Monday, April 6, 2020

Epistemologi

Bagaimana suatu dunia dimana tidak ada pengamat, tidak ada subjek yang mengetahui?

Epistemologi adalah suatu kajian dalam filsafat yang utamanya adalah mencari pengertian dari pengetahuan, asal usulnya, penyebabnya dan cara bekerjanya. bagi para pelajar filsafat Indoneisa, Epistemologi biasanya dikaitkan dengan pertanyaan pokok, apakah syarat-syarat dari pengetahuan kita? atau seperti yang dinyatakan Kant, bagaimana pengetahuan kita mungkin? pertanyaan ini berusaha mencari tahu apakah landasan dari pengetahuan kita yang kita klaim sebagai sesuatu yang didasarkan pada entah itu pengalaman, rasionalitas atau sumber lainnya.

Kant, filsuf dari Jerman mempertanyakan karena tidak puas dengan jawaban sementara ini. untuk memahami pertanyaan Kant, kita harus memahami konteks pemikirannya. pemikiran Kant muncul dari perdebatan abad modern sekitar abad 18 ke 19 khususnya berkenaan dengan sumber pengetahuan. ada sebagian pemikiran yang disebut Rasionalis yang berpendapat bahwa pengetahuan kita berasal dari yg sifatnya rasional belaka. 

Sebagian filsuf seperti Descartes, Spinoza, Leibniz. biasanya diakitkan dengan paham ini (Rasionalis). Mereka percaya bahwa pengetahuan itu sepenuhnya didasarkan pada rasio/nalar. dalam matematika kita tidak perlu mengetahui kenyataan empiris di luar kita untuk sampai pada kesimpulan ttg masalah-masalah matematis. kita cukup mengandalkan pengetahuan rasional kita yang murni berasal dari apa yg disebut Lumen-Naturale, cahaya alami yang turun dalam benak kita berdasarkan rasio. 

Contoh lain dari pengetahuan yang sepenuh rasional adalah pengetahuan Logika. Filsuf seperti leibniz percaya betul bahwa Logika itulah kunci dari segala macam ilmu pengetahuan. berlawanan dengan kaum Rasionalis, ada juga kaum Empirisis. berasal dari kata Yunani aritnya pengalaman. menurut Empirisis seperti Hume atau Lock, pengetahuan kita didasarkan sepenuhnya terhadap pengalaman indrawi. segala macam kesimpulan yang bisa kita tarik mengenai dunia sebetulnya hanya mengenai turunan dari pengalaman indrawi itu. itulah menurut Hume tidak ada pengetahuan yang mutlak/niscaya karena menurut Hume setiap pengetahuan sebetulnya karena didasarkan pada data indrawi yang terbatas tidak akan bisa sampai pada kesimpulan yang sifatnya berlaku umum kapan saja dan dimana saja. 

Rasionalisme dan Empirisme merupakan suatu pandangan yang memiliki akar sejarah pemikiran yang panjang. Rasionalisme berangkat dari tradisi matematis dalam ilmu-ilmu formal terutama matematika, Logika, Geometri dst yang berkembang sejak abad 4 sd 5 masa Yunani kuno. rasionalisme semacam itu bisa dilacak jejaknya sejak Plato yang mengutamakan pada pengetahuan yang sifatnya rasional berdasarkan nalar. sebaliknya kaum Empirisme dapat kita lacak asal usulnya pada pemikiran orang-orang yang sangat mendalami ilmu-ilmu alam. jauh sebelum ilmu alam itu ditemukan misalnya seperti Aristoteles.

Aristoteles mengawali pendekatan Filsafat yang sifatnya menekankan bukti-bukti Empiris yang didapat dari pengalaman walau begitu dia tidak mengabaikan usaha rasional untuk merekonstruksi bukti-bukti empirisis itu sehingga kita sampai pada kesimpulan yang dapat diandalakan. Aristotelianisme bukan dasar utama dari inspirasi Empirisme. Empirisme berkembang sekitar abad 17an pasca renaisans. pada renaisans, kita menemukan pendekatan baru dalam ilmu-ilmu di Eropa sekitar abad 15 dan 16 yaitu penekanan pada bukti yang sifatnya langsung indrawi, bisa langsung diamati semua orang. Mereka menekankan kekuatan observasi atau pengamatan. hukum benda jatuh yang ditemukan Galileo berasal dari iklim pemikiran seperti itu. dia berangkat dari suatu hipotesis dan menguji coba melalui eksperimen dalam lingkungan sehari-hari. 

Pasca Galileo, kita menemukan revolusi ilmu pengetahuan modern khususnya dalam pemikiran Issac Newton abad 17. Newton memadukan observasi indrawi atas gejala alamiah dari objek-objek langit dan memadukannya dengan penalaran matematis, hasilnya suatu sintesis yang mepertemukan Empirisisme dan Raisonalisme. kendati begitu filsuf seperti Hume mempersoalkan temuan-temuan sains modern seperti itu yang berpretensi memberikan klaim atas kenyataan sebagaimana adanya. Mneurut Hume, kenyataan sebagaimana adanya hanya bisa disimpulkan melalui observasi yang tak hingga karena observasi kita terbatas, selalu terhingga, sampel tidak pernah mencakup keseluruhan alam semesta maka kita sebenarnya tidak bisa menyimpulkan hal yang sifatnya general atau umum.

Di tengah konflik antara Empirisisme dan Rasionalisme itulah muncul filsuf seperti Kant. ia mempersoalkan bagaimana pengetahuan kita bisa didasarkan baik dari Rasionalitas ataupun pengetahuan indrawi. untuk itulah dia mempertanyakan apa sebetulnya syarat utama dari pengetahuan. jawaban Kant apa yang disebut Epistemologi. era kontemporer, masalah Epistemologi muncul dalam bentuknya yang khas.

Salah satunya problem tentang pengetahuan sebagai apa yang disebut dalam tradisi analitik Justified true belief yang berarti suatu keyakinan atau kepercayaan yang sudah terjustifikasi dengan benar. artinya komponen pembentuk pengetahuan adalah salah satunya kepercayaan dan bukti. masalahnya keduanya seringkali tidak beriringan. contohnya yang ditemukan G.E Moore, filsuf Inggris awal abad 20 khususnya berkenaan hubungan belief dan knowledge. kalau benar pengetahuan itu keyakinan yang terjustifikasi dengan benar maka bagaimana dengan pernyataan seperti misalnya :saya tahu di luar hujan tetapi saya tidak percaya. bagaimana klaim seperti itu atau proposisi seperti itu kita mengerti. kalau ada orang di luar hujan dan dia tahu itu tetapi pada saat yang sama tidak mempercayai hal itu, bagaimana kita lalu mengevaluasi klaimnya. jelas bertentangan dengan syarat utama dari pengetahuan yaitu belief.

Disini kita menemukan apa yag disebut paradoks Moore. ini adalah suatu paradoks tentang klaim pengetahuan tetapi pada yang sama dia tidak percaya tentang hal yang dia ketahui. itu contoh dari masalah Epistemologi yang berkembang awal abad 20. dewasa ini masalah jauh lebih pelik antara lain lain tentang debat yang disebut a priori. a priori adalah suatu prasa dalam Kant yang pada dasarnya menunjuk pada seuatu dimensi pengetahuan yang ada sebelum pengalaman. Kant percaya bahwa pengetahuan kita tidak sepenuhnya berdasar pada pengalaman. pengetahuan kita berasal dari pengalaman tetapi tidak berhenti pada pengalaman. sisaan lain yang tidak terjawab oleh pengalaman disebut nalar. disitu Kant membedakan apa yang disebut a priori dan a posteriori. ini berkaitan dengan justifikasi atas pengetahuan kita. pengetahuan a postriori adalah pengetahuan yang datang setelah pengalaman. pengetahuan a priori sebelum pengalaman yang menunjuk pada nalar murni yakni nalar yang tidak bertumpu pada nalar indrawi sama sekali.

Dalam bentuk kontemporernya, debat tentang a priori berkenaan dengan status dari pengetahuan a priori itu sendiri dalam arti sungguhkah ada pengetahuan a priori yang berasal dari pengalaman sama sekali. pengetahuan a priori dalam diskusi kontemporer dikaitkan dengan kepercayaan kuno yaitu kepercayaan tentang suatu potret ilahi dalam diri manusia yaitu kemampuan menalar tanpa pengalaman. ini kepercayaan yg telah ditinggalkan berkat kemajuan sains modern dimana semua bisa ditemukan berdasarkan fakta indrawi. berlawanan dengan konsensus bahwa tidak ada lagi nalar a priori. sebagian Filsuf kontemporer menghidupkan kembali tradisi pemikiran, memperkuat klaim atas sikap a priori atas pengetahuan.

Walaupun banyak hal yang bisa diterangkan oleh pengalaman indrawi tetapi ada yg tidak terpecahkan oleh pengalaman itu yaitu persoalan yang berkaitan dengan matematika atau logika. kedua merupakan ranah ilmuan yang jauh dari indrawi. bagaimana misalnya kita mengakses tentang pengetahuan objek-objek yang tidak mungkin ada. bagamana kita tahu 2+2 tidak sama dengan 5. pengetahuan matematis seperti ini tidak mungkin kita cari asal usulnya pada perhitungan yang sifatnya empiris. bagamana dengan kontradiksi dalam logika. dalam logika dikenal prinsip ledakan. suatu prinsip dimana kalau ada premis yng kontradiktif, misalnya yang 1 menyatakan P yg lain menyatakan non P maka kita bisa menyatakan apa saja dari situ. jika langit berwarna biru dan langit tidak berwarna biru maka Gajah bisa terbang. itu bentuk penyimpulan yg sahih menurut logika. bagamana kita menjustifikasi pengetahuan logis itu berdasarkan nalar empiris kita. kita tidak pernah melihat langit yang biru sekaligus tidak biru. kita tidak pernah melihat Gajah bisa terbang. tapi kita tahu secara niscaya bahwa langit biru sekaligus tidak biru, maka Gajah bisa terbang dan Kucing bertelur. itu kesimpulan yang sepenuhnya logis dan niscaya dan itu tidak bisa dijustifikasi berdasarkan pengalaman empiris.

Dengan melihat gejala pada masalah matematika dan logika inilah, muncul motivasi sebagian filsuf kontemporer untuk coba merevitalisasi konsep a priori pengetahuan. epistemologi tidak hanya berurusan dengan apa yang dapat kita ketahui tetapi juga apa yang tidak dapat kita ketahui. segala sesuatu yang betul-betul tidak mungkin kita ketahui. dengan kata lain epistemologi berurusan dengan batas pengetahuan manusia. ada hal-hal yang tidak mungkin kita tidak ketahui entah itu nalar, atau pengetahuan indrawi. salah satu topik klaisik dalam hal ini misalnya pengetahuan kita tentang hal-hal yang bersifat spritual, pengetahuan tentang Ketuhanan. mungkinkah Tuhan yang tidak terhingga bisa ditangkap oleh pengetahuan makhluk yang terhingga. itu masalahnya. tetapi hal yang sering dianggap tidak mungkn diketahui tidak hanya berkaitan Ketuhanan bahkan hal sepele seperti objek diluar kita pun masih menjadi misteri apa kah itu dapat diketahui atau tidak sama sekali. bagaimana kita memastikan bahwa ada objek di luar diri kita. kita mendasarkannya pada pengetahuan yg sifatnya subjektif, sekali berakar pada pengetahuan kita sendiri. keberadaan objek di luar diri kita merupakan suatu kesimpulan dari pengetahuan dalam diri kita.

Lalu bagaimana kita bisa tahu pasti bahwa objek itu sudah sungguh-sungguh ada terlepas dari pengetahuan kita. andaikan tidak ada subjek yang mengetahui apakah objek yang diketahui itu ada? bayangkan suatu dunia dimana tidak ada pengamatan, tidak ada subjek yg mengetahui. apakah dunia itu sendiri ada? hal ini berkaitan juga dengan kesimpulan kita mengenai bukan hanya objek-objek dalam arti benda tetapi juga juga orang lain. apakah sungguh ada orang lain diluar diriku sendiri? keberadaan orang di luar kita akan kita simpulkan dari pengetahuan kita sendiri. kita simpulkan dari sensasi yang kita terima ketika kita seperti merasa berinteraksi dengan orang lain. kita belum tentu tahu sebelumnya apakah ada atau tidak ada org lain di luar kita. inilah pandangan yang disebut sebagai Solipsisme. salah satu pandangan yang berkembang antara lain dalam pemikiran Descartes yaitu suatu pandangan bahwa tidak ada objek di luar kita yang betul-betul bisa kita ketahui keberadaannya. tantangan bagi para pengkaji epistemologi antara lain membuktikan bahwa dunia di luar kita ini ada dan kita bisa mengetahuinya, kita bisa memberikan bukti pengetahuan bagi keberadaan objek-objek itu termasuk diantaranya adalah keberadaan pikiran yang lain atau orang lain. disini juga kita melihat keterkaitan antara epistemologi dan masalah metafisika. karena kita tahu bahwa keberadaan objek di luar kita sebetulnya adalah masalah metafisika tetapi cara kita untuk sampai pada kesimpulan tetang objek di luar kita itu adalah persoalan Epistemologi.

dari sini kita bisa lihat bahwa hubungan antara berbagai cabang filsafat itu sangat erat.


No comments:

Post a Comment

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...