Wednesday, December 7, 2022

Membaca (Kembali) Fungsi Institusi Kepolisian

Seorang wartawan senior, Toeti Adhitama, menceritakan bahwa pernah suatu waktu di tahun 2000, dia sedang melintas di bilangan jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Tiba-tiba seorang berseragam polisi berhenti di sebelah kanan mobilnya sehingga memaksa sopirnya menghentikan mobil kemudian si oknum polisi menggamit sopirnya turun dari mobil dan berdiskusi beberapa saat. Setelah kembali ke mobil, sopir menjelaskan bahwa mereka tidak salah, oknum polisi hanya meminta uang rokok.

Mungkin kita sering mendengar cerita yang hampir sama atau bahkan mengalami sendiri namun tentunya tidak cukup sebagai bukti untuk menghakimi kepolisian sebagai sebuah institusi yang sering melakukan pelanggaran dalam tugas karena dalam institusi manapun “oknum” yang keluar jalur selalu ada.

Tetapi apa yang kita saksikan di media saat ini menguatkan asumsi-asumsi negatif yang terpendam. Institusi kepolisian benar-benar dihantam badai dalam tiga bulan terakhir. Kesalahan-kesalahan “oknum” yang tidak signifikan diafirmasi oleh kasus yang dilakukan “oknum besar” yang menjadi representasi kepolisian. Bermula dari peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J yang diotaki oleh Irjen Ferdy Sambo. Tragedi tersebut tidak sesederhana pembunuhan pada umumnya namun meliputi banyak hal karena melibatkan orang lain yang dijadikan tameng, termasuk manipulasi hukum yang dilakukan oleh seorang jenderal untuk lepas dari jeratan hukum atas tindakan kriminal yang sudah dilakukan

Tidak berhenti pada kasus pembunuhan perwira tinggi Polisi terhadap bawahannya, terjadi tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang diduga karena keputusan satuan pengamanan yang menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Tragedi tersebut menyebabkan Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico Afinta dimutasi dan diganti oleh Irjen Teddy Minahasa Putra.

Kedua kasus tersebut di atas masuk dalam ranah penyelidikan Komnas HAM artinya bahwa tindakan kejahatan yang terjadi bukan hanya sekadar pembunuhan pada umumnya namun mempunyai implikasi yang lebih luas terhadap pelanggaran HAM. Sebuah ironi yang cukup menyesakkan dada karena seharusnya institusi kepolisian berfungsi sebagai alat negara untuk menegakkan HAM.

Seperti sebuah kisah telenovela, berselang beberapa hari setelah ditetapkan sebagai Kapolda Jawa Timur, Irjen Teddy ditangkap terkait kasus peredaran narkoba. Bahkan Polda Metro Jaya menangkap empat aparat kepolisian yang ikut andil dalam tindakan kejahatan pengedaran barang terlarang yang dilakukan oleh Irjen Teddy.

Serangkaian peristiwa yang melibatkan “oknum” polisi memaksa kita untuk merefleksikan kembali peran dan fungsi institusi kepolisian. Jika institusi kepolisian tidak menjadikan serangkaian peristiwa tersebut sebagai momentum untuk merekonstruksi potret mereka di tengah masyarakat maka kemungkinan terburuk yang akan terjadi bahwa masyarakat tidak akan menyisikan sedikit kepercayaan kepada mereka.

Tugas kepolisian sudah sangat jelas tercantum dalam pasal 30 ayat 4 UUD tahun 1945 bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Namun kemudian bagaimana sebuah institusi yang dipercaya oleh UUD sebagai pengayoman tetapi justru menjadi institusi yang kontraproduktif terhadap fungsinya karena terlibat dalam pembunuhan sesame anggota, penanganan ketertiban umum yang menyebabkan korban jiwa bahkan ikut terlibat dalam pengedaran narkoba.

Ketika semua itu terbukti dilakukan oleh “oknum,” maka jangan salahkan jika di tengah masyarakat, menjamur premanisme karena kegagalan institusi kepolisian menampilkan dirinya sebagai pengayoman yang dapat dipercaya.

Kasus yang menghantam institusi kepolisian tidak bisa lagi disederhanakan bahwa pelaku hanya “oknum” karena mereka yang terlibat adalah pejabat kelas atas yang merupakan representasi dari institusi kepolisian.

 

Dilema Polri dalam Menjalankan Tugas

Terlepas dari berbagai kontroversi yang terjadi di dalam tubuh Polri, namun sebagai sebuah institusi yang merupakan alat negara untuk menjamin keamanan negara maka Polri senantiasa mengalami dilema dalam menjalankan tugasnya di tengah masyarakat. Polri menjadi garda terdepan yang menjadi sasaran kritik masyarakat yang ditujukan kepada negara.

Dalam hal pengamanan aksi unjuk rasa, Polri tidak bisa memilih untuk menolak karena fungsi mereka adalah menjaga ketertiban masyarakat, namun dalam proses penanganan yang terjadi di lapangan, seringkali tidak berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Unjuk rasa yang berakhir kericuhan akan memaksa Polri untuk menentukan langkah taktis agar tidak terjadi kekacauan yang lebih luas tetapi yang terjadi bahwa jika terdapat cacat dalam keputusan yang diambil maka Polri akan dituntut melanggar HAM.

Kasus lain yang hampir serupa bahwa dalam hal menjalankan keputusan pengadilan seperti pengamanan penggusuran tanah, Polri menjadi alat untuk memastikan bahwa keputusan pengadilan dijalankan namun lagi-lagi bahwa keputusan pengadilan misalnya penggusuran sering berakhir kekecewaan dari pihak yang kalah di pengadilan dan berujung pada tindakan kerusuhan. Polri sebagai alat pengaman yang akan berhadapan dengan masyarakat.

Kondisi dilematis seperti itu yang menyebabkan Polri menjadi institusi negara yang paling rentan vis a vis dengan masyarakat umum sehingga tidak mengherankan jika berbagai kecaman ditujukan kepada Polri. Hal tersebut tentunya disebabkan karena alat negara yang paling dekat dengan masyarakat adalah Polri.

Namun demikian, tidak dinafikan bahwa berbagai kasus di masyarakat seringkali melibatkan “oknum” polisi yang melanggengkan kejahatan mulai dari kejahatan kelas teri seperti sabung ayam yang dipelihara oleh “oknum” polisi sampai pada tingkatan yang paling tinggi yaitu premanisme di tengah masyarakat yang sengaja diciptakan oleh lagi-lagi “oknum” polisi untuk meringankan tugas mereka.

 

Mengembalikan Marwah Polri

Pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi institusi kepolisian untuk mengembalikan citra mereka di tengah masyarakat. Gelombang kasus yang menimpa institusi ini menjadi cerminan buram kepolisian terhadap masyarakat.

Serangkaian kasus di tubuh kepolisian akhirnya memaksa presiden Joko Widodo untuk memberikan arahan terhadap jajaran kepolisian. Inti dari arahan presiden menyangkut stereotip yang melekat di tubuh kepolisian antara lain tidak mempertontonkan gaya hidup mewah, meredam perilaku sewenang-wenang termasuk tindakan represif, Pelayanan masyarakat yang harus cepat dan memberikan rasa aman, meningkatkan solidaritas dengan TNI, Polisi tidak boleh gamang dan cari selamat namun harus bekerja sesuai regulasi, menegakkan hukum sehingga tidak dianggap lemah termasuk pemberantasan judi online dan komunikasi publik harus disampaikan dengan baik untuk menghindari salah kaprah.

Keputusan presiden untuk memanggil dan memberikan arahan terhadap sejumlah jajaran Polri di Istana, merupakan salah satu langkah nyata untuk menyelamatkan muka kepolisian di tengah masyarakat dan sebagai jalan setapak untuk mengembalikan marwah institusi ke fungsi awalnya sebagai pengayom masyarakat.

Tragedi yang terjadi di tubuh Polri, membawa pesan tersendiri bahwa sebagai alat negara yang berfungsi mengayomi, institusi ini juga harus mampu mawas diri dan merefleksikan dirinya sebagai institusi yang “dihormati” sehingga segala tindakan kejahatan yang dilakukan oleh oknum seharusnya tidak anggap sebagai sebuah pelanggaran yang sederhana.

Bagaimana mungkin sebuah institusi yang keramat akan dihormati oleh masyarakat jika terlalu banyak pelanggaran oknum yang dimaklumi oleh institusinya sendiri. Seharusnya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum polisi harus lebih berat dari pelaku pelanggaran masyarakat umum.

#1

No comments:

Post a Comment

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...