasilkan dari pada KTT Asean ke-34 di Bangkok tanggal 20-23 Juni 2019. Indonesia melalui kesepatakan AOIP berusaha mendorong Asean agar saling berangkulan dalam menginisiasi stabilitas geopolitik di kawasan Indo Pasifik, menekankan prinsip inklusivitas, transparansi, Sentralitas Asean, menghormati hukum internasional dan mengedepankan kerjasama dan dialog dalam pengembangan kerjasama Indo Pasifik (cnbcindonesia.com, 2019), meskipun pada akhirnya bahwa Tiongkok tidak menyetujui AOIP karena hegemoninya sudah mulai menguat di kawasan Indo Pasifik dengan begitu banyaknya gelontoran bantuan yang dikucurkan kepada Indo Pasifik melalui BRI.

E. Kesimpulan
Pandemi Covid 19 sangat berdampak pada perekonomian kawasaan indo pasifik saat masa pandemic dan terganggunya prospek kawasan ini di masa mendatang, . Hal tersebut tentunya membuka kesempatan yang lebih besar bagi Tiongkok dan Amerika Serikat untuk memberikan bantuan kepada Indo pasifik dalam hal penanganan selama pandemi Covid 19 dan bantuan pemulihan pasca pandemi Covid 19. Bantuan tersebut tentunya diartikan sebagai sebuah usaha persaingan antara kedua negara dalam mengukuhkan hegemoninya di kawasan Indo Pasifik. Tiongkok dengan program BRI mengucurkan bantuan yang tidak sedikit untuk mendapatkan pengaruhnya begitupun Amerika Serikat melalui kebijakan Free and Open Indo Pasific (FOIP). Semua kebijakan yang berujung pada sebuah usaha untuk menarik semua potensi yang ada di Indo Pasifik ke dalam pengaruhnya.

Tensi persaingan yang semakin meninggi antara Amerika Serikat dengan Tiongkok mempengaruhi secara langsung Asean yang tepat berada di sentral kawasan Indo Pasifik. Atas hal tersebut, Asean yang dimotori oleh Indonesia membentuk sebuah konsep Asean Outlook on Indo Pasifik (AOIP) dengan tujuan mendorong semua pihak untuk menjaga kestabilan geopolitik Indo Pasifik.

21 6 20

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...