Sunday, December 11, 2022

All Quiet on the Western Front

Reviu Film

Jerman Utara, Musim Semi 1917

Perang dan damai adalah dua diskursus utama dalam dunia hubungan internasional pada awal pembentukannya tahun 1919. Pada masa itu bertepatan dengan selesainya perang dunia I. Momentun perang menjadi bahan refleksi untuk memikirkan solusi kehidupan dunia yang lebih baik. Perang lahir dari sebuah ego manusia untuk memaksakan kepentingannya.

Perang dunia I dikenal sebagai bencana besar peradaban manusia pada awal zaman modern. Perang tersebut berlangsung empat tahun sejak 1914 sampai dengan 1918 dan menelan korban jiwa lebih dari 17 juta manusia. Sebuah kematian yang disebabkan oleh jiwa binatang manusia yang menjadi serigala atas sesamanya. Sejarah perang kemudian dipelajari melalui berbagai media antara lain melalui kisah yang ditulis ulang maupun diceritakan dalam sebuah film.

Salah satu film yang mengupas satu sisi perang dunia I adalah film yang berjudul All Quiet on the Western Front. Sebuah film perang yang berbahasa Jerman dan menggambarkan mozaik perang yang berlangsung di garis depan perbatasan, sejarah tersebut dikenal dengan perang parit.. Suasana perang yang terjadi menggambarkan begitu banyak hal absurd dalam kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan berperang.

Perang biasanya terjadi ketika negara merasa berkuasa dan memiliki kekuatan untuk menguasai negara lain. Salah satu dialog dalam film tersebut menyatakan “Kalau manusia diberi kekuasaan maka dia akan menjadi binatang.” Artinya bahwa kondisi perang terjadi ketika dua belah pihak sama-sama merasa mampu mengalahkan satu sama lain.

Cerita perang dimulai ketika Paul Baumer dan kawan-kawannya mendaftar sebagai prajurit perang secara sukarela. Mereka adalah remaja berumur belasan tahun menjelang dua puluhan. Pilihan menjadi prajurit sebenarnya bukan pilihan sadar karena adalah andil dari guru mereka membangkitkan euphoria nasionalisme yang pada akhirnya membangkitkan semangat darah muda dalam diri mereka. 

Demi kaisar, demi Tuhan, demi tanah air.

“Setiap keraguan dan kebimbangan adalah penghianatan kepada tanah air.” Retorika umum dalam menstimulasi rasa nasionalisme untuk menunjukkan bahwa apa yang akan dilakukan adalah sebagai sebuah tindakan untuk kebanggaan sebagai bagian dari sebuah bangsa yang besar.

Pada dasarnya, film tersebut juga menggambarkan bahwa para remaja yang ikut dalam perang memiliki motif yang berbeda. Ada yang ingin dianggap kerena sehingga ketika pulang mereka bisa dengan mudah menikah, ada yang kemudian ingin membuktikan kepada ibunya bahwa dia bisa menjadi seorang prajurit dan tetap survive.

Motif yang mendorong mereka maju ke medan perang kemudian sirna secara mendadak ketika melihat suasana dalam perang. Tidak ada lagi perasaan keren dalam perang selain insting manusia untuk mempertahankan hidupnya.

Paul kemudian lebih sering berpikir dan merefleksikan apa yang terjadi. Perang tentunya bukan menjadi sebuah pilihan rasional bagi seorang remaja seperti Paul. Satu persatu teman-temannya meninggal di depan matanya dengan kondisi tubuh yang hancur. Meskipun demikian, Paul tetap harus berada di medan perang dan membunuh musuhnya sekaligus berperang dengan hati nuraninya.

Dalam satu kesempatan, Paul terjebak di kubangan dan seorang musuh datang ingin menembaknya. Alhasil sebelum menembak, sebuah ledakan terjadi tepat di samping musuhnya dan musuhnya jatuh di kubangan yang sama. Keduanya terjebak dan berhasrat saling membunuh. Paul berhasil meraih sebuah bayonet lalu menikam musuhnya berkali-kali tepat di jantungnya. Musuhnya tidak lantas tewas namun masih mengeluarkan bunyi yang menyiksa nurani Paul. Pada akhirnya Paul berusaha untuk menyelamatkan musuhnya dengan memberi air namun tidak tertolong. Paul menemukan foto anak isteri musuhnya di dalam saku bajunya yang akhirnya semakin mencabik-cabik hati nuraninya. Mereka adalah manusia yang sama dan hanya korban dari praktik politik para penguasa yang menjebak mereka dalam medan perang.

Diplomasi antara Jerman dan Prancis ketika perang parit di front barat terus memakan korban. Pertimbangan para pemimpin negara tidak pada statistik manusia yang meregang nyawa di medan perang namun kalkulasinya adalah bagaimana memenangkan perang untuk membanggakan negaranya. 

Gencatan senjata akhirnya disepakati pada bulan tanggal dan jam 11. Seharusnya para prajurit merayakan kesepakatan tersebut sebagai sebuah sinyal kepulangan mereka ke rumah, namun tidak demikian dengan penguasa. Beberapa jam sebelum masuk jam 11, pemimpin Jerman tidak ingin kehilangan muka sehingga memaksa semua prajurit yang tersisa untuk menyerbu garis pertahanan lawan. Prajurit yang menolak berperang untuk terakhir kalinya akhirnya ditembak mati. 

Paul dan semua prajurit maju ke front barat untuk terakhir kalinya. Pertempuran berlangsung secara sengit 15 menit sebelum jam 11. Korban jiwa tergeletak di sekitaran parit. Paul yang mengejar musuhnya sampai di bunker 2 harus meregang nyawa beberapa menit sebelum gencatan senjata dimulai.

Perang ini benar-benar sebuah tragedi memilukan bagi kemanusiaan karena hanya dengan dengan memperebutkan beberapa ratus meter wilayah, harus mengorbankan lebih dari 3 juta jiwa prajurit melayang. 

Kemudian apakah setelah perang, ada pihak yang menang? Terjadi tidak. Menang itu hanya statistik namun secara psikologis, semua pihak kalah dengan mengorbankan hati nuraninya menghancurkan kehidupan. Tidak ada yang lebih kejam daripada melihat kemanusiaan berada pada titik nadir. 

Perang memang absurd. Seperti lirik band Gigi “banyak yang cinta damai tapi perang semakin ramai.” Banyak sekali momen absurditas yang terjadi dari potongan film seperti misalnya prajurit yang menolak ikut perang untuk terakhir kalinya harus meregang nyawa ditembak mati oleh pemimpin mereka sedangkan mereka yang ikut perang terakhir pun meninggal di tangan musuh. Menolak atau ikut juga tetap saja meninggal. Absurditas lain ketika salah seorang temannya, Kat tidak meninggal saat perang berlangsung namun meninggal oleh tembakan senapan anak petani karena mencuri angsa. 

Ajal memang misterius, menjemput manusia pada situasi yang sama sekali tidak terduga. Seorang tentara yang sudah berperang sekian kali tidak meninggal di medan perang namun ternyata meninggal hanya dengan satu butir peluru oleh seorang bocah anak petani yang merasa terganggu karena hewan peliharaannya dicuri. Kematian yang terus membayangi di situasi perang ternyata datang ketika pada kondisi yang dianggap aman-aman saja.

Secara umum, film tersebut memberikan penonton insight yang mendalam tentang sebuah fragmen situasi perang yang menyeramkan. Para reviewer film tersebut menganggap bahwa film ini membawa pesan anti-perang. Selebihnya gambaran peperangan dipertontonkan untuk mendapatkan gambaran bahwa perang itu benar-benar merusak. 

Perang diselesaikan hanya dengan beberapa lembar kertas berserta tandatangan penguasa kedua negara. 

Sebagai mantan mahasiswa hubungan internasional, saya sebenarnya berharap ada banyak scene tentang proses negosiasi yang berlangsung secara detail untuk menggambarkan bagaimana para stake holder memutuskan untuk berperang atau berdamai. Selebihnya, film ini cukup baik untuk menggambarkan fragmen suasana perang dan kondisi psikologis prajurit perang yang juga hanya manusia biasa namun tidak memiliki kuasa atas diri mereka. Ada negara yang memaksa meraka hadir di medan pertempuran dan harus membunuh manusia lain atas nama nasionalisme.


Day #5


Saturday, December 10, 2022

Islam Tuhan Islam Manusia (Agama dan Spritualitas di Zaman Kacau)

 Resensi Buku

                            

Haidar Bagir adalah salah seorang cendikiawan muslim di Indonesia yang tidak perlu diragukan lagi kedalaman ilmunya dan juga tebaran pengetahuan yang beliau pupuk selama ini. Selain mengurus sebuah penerbitan beliau juga sibuk mengelolah yayasan pendidikan, dimana salah seorang kawan saya mengajar di salah satu sekolahnya.


Tak terkira berapa buku yang sudah dihasilkan dari olah pikirnya salah satunya buku "Islam Tuhan Islam Manusia." bagian belakang buku ini dihiasi testimoni orang-orang besar di negeri ini. K.H Ahmad Mustofa Bisri, Goenawan Muhammad, Mochtar Pabottingi dan Franz Magnis-Suseno.


Pada bagian awal buku ini pada tulisan "Aku dan Islamku" Haidar Bagir menjelaskan dengan runut seperti apa beliau mengenali dirinya terlepas dari tudingan-tudingan orang yang tidak bersepakat dengannya. Entah berapa kali beliau mengklarifikasi secara langsung maupun tidak langsung atas tuduhan bahwa dirinya penganut Syiah namun klarifikasi tersebut tidak menyurutkan tuduhan dari orang-orang yang tidak bersepakat dengan dirinya.


Beliau meyakini bahwa akal ada anugerah Tuhan meski di lain sisi, beliau juga menyadari bahwa akal memiliki keterbatasannya sendiri. Dalam pencarian opini yang benar, fokusnya terletak pada kebenaran bukan pada popularitas. Sebelum mengkritik, kita harus memahami pendapat yang akan kita kritik seperti pemahaman penganutnya. Beliau melakukan pendekatan terhadap teks Al-Qur'an, sunnah dan tradisi Islam bersifat hermeneutika. Meski di lain sisi, beliau percaya bahwa pendekatan hermenutika memiliki jebakan-jebakannya tersendiri.

Isi buku ini sendiri terbagi ke dalam 5 bagian: Masalah, "Islam di zaman kacau. Khazanah Pemikiran Islam. Pendekatan, "Dialog Intra Islam". Pendekatan, " Dialog Islam, Budaya dan Peradaban".dan Solusi, "Islam,Cinta dan Spritualitas".


Pada bagian pertama, beliau mengelaborasi tentang masalah yang sedang dihadapi umat Islam secara spesifik. Tentang radikalisme, asal usul takfirisme dan negara yang disebutnya sebagai tuna budaya.


Saya akan menuliskan ulang beberapa inti pemikiran beliau dari setiap lembar tulisannya yang dijelaskan secara runut di buku ini.


Budaya adalah soal menjadi manusia secara komprehensif. Manusia spritual, bermoral, berestetika, sadar dan berpikir.berakar dari concern kemanusiaan paling dalam sebagai pengejawantahan dari Ketuhanan yang cirinya memiliki fitrah cinta kebenaran, kebaikan dan keindahan. Selain dari hal tersebut adalah antibudaya. Negara ini sudah lama menanggalkan budayanya dan menjadi santapan hegemoni ekonomi, komersialisasi cukong kapital besar berkolaborasi dengan politik busuk untuk menyerap seluruh saripati negara ini tanpa sisa. Meski demikian, budaya juga tidak seharusnya statis tetapi harus berkembang secara organis. Peran Pemerintah dalam revitalisasi kesadaran kolektif bangsa dalam meletakkan budaya sebagai persemaian seluruh aspek kehidupan.


"Information spill over" telah membuat orang mengalami diorientasi. Terlalu banyak informasi justru membuat orang kebingungan, hilangnya kedalaman dan lahirnya generasi baru pengguna internet, "orang-orang dangkal" (The shallows) menuruut Nicholas Carr. Orang-orang yang terbiasa menyantap informasi instan tanpa kedalaman.


Situasi yang mengkhawatirkan ini masih ditambah dengan perilaku tidak kritis masyarakat yang dengan mudahnya menggandakan dan menyebarluaskan apa saja yang dibacanya, ke ruang publik baik via WA, Twitter, Facebook dan sebagainya. Lebih parahnya lagi, sebagian media mendasarkan informasi dari sumber yang tidak dipertanggungjawabkan ini.


Keberlimpahan dan kemajuan sains dan teknologi yang tadinya dianggap bisa menjadi penopang kebahagiaan hidup, justru meninggalkan kehampaan psikologis dan spritual karena hanya menegaskan kenyataan bahwa setelah semua keberlimpahan itu tercapai, kebahagiaan hidup tidak ditemukan di sana.


Maka menjadi tugas para agamawan dan pemikir keagamaan moderat untuk menawarkan suatu paham atau penafsiran keagamaan yang mampu menjadi tandingan pemahaman sempit kaum fundamentalis dan radikal. Haidar Bagir merasa bahwa sejenis pemahaman keagamaan yang bersifat mistik (sufistik) merupakan alternatif paling efektif.


Mengenai Hermeneutika, Haidar Bagir mengutip pemikiran Friederich Schleimermacher yang mengandung dua langkah. Pertama, pemahaman teks melalui penguasaan aturan-aturan sintaksis bahasa komunitas si pengarang. kedua, penangkapan muatan emosianal dan batiniah pengarang secara intuinitif dengan jalan menempatkan diri subjek dalam benak pengarang.


Tentang Takwil, Haidar Bagir mengutip pahaman Ibn' Arabi dalam futuhat menyatakan bahwa "sesungguhnya setiap orang punya akses kepada pemahaman atas teks Al-Qur'an selama bersifat terbuka, tulus yakni dengan pemikiran sehat dan hati bersih yang tak tercampuri nafsu. Baik pemahaman yang bersifat 'ardhi (horizontal/tafsir) maupun thuli (Vertikal/Takwil).


Naql dipahami dengan aql, karena aql bisa keliru, dicek lagi dengan naql begitu seterusnya. Persis ketika kita membaca maknanya kita bisa simpulkan dari konteks kalimat tetapi untuk mendapatkan terjemahan yang pas, kita cek kesimpulan kita dengan membuka kamus, makna kamus pun pada gilirannya akan kita pahami dengan pas dalam konteks kalimat, begitu prosesnya terus menerus.


Dalam sebuah konfrensi Sains dan Agama di Yogyakarta, para ilmuwan ditanya mengenai sebab kemunduran Sains di wilayah ini. Prof. Osman mengatakan bahwa permusuhan terhadap filsafat di negara Islam selama beberapa abad menjadi sebab utama persoalan ini.


Manusia modern mengalami kehampaan spritual, krisis makna, legitimasi hidup serta kehilangan visi dan mengalami keterasingan terhadap dirinya sendiri. Seyyed Hossein Nasr dalam the Plight of Modern Man mengatakan bahwa krisis eksistensial berawal dari pemberontakan manusia modern terhadap Tuhan. Mereka telah kehilangan harapan akan kebahagiaan masa depan seperti yang dijanjikan Renaisans.


Dalam sebuah wawancara, Haidar Bagir menjelaskan bahwa dalam berbicara ekonomi yang ideal itu apakah kapitalistik atau sosialistik atau yang bersifat lain, mau tidak mau kita diskusi defenisi tentang keadilan. Ketika membedah politik. apakah yang bagus itu demokrasi atau otoritarianisme maka mesti kita diskusi tentang tujuan politik itu apa?


Tentang Mazhab. Imam Syafii secara luas diriwayatkan pernah berkata, "pendapatku benar, namun sangat potensial keliru sementara pendapat orang selainku keliru namun sangat mungkin benar." di lain waktu  Beliau berkata "jika suatu Hadist itu sahih,  maka itulah mazhabku."


Pada prinsipnya setiap perbuatan bersifat netral nilai. Tindakan baikdan buruk dinilai berbeda bergantung pada penerapannya. Mencuri bisa dinilai terlarang tetapi bisa juga sunnah bahkan wajib. Ibn Hazn al-Zhahiri dalam bukunya yang berjudul al-Muhalla pernah mengatakan bahwa seorang pencuri yang mengambil harta dari seorang kaya dikarenakan haknya tidak diberikan kemudian tertangkap dan terbunuh,maka dipercaya mati syahid.


Tentang fenomena Sunni-Syiah. ada dua sebab yang memperkeruh konflik antara Sunni-Syiah. Pertama, sejak revolusi Iran, ada sekelompok di dalam negeri Iran yang ingin mengekspor Revolusi Islam ke negara lain. Kedua, ada ketakukan dari negara teluk monarki kalau revolusi yang terjadi di Iran akan merembet ke negara mereka. Harus diingat bahwa Iran menjadi negara Islam bukan karena revolusi tetapi lewat referendum.


Di masing-masing kubu Sunni-Syiah, ada kelompok ekstrim, mereka inilah yang memanas-manasi keadaan akibatnya timbul ketegangan yang terus menguat.


Tentang pembahasan Kafir.

Abu Sufyan tetap bertahan dengan agama arab jahiliah bukan karena percaya dan mengimaninya sebagai sebuah kebenaran, namun lebih karena sistem purba itu menguntungkannya secara politik dan sosial. Doktrin Islam terkait reformasi sosial yang memberatkan orang semacam Abu Sufyan untuk memeluk Islam bukan soal pengakuan dan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, artinya faktor ekonomi dan politik bukan faktor teologis yang menjadi dasar penyangkalan terhadap Islam.


Sebuah perkataan Nabi Ibrahim seperti yang disitir Al-Qur'an, kebencian dan permusuhan diarahkan kepada sifat/perbuatan buruk orang, bukan kepada orang/pelakunya sendiri (QS. Mumtahanah 60:4).


Beragama, betapa pun melibatkan fisik dalam menjalankan ritual-ritualnya, adalah urusan "rumah", urusan hati yang ada di dalam diri. urusan rohani. Ritual, seberapa pun pentingnya dalam kehidupan beragama, adalah simbol. baik agama maupun politik dan hukum, kesemuanya itu dimaksudkan untuk membantu manusia agar dapat meraih kehidupan yang baik/bahagia.


Ketika ditanya tentang apakah beliau Syiah atau Sunni, inilah jawabannya. "Saya bukan Syiah dan bukan Sunni. Saya ini orang yang percaya bahwa orang non-Muslim yang baik dan tidak kafir, tidak menyangkal kebenaran saja bisa masuk surga."


Day #4

Friday, December 9, 2022

Benturan Identitas Dalam Perhelatan Piala Dunia 2022 (Sebuah Analisis Konstruktivisme)

 

Tahun 2022 menjadi musim pesta para penggemar sepak bola dengan digelarnya kembali piala dunia di Qatar setelah sempat ditunda karena kondisi dunia yang sedang dilanda pandemi Covid-19. Selain fans sepak bola, tentunya para pemain yang akan berpartisipasi juga sedang bergairah karena puncak dari kebanggaan seorang pemain sepak bola adalah berlaga di piala dunia. Semua pasang mata penonton menyaksikan aksi mereka di lapangan bahkan mungkin masyarakat yang tidak menyukai sepak bola.

Piala Dunia kali ini anomali karena digelar di akhir tahun ketika kompetisi liga di berbagai negara masih berjalan sedangkan piala dunia pada umumnya digelar di bulan pertengahan tahun ketika liga Eropa sudah selesai. Hal ini pula yang menjadi faktor sehingga beberapa pemain tidak bisa berlaga di piala dunia karena mengalami cedera. Liga di negara Eropa baru diliburkan seminggu sebelum piala dunia dimulai.

Selain pada persoalan waktu pelaksanaan, piala dunia kali ini juga menyisakan berbagai fenomena di luar lapangan. Ada begitu banyak hal yang menjadi penyedap dari perhelatan kali ini. Mulai dari isu pelanggaran HAM terdapat tenaga kerja imigran yang berkontribusi membangun infrastruktur seperti jalan raya, hotel, stadium dan berbagai fasilitas pendukung dalam kelancaran perhelatan piala dunia. Bahkan the Guardian melaporkan bahwa lebih dari 6.500 tenaga kerja imigran yang meninggal di Qatar dalam tahap persiapan piala dunia sejak Qatar ditetapkan sebagai tuan rumah.

Piala dunia 2022 juga merupakan piala dunia termahal sepanjang sejarah. Dilaporkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh Qatar lebih dari US$ 200 miliar. Sebuah angka yang jauh melebihi dari biaya yang dikeluarkan oleh Brazil pada piala dunia 2014 yang hanya mencapai US$ 15 miliar. Artinya bahwa Qatar sedang membangun sebuah citra di mata dunia dengan biaya yang tidak murah.

Kontroversi tidak berhenti pada proses persiapan bahkan pada saat perhelatan dimulai, muncul berbagai isu yang cukup menyita perhatian selain sepak bola itu sendiri. Berbagai larangan yang diterapkan saat piala dunia yang berhubungan dengan budaya Qatar namun ada dua larangan yang mendapat perhatian yaitu larangan mempromosikan isu LGBT dan larangan mengkonsumsi alkohol.

Kebijakan tersebut menimbulkan pro dan kontra mengenai bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan identitas yang pada akhirnya melahirkan kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan identitas kelompok yang lain. Pihak yang pro menganggap bahwa penerapan kebijakan merupakan otoritas penuh pihak Qatar untuk menghormati budaya mereka dan seharusnya kelompok lain mengikuti aturan yang sudah ditetapkan, sedangkan pihak yang kontra cenderung berpendapat bahwa tidak seharusnya Qatar sebagai tuan rumah menafikan budaya kelompok lain khususnya dari barat seperti kebiasaan minum alkohol dan penghargaan terhadap hak-hak kelompok LGBT.

 

Signifikansi Identitas dalam Perspektif Konstruktivisme

Konstruktivisme sebagai sebuah perspektif yang baru muncul dalam diskursus hubungan internasional pasca perang dingin di tengah dominasi teori arus utama. Konstruktivisme hadir untuk memberikan ide segar bahwa fenomena internasional tidak hanya dipandang sebagai kondisi konfliktual sebagaimana kepercayaan kelompok realisme, tidak pula hanya dilihat sebagai kondisi saling bekerja sama seperti yang dipercayai oleh liberalisme.

Konstruktivisme merunut lebih jauh lagi bahwa sebelum memandang sebuah realitas internasional yang dihidangkan di depan kita maka sebaiknya menganalisis sampai pada proses pembentukan realitas, misalnya interaksi antar subjek yang dibentuk oleh identitas, nilai, kepentingan dan berbagai hal lain yang mempengaruhi keputusan aktor. Intersubjektif tersebut yang kemudian akan melahirkan pola hubungan yang terjadi dan realitas internasional yang dapat disaksikan secara empiris.

Dalam arti yang lebih sederhana bahwa realitas sosial hanyalah perwujudan dari interaksi sosial yang sudah terjadi sebelumnya. Alexander Wendt memandang bahwa realitas sosial terjadi salah satunya karena kesamaan identitas yang mendorong negara untuk saling memahami dan menerima perbedaan.

Pada umumnya, kelompok akan merasa aman ketika berada di tengah kelompok dengan identitas yang sama karena kesamaan tersebut sudah terbentuk sejak lama, sedangkan mereka akan merasa terancam dengan kelompok yang berbeda. Lahirnya pola hubungan yang konfliktual karena perbedaan yang tidak mampu dikomunikasikan dengan baik.

 

Benturan Budaya Timur versus Barat

Perekonomian di Timur Tengah menggeliat dengan digelarnya piala dunia di Qatar. Normalnya, bangsa Arab khususnya Qatar seharusnya memandang bahwa gelombang massa dari bangsa barat yang berkunjung ke Qatar untuk menyaksikan piala dunia, dianggap sebagai potensi yang cukup menjanjikan dalam bidang ekonomi tanpa harus mempersoalkan identitas yang melekat pada bangsa barat namun yang terjadi kemudian adalah berbagai identitas yang berbenturan bahkan solidaritas antar bangsa Arab seakan kembali menemukan momentumnya.

Konstruktivisme memiliki justifikasi atas fenomena yang terjadi bahwa sesungguhnya, pakta material berupa potensi ekonomi bukan hal yang utama karena dalam konstruktivisme, ideasional jauh lebih penting dari pakta material.

Analoginya seperti ini, bangsa barat datang ke Qatar dengan sejumlah uang yang akan digunakan dalam memenuhi kebutuhannya selama gelaran piala dunia namun bangsa timur tidak memandang hal tersebut sebagai sebuah keuntungan bahkan sebaliknya dianggap sebagai ancaman karena perbedaan identitas. Bangsa timur merasa terancam terhadap bangsa barat yang dianggap akan menyebarkan budaya barat di daerah mereka, sedangkan bangsa timur sama sekali tidak merasa terancam dengan bangsa Afrika khususnya yang mayoritas Islam karena kesamaan identitas. Hal ini yang dimaksudkan oleh Alexander Wendt bahwa kesamaan identitas dapat melahirkan kerja sama.

Apa yang terjadi di piala dunia Qatar 2022 sangat sarat dengan pertarungan identitas yang melahirkan polarisasi antara bangsa timur dan bangsa barat. Perbedaan tersebut bahkan mempengaruhi seseorang dalam mendukung tim nasional yang sedang berlaga. Maroko yang mampu melaju ke babak delapan besar mendapat dukungan yang luas dari mayoritas bangsa Arab termasuk non-Arab yang beragama Islam.

Fenomena dukungan terhadap Maroko sangat sarat dengan kesamaan identitas yang melahirkan solidaritas meskipun tidak berasal dari negara yang sama. Mereka menganggap bahwa Maroko merepresentasikan identitas bangsa timur dan akan menjadi pertarungan identitas bahkan sampai dalam lapangan hijau. Jika pada akhirnya Maroko mampu menjuarai piala dunia, tidak hanya menjadi kemenangan Maroko namun dianggap kemenangan bangsa timur terhadap dominasi bangsa barat.

Sejauh yang dapat disaksikan selama ini bahwa terdapat beberapa perbedaan yang mampu dikelola dengan baik seperti misalnya bangsa barat sedikit lebih memahami budaya timur meskipun di lain sisi, masih terdapat perbedaan yang menyisakan perdebatan panjang seperti larangan minum alkohol.

Pada akhirnya, piala dunia Qatar 2022 mempertontonkan fenomena di luar sepak bola khususnya tentang kajian geopolitik. Benturan identitas yang terjadi merupakan sebuah keniscayaan karena perbedaan yang inheren dalam diri masing-masing kelompok, namun apakah perbedaan tersebut akan melahirkan pola hubungan “enemies” atau “friends”? Jawabannya adalah seberapa intens semua pihak mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan yang ada dan bersepakat untuk melahirkan pola hubungan yang menguntungkan antara semua pihak.

Day #3

Thursday, December 8, 2022

Signifikansi Peran Keluarga dalam Penanggulangan Terorisme

 Di tengah fokus masyarakat dalam proses recovery musibah bencana alam yang sedang melanda berbagai wilayah di Indonesia dan memikirkan proses mitigasi bencana yang akan dicanangkan untuk menghadapi kemungkinan bencana yang terjadi, seorang pria berusia 34 tahun menarik atensi masyarakat dengan meledakkan diri di Polsek Astana Anyar Bandung pada rabu (7/12/2022). Serangan bom bunuh diri tersebut menyebabkan dua orang meninggal dunia termasuk pelaku dan seorang polisi yang sedang menjalankan tugasnya.

Pertanyaan yang muncul kemudian terkait kenapa setiap aksi bom bunuh diri yang dilakukan di lokasi yang vital dan tempat yang merepresentasikan simbol negara termasuk kantor kepolisian yang sering dijadikan sasaran empuk oleh para pengantin bom bunuh diri.

Menurut UU no 5 tahun 2018 bahwa “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”

Dari pengertian tersebut di atas dengan jelas membedakan antara tindakan terorisme dengan kriminal pada umumnya dari beberapa poin. Hal pertama terkait rasa takut, kriminal pada umumnya tidak menimbulkan rasa takut secara meluas di tengah masyarakat sedangkan tindakan teror menghantui masyarakat karena terjadi secara tak terduga baik waktu dan tempat kejadian, selain itu kerusakan yang ditimbulkan bersifat massal. Perbedaan kedua adalah kriminal seperti perampokan biasanya hanya didasari motif ekonomi sedangkan tindakan teror didasari oleh motif politik termasuk ideologi yang diyakini oleh pelaku.

Pada dasarnya bahwa tindakan terorisme tidak hanya membawa implikasi terhadap masyarakat luas namun keluarga menjadi pihak yang paling merasakan dampak baik secara psikologis maupun secara sosial. Tidak hanya keluarga korban namun juga terhadap keluarga pelaku. Kemudian apa yang mendasari para pelaku tidak menjadikan keluarga sebagai pertimbangan utama dalam bertindak karena pada dasarnya, pelaku sadar bahwa tindakan mereka akan merusak pondasi dalam keluarga.

Pada akhirnya bahwa keluarga akan menjadi pihak yang paling berdampak atas setiap aksi konyol yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang meledakkan dirinya dengan alasan apapun. Dosen UIN Yogyakarta, Dr. Fahruddin Faiz dalam salah satu diskusinya menjelaskan bahwa bunuh diri termasuk aksi bom bunuh diri disebabkan karena seseorang gagal merefleksikan hidupnya. Tidak ada satu pun filsuf baik dari barat maupun filsuf timur, yang menyarankan bunuh diri sebagai solusi bahkan bunuh diri dianggap bermasalah. Menurut hans Jonas bahwa apa yang ada, memang sebaiknya tetap ada sehingga tidak ada hak bagi seseorang untuk menghilangkan kehidupan orang lain. Teroris telah menyalahi unsur terpenting dalam hidup yaitu menjaga kehidupan. Mereka merusak tatanan kehidupan atas nama kebenaran subjektif yang mereka tafsirkan sendiri.


Dampak terhadap Keluarga

Keluarga yang dimaksud bukan hanya keluarga yang menjadi korban dari tindakan terorisme namun termasuk juga keluarga pelaku yang mungkin saja tidak mengetahui segala hal tentang ideologi yang dianut oleh pelaku.

Isteri pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, menangis histeris sesaat setelah mendengar kabar suaminya meninggal dalam aksi yang dilakukannya. Artinya bahwa ada kesedihan mendalam yang dirasakan seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya apapun penyebabnya. Tentunya dengan kesedihan itu maka dapat dimaknai bahwa Isteri pelaku sama sekali tidak siap atas apa yang terjadi. Jika seandainya aksi bom bunuh diri sudah diketahui sebelumnya oleh isterinya, maka tentunya tidak ada kesedihan yang mendalam.

Kesedihan mungkin akan tersapu oleh waktu dengan cepat namun stigma yang melekat tidak dapat begitu saja dihilangkan. Masyarakat akan memandangnya sebagai seorang isteri teroris dan itu yang akan menjadi beban berat sepanjang hidup. Perjuangan untuk berdamai dengan diri akan lebih berat karena berhubungan dengan masyarakat yang terlanjur memandangnya sebagai parasit.

Di samping itu, dampak psikologis bagi keluarga korban akan meninggalkan luka atas keluarga yang menjadi korban tindakan teror. Kematian anggota keluarga yang tidak lazim selalu menyakitkan apalagi melihat potret jasad keluarga yang tersebut di media massa dan menjadi konsumsi publik, belum lagi energi psikis yang terkuras akan pemberitaan media. Perjuangan keluarga korban untuk lepas dari trauma mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena melihat jasad keluarga yang tercabik.


Peran Keluarga

Supono yang merupakan kakek tiri pelaku, memberikan pernyataan bahwa yang bersangkutan sudah lama meninggalkan rumah dan sudah sangat jarang berkomunikasi dengan keluarganya. Artinya bahwa relasi dalam keluarga pelaku sudah tidak berjalan optimal. Fungsi keluarga sebagai salah satu pondasi kuat untuk mencegah anggota keluarga dari pengaruh negatif pemikiran radikal, tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut mengafirmasi bahwa ada rajutan dalam relasi keluarga yang terlepas sehingga segala tindakan yang dilakukan tidak terkontrol.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam bangunan keluarga seorang pelaku tindak terorisme. Mengapa dengan begitu mudahnya seseorang didoktrin untuk merusak tatanan kehidupan hanya demi kebenaran utopia yang diyakini. 

Salah satu motif pelaku terorisme karena meyakini ada tempat yang paling baik selain di dunia ini dan mereka mengejar impian tersebut meskipun harus mengorbankan kehidupan alam semesta. Tidak pernah terbayangkan mengejar sesuatu yang indah dengan merusak atas tatanan yang sudah stabil. Sadhguru, seorang mistikus dari India mengatakan bahwa “One of the greatest crime that we have done in this world is to tell people that there is a better place than this.”

Kemudian di mana posisi keluarga seharusnya dalam hal mitigasi tindakan terorisme yang bisa saja mempengaruhi siapapun tanpa memandang label identitas apapun. Dalam relasi keluarga, seorang anak akan selalu mengingat orang tua sebagai kontrol atas setiap tindakannya. Orang tua yang mendidik anaknya sejak kecil kemudian akan membentuk karakter seorang anak yang melekat dalam dirinya ketika sudah dewasa. 

Keluarga seharusnya menjadi institusi paling awal untuk proses mitigasi tindakan terorisme. Dalam salah satu webinar yang diadakan oleh kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, disimpulkan bahwa “Tantangan pola pengasuhan anak dalam keluarga dapat dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan dan pola pikir orangtua. Keluarga yang menganut intoleransi, paham radikalisme, dan terorisme cenderung memiliki pola asuh yang toxic parent dan memiliki risiko tinggi mudah terpapar paham radikalisme dan terorisme.”

Dengan demikian, sebelum proses pembinaan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya maka orang tua yang seharusnya terlebih dulu untuk membiasakan diri menjadi pribadi yang inklusif dan menjunjung tinggi toleransi atas setiap perbedaan yang sering muncul dalam masyarakat. Menjadi orang tua bukan sesuatu yang given namun harus diusahakan untuk mencapai level maksimal karena implikasinya terhadap keturunan. Jika tidak ada pembinaan sejak awal terhadap anak maka potensi menjadi seorang teroris sangat besar. Mereka menganggap ada dunia yang lebih baik daripada tinggal lebih lama di dunia.

Pada akhirnya, tindakan terorisme adalah kejahatan multidimensi yang seharusnya bisa dimitigasi sejak awal yaitu pondasi utama di pihak keluarga. Suka tidak suka, orang tua harus mempunyai porsi lebih untuk membentuk karakter seorang anak dan menjadi kontrol terhadap pemikiran seorang anak yang kerap kali cepat terpengaruh dan ingin mencoba hal yang baru.

Keluarga adalah pijakan pertama dalam membangun kohesi sosial yang ideal. Jika peran keluarga tidak berjalan dengan optimal maka tentunya implikasi lebih luas akan menyulitkan bangunan sosial di tengah masyarakat. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian bagi setiap pasangan yang baru memulai untuk hidup berkeluarga. Dibutuhkan sebuah proyeksi panjang tentang generasi yang akan lahir dari sebuah keluarga untuk membangun kohesi masyarakat yang solid.

Day #2


Wednesday, December 7, 2022

Membaca (Kembali) Fungsi Institusi Kepolisian

Seorang wartawan senior, Toeti Adhitama, menceritakan bahwa pernah suatu waktu di tahun 2000, dia sedang melintas di bilangan jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Tiba-tiba seorang berseragam polisi berhenti di sebelah kanan mobilnya sehingga memaksa sopirnya menghentikan mobil kemudian si oknum polisi menggamit sopirnya turun dari mobil dan berdiskusi beberapa saat. Setelah kembali ke mobil, sopir menjelaskan bahwa mereka tidak salah, oknum polisi hanya meminta uang rokok.

Mungkin kita sering mendengar cerita yang hampir sama atau bahkan mengalami sendiri namun tentunya tidak cukup sebagai bukti untuk menghakimi kepolisian sebagai sebuah institusi yang sering melakukan pelanggaran dalam tugas karena dalam institusi manapun “oknum” yang keluar jalur selalu ada.

Tetapi apa yang kita saksikan di media saat ini menguatkan asumsi-asumsi negatif yang terpendam. Institusi kepolisian benar-benar dihantam badai dalam tiga bulan terakhir. Kesalahan-kesalahan “oknum” yang tidak signifikan diafirmasi oleh kasus yang dilakukan “oknum besar” yang menjadi representasi kepolisian. Bermula dari peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J yang diotaki oleh Irjen Ferdy Sambo. Tragedi tersebut tidak sesederhana pembunuhan pada umumnya namun meliputi banyak hal karena melibatkan orang lain yang dijadikan tameng, termasuk manipulasi hukum yang dilakukan oleh seorang jenderal untuk lepas dari jeratan hukum atas tindakan kriminal yang sudah dilakukan

Tidak berhenti pada kasus pembunuhan perwira tinggi Polisi terhadap bawahannya, terjadi tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang diduga karena keputusan satuan pengamanan yang menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Tragedi tersebut menyebabkan Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico Afinta dimutasi dan diganti oleh Irjen Teddy Minahasa Putra.

Kedua kasus tersebut di atas masuk dalam ranah penyelidikan Komnas HAM artinya bahwa tindakan kejahatan yang terjadi bukan hanya sekadar pembunuhan pada umumnya namun mempunyai implikasi yang lebih luas terhadap pelanggaran HAM. Sebuah ironi yang cukup menyesakkan dada karena seharusnya institusi kepolisian berfungsi sebagai alat negara untuk menegakkan HAM.

Seperti sebuah kisah telenovela, berselang beberapa hari setelah ditetapkan sebagai Kapolda Jawa Timur, Irjen Teddy ditangkap terkait kasus peredaran narkoba. Bahkan Polda Metro Jaya menangkap empat aparat kepolisian yang ikut andil dalam tindakan kejahatan pengedaran barang terlarang yang dilakukan oleh Irjen Teddy.

Serangkaian peristiwa yang melibatkan “oknum” polisi memaksa kita untuk merefleksikan kembali peran dan fungsi institusi kepolisian. Jika institusi kepolisian tidak menjadikan serangkaian peristiwa tersebut sebagai momentum untuk merekonstruksi potret mereka di tengah masyarakat maka kemungkinan terburuk yang akan terjadi bahwa masyarakat tidak akan menyisikan sedikit kepercayaan kepada mereka.

Tugas kepolisian sudah sangat jelas tercantum dalam pasal 30 ayat 4 UUD tahun 1945 bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Namun kemudian bagaimana sebuah institusi yang dipercaya oleh UUD sebagai pengayoman tetapi justru menjadi institusi yang kontraproduktif terhadap fungsinya karena terlibat dalam pembunuhan sesame anggota, penanganan ketertiban umum yang menyebabkan korban jiwa bahkan ikut terlibat dalam pengedaran narkoba.

Ketika semua itu terbukti dilakukan oleh “oknum,” maka jangan salahkan jika di tengah masyarakat, menjamur premanisme karena kegagalan institusi kepolisian menampilkan dirinya sebagai pengayoman yang dapat dipercaya.

Kasus yang menghantam institusi kepolisian tidak bisa lagi disederhanakan bahwa pelaku hanya “oknum” karena mereka yang terlibat adalah pejabat kelas atas yang merupakan representasi dari institusi kepolisian.

 

Dilema Polri dalam Menjalankan Tugas

Terlepas dari berbagai kontroversi yang terjadi di dalam tubuh Polri, namun sebagai sebuah institusi yang merupakan alat negara untuk menjamin keamanan negara maka Polri senantiasa mengalami dilema dalam menjalankan tugasnya di tengah masyarakat. Polri menjadi garda terdepan yang menjadi sasaran kritik masyarakat yang ditujukan kepada negara.

Dalam hal pengamanan aksi unjuk rasa, Polri tidak bisa memilih untuk menolak karena fungsi mereka adalah menjaga ketertiban masyarakat, namun dalam proses penanganan yang terjadi di lapangan, seringkali tidak berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Unjuk rasa yang berakhir kericuhan akan memaksa Polri untuk menentukan langkah taktis agar tidak terjadi kekacauan yang lebih luas tetapi yang terjadi bahwa jika terdapat cacat dalam keputusan yang diambil maka Polri akan dituntut melanggar HAM.

Kasus lain yang hampir serupa bahwa dalam hal menjalankan keputusan pengadilan seperti pengamanan penggusuran tanah, Polri menjadi alat untuk memastikan bahwa keputusan pengadilan dijalankan namun lagi-lagi bahwa keputusan pengadilan misalnya penggusuran sering berakhir kekecewaan dari pihak yang kalah di pengadilan dan berujung pada tindakan kerusuhan. Polri sebagai alat pengaman yang akan berhadapan dengan masyarakat.

Kondisi dilematis seperti itu yang menyebabkan Polri menjadi institusi negara yang paling rentan vis a vis dengan masyarakat umum sehingga tidak mengherankan jika berbagai kecaman ditujukan kepada Polri. Hal tersebut tentunya disebabkan karena alat negara yang paling dekat dengan masyarakat adalah Polri.

Namun demikian, tidak dinafikan bahwa berbagai kasus di masyarakat seringkali melibatkan “oknum” polisi yang melanggengkan kejahatan mulai dari kejahatan kelas teri seperti sabung ayam yang dipelihara oleh “oknum” polisi sampai pada tingkatan yang paling tinggi yaitu premanisme di tengah masyarakat yang sengaja diciptakan oleh lagi-lagi “oknum” polisi untuk meringankan tugas mereka.

 

Mengembalikan Marwah Polri

Pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi institusi kepolisian untuk mengembalikan citra mereka di tengah masyarakat. Gelombang kasus yang menimpa institusi ini menjadi cerminan buram kepolisian terhadap masyarakat.

Serangkaian kasus di tubuh kepolisian akhirnya memaksa presiden Joko Widodo untuk memberikan arahan terhadap jajaran kepolisian. Inti dari arahan presiden menyangkut stereotip yang melekat di tubuh kepolisian antara lain tidak mempertontonkan gaya hidup mewah, meredam perilaku sewenang-wenang termasuk tindakan represif, Pelayanan masyarakat yang harus cepat dan memberikan rasa aman, meningkatkan solidaritas dengan TNI, Polisi tidak boleh gamang dan cari selamat namun harus bekerja sesuai regulasi, menegakkan hukum sehingga tidak dianggap lemah termasuk pemberantasan judi online dan komunikasi publik harus disampaikan dengan baik untuk menghindari salah kaprah.

Keputusan presiden untuk memanggil dan memberikan arahan terhadap sejumlah jajaran Polri di Istana, merupakan salah satu langkah nyata untuk menyelamatkan muka kepolisian di tengah masyarakat dan sebagai jalan setapak untuk mengembalikan marwah institusi ke fungsi awalnya sebagai pengayom masyarakat.

Tragedi yang terjadi di tubuh Polri, membawa pesan tersendiri bahwa sebagai alat negara yang berfungsi mengayomi, institusi ini juga harus mampu mawas diri dan merefleksikan dirinya sebagai institusi yang “dihormati” sehingga segala tindakan kejahatan yang dilakukan oleh oknum seharusnya tidak anggap sebagai sebuah pelanggaran yang sederhana.

Bagaimana mungkin sebuah institusi yang keramat akan dihormati oleh masyarakat jika terlalu banyak pelanggaran oknum yang dimaklumi oleh institusinya sendiri. Seharusnya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum polisi harus lebih berat dari pelaku pelanggaran masyarakat umum.

#1

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...