Seorang wartawan senior, Toeti Adhitama,
menceritakan bahwa pernah suatu waktu di tahun 2000, dia sedang melintas di
bilangan jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Tiba-tiba seorang berseragam polisi
berhenti di sebelah kanan mobilnya sehingga memaksa sopirnya menghentikan mobil
kemudian si oknum polisi
menggamit sopirnya turun dari mobil dan
berdiskusi beberapa saat. Setelah kembali ke mobil, sopir menjelaskan bahwa
mereka tidak salah, oknum polisi hanya meminta uang rokok.
Mungkin kita sering mendengar cerita
yang hampir
sama atau bahkan mengalami sendiri namun tentunya tidak cukup sebagai bukti
untuk menghakimi kepolisian sebagai sebuah institusi yang sering melakukan pelanggaran dalam tugas karena
dalam institusi manapun “oknum” yang keluar jalur selalu ada.
Tetapi apa yang kita saksikan di media
saat ini menguatkan
asumsi-asumsi negatif yang terpendam. Institusi kepolisian benar-benar
dihantam badai dalam tiga bulan terakhir. Kesalahan-kesalahan “oknum” yang
tidak signifikan diafirmasi oleh kasus yang dilakukan “oknum besar” yang menjadi
representasi kepolisian.
Bermula dari peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J yang diotaki oleh Irjen Ferdy Sambo. Tragedi
tersebut tidak sesederhana pembunuhan pada umumnya namun meliputi banyak hal
karena melibatkan orang lain yang dijadikan tameng, termasuk manipulasi hukum
yang dilakukan oleh seorang jenderal untuk lepas dari jeratan hukum atas
tindakan kriminal yang sudah dilakukan
Tidak berhenti pada kasus pembunuhan perwira tinggi Polisi terhadap
bawahannya, terjadi
tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan
orang diduga karena keputusan satuan pengamanan yang menembakkan gas air mata
ke tribun penonton. Tragedi tersebut menyebabkan Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico
Afinta dimutasi dan diganti oleh Irjen Teddy Minahasa Putra.
Kedua kasus tersebut di atas masuk dalam
ranah penyelidikan Komnas HAM artinya bahwa tindakan kejahatan yang terjadi
bukan hanya sekadar pembunuhan pada umumnya namun mempunyai implikasi
yang lebih luas
terhadap pelanggaran HAM. Sebuah ironi yang cukup menyesakkan dada karena
seharusnya institusi kepolisian berfungsi sebagai alat negara untuk menegakkan HAM.
Seperti sebuah kisah telenovela,
berselang beberapa hari setelah ditetapkan sebagai Kapolda Jawa Timur, Irjen
Teddy ditangkap terkait kasus peredaran narkoba. Bahkan Polda Metro Jaya
menangkap empat aparat kepolisian yang ikut andil dalam tindakan kejahatan
pengedaran barang terlarang yang dilakukan oleh Irjen Teddy.
Serangkaian
peristiwa yang melibatkan “oknum” polisi memaksa kita untuk merefleksikan
kembali peran dan fungsi institusi kepolisian. Jika institusi kepolisian tidak
menjadikan serangkaian peristiwa tersebut sebagai momentum untuk merekonstruksi
potret mereka di tengah masyarakat maka kemungkinan terburuk yang akan terjadi
bahwa masyarakat tidak akan menyisikan sedikit kepercayaan kepada mereka.
Tugas kepolisian sudah sangat jelas
tercantum dalam pasal 30 ayat 4 UUD tahun 1945 bahwa “Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.” Namun kemudian bagaimana sebuah institusi yang dipercaya
oleh UUD sebagai pengayoman tetapi justru menjadi institusi yang
kontraproduktif terhadap fungsinya karena terlibat dalam pembunuhan sesame
anggota, penanganan ketertiban umum yang menyebabkan korban jiwa bahkan ikut
terlibat dalam pengedaran narkoba.
Ketika semua itu terbukti dilakukan oleh
“oknum,” maka jangan salahkan jika di tengah masyarakat, menjamur premanisme
karena kegagalan institusi kepolisian menampilkan dirinya sebagai pengayoman
yang dapat dipercaya.
Kasus yang menghantam institusi
kepolisian tidak bisa lagi disederhanakan bahwa pelaku hanya “oknum” karena
mereka yang terlibat adalah pejabat kelas atas yang merupakan representasi
dari institusi
kepolisian.
Dilema
Polri dalam Menjalankan Tugas
Terlepas dari berbagai
kontroversi yang terjadi di dalam tubuh Polri, namun sebagai sebuah institusi
yang merupakan alat negara untuk menjamin keamanan negara maka Polri senantiasa
mengalami dilema dalam menjalankan tugasnya di tengah masyarakat. Polri menjadi
garda terdepan yang menjadi sasaran kritik masyarakat yang ditujukan kepada
negara.
Dalam hal
pengamanan aksi unjuk rasa, Polri tidak bisa memilih untuk menolak karena
fungsi mereka adalah menjaga ketertiban masyarakat, namun dalam proses
penanganan yang terjadi di lapangan, seringkali tidak berjalan sesuai dengan
apa yang direncanakan. Unjuk rasa yang berakhir kericuhan akan memaksa Polri
untuk menentukan langkah taktis agar tidak terjadi kekacauan yang lebih luas
tetapi yang terjadi bahwa jika terdapat cacat dalam keputusan yang diambil maka
Polri akan dituntut melanggar HAM.
Kasus lain yang
hampir serupa bahwa dalam hal menjalankan keputusan pengadilan seperti
pengamanan penggusuran tanah, Polri menjadi alat untuk memastikan bahwa
keputusan pengadilan dijalankan namun lagi-lagi bahwa keputusan pengadilan
misalnya penggusuran sering berakhir kekecewaan dari pihak yang kalah di
pengadilan dan berujung pada tindakan kerusuhan. Polri sebagai alat pengaman
yang akan berhadapan dengan masyarakat.
Kondisi
dilematis seperti itu yang menyebabkan Polri menjadi institusi negara yang
paling rentan vis a vis dengan masyarakat umum sehingga tidak mengherankan jika
berbagai kecaman ditujukan kepada Polri. Hal tersebut tentunya disebabkan
karena alat negara yang paling dekat dengan masyarakat adalah Polri.
Namun demikian,
tidak dinafikan bahwa berbagai kasus di masyarakat seringkali melibatkan
“oknum” polisi yang melanggengkan kejahatan mulai dari kejahatan kelas teri
seperti sabung ayam yang dipelihara oleh “oknum” polisi sampai pada tingkatan
yang paling tinggi yaitu premanisme di tengah masyarakat yang sengaja
diciptakan oleh lagi-lagi “oknum” polisi untuk meringankan tugas mereka.
Mengembalikan Marwah Polri
Pekerjaan rumah
yang tidak mudah bagi institusi kepolisian untuk mengembalikan citra mereka di
tengah masyarakat. Gelombang kasus yang menimpa institusi ini menjadi cerminan
buram kepolisian
terhadap masyarakat.
Serangkaian kasus di tubuh kepolisian
akhirnya memaksa presiden Joko Widodo untuk memberikan arahan terhadap jajaran
kepolisian. Inti dari arahan presiden menyangkut stereotip yang melekat di
tubuh kepolisian antara lain tidak mempertontonkan gaya hidup mewah, meredam
perilaku sewenang-wenang termasuk tindakan represif, Pelayanan masyarakat yang harus cepat dan memberikan
rasa aman, meningkatkan solidaritas dengan TNI, Polisi tidak boleh gamang dan
cari selamat namun harus bekerja sesuai regulasi, menegakkan hukum sehingga
tidak dianggap lemah termasuk pemberantasan judi online dan komunikasi publik
harus disampaikan dengan baik untuk menghindari salah kaprah.
Keputusan presiden untuk memanggil dan
memberikan arahan terhadap sejumlah jajaran Polri di Istana, merupakan salah
satu langkah nyata untuk menyelamatkan muka kepolisian di tengah masyarakat dan
sebagai jalan setapak untuk mengembalikan marwah institusi ke fungsi awalnya
sebagai pengayom masyarakat.
Tragedi yang terjadi di tubuh Polri, membawa pesan
tersendiri bahwa sebagai alat negara yang berfungsi mengayomi, institusi ini
juga harus mampu mawas diri dan merefleksikan dirinya sebagai institusi yang
“dihormati” sehingga segala tindakan kejahatan yang dilakukan oleh oknum
seharusnya tidak anggap sebagai sebuah pelanggaran yang sederhana.
Bagaimana mungkin sebuah institusi yang
keramat akan dihormati oleh masyarakat jika terlalu banyak pelanggaran oknum
yang dimaklumi oleh institusinya sendiri. Seharusnya pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh oknum polisi harus lebih berat dari pelaku pelanggaran
masyarakat umum.
#1
No comments:
Post a Comment