Sunday, December 11, 2022

All Quiet on the Western Front

Reviu Film

Jerman Utara, Musim Semi 1917

Perang dan damai adalah dua diskursus utama dalam dunia hubungan internasional pada awal pembentukannya tahun 1919. Pada masa itu bertepatan dengan selesainya perang dunia I. Momentun perang menjadi bahan refleksi untuk memikirkan solusi kehidupan dunia yang lebih baik. Perang lahir dari sebuah ego manusia untuk memaksakan kepentingannya.

Perang dunia I dikenal sebagai bencana besar peradaban manusia pada awal zaman modern. Perang tersebut berlangsung empat tahun sejak 1914 sampai dengan 1918 dan menelan korban jiwa lebih dari 17 juta manusia. Sebuah kematian yang disebabkan oleh jiwa binatang manusia yang menjadi serigala atas sesamanya. Sejarah perang kemudian dipelajari melalui berbagai media antara lain melalui kisah yang ditulis ulang maupun diceritakan dalam sebuah film.

Salah satu film yang mengupas satu sisi perang dunia I adalah film yang berjudul All Quiet on the Western Front. Sebuah film perang yang berbahasa Jerman dan menggambarkan mozaik perang yang berlangsung di garis depan perbatasan, sejarah tersebut dikenal dengan perang parit.. Suasana perang yang terjadi menggambarkan begitu banyak hal absurd dalam kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan berperang.

Perang biasanya terjadi ketika negara merasa berkuasa dan memiliki kekuatan untuk menguasai negara lain. Salah satu dialog dalam film tersebut menyatakan “Kalau manusia diberi kekuasaan maka dia akan menjadi binatang.” Artinya bahwa kondisi perang terjadi ketika dua belah pihak sama-sama merasa mampu mengalahkan satu sama lain.

Cerita perang dimulai ketika Paul Baumer dan kawan-kawannya mendaftar sebagai prajurit perang secara sukarela. Mereka adalah remaja berumur belasan tahun menjelang dua puluhan. Pilihan menjadi prajurit sebenarnya bukan pilihan sadar karena adalah andil dari guru mereka membangkitkan euphoria nasionalisme yang pada akhirnya membangkitkan semangat darah muda dalam diri mereka. 

Demi kaisar, demi Tuhan, demi tanah air.

“Setiap keraguan dan kebimbangan adalah penghianatan kepada tanah air.” Retorika umum dalam menstimulasi rasa nasionalisme untuk menunjukkan bahwa apa yang akan dilakukan adalah sebagai sebuah tindakan untuk kebanggaan sebagai bagian dari sebuah bangsa yang besar.

Pada dasarnya, film tersebut juga menggambarkan bahwa para remaja yang ikut dalam perang memiliki motif yang berbeda. Ada yang ingin dianggap kerena sehingga ketika pulang mereka bisa dengan mudah menikah, ada yang kemudian ingin membuktikan kepada ibunya bahwa dia bisa menjadi seorang prajurit dan tetap survive.

Motif yang mendorong mereka maju ke medan perang kemudian sirna secara mendadak ketika melihat suasana dalam perang. Tidak ada lagi perasaan keren dalam perang selain insting manusia untuk mempertahankan hidupnya.

Paul kemudian lebih sering berpikir dan merefleksikan apa yang terjadi. Perang tentunya bukan menjadi sebuah pilihan rasional bagi seorang remaja seperti Paul. Satu persatu teman-temannya meninggal di depan matanya dengan kondisi tubuh yang hancur. Meskipun demikian, Paul tetap harus berada di medan perang dan membunuh musuhnya sekaligus berperang dengan hati nuraninya.

Dalam satu kesempatan, Paul terjebak di kubangan dan seorang musuh datang ingin menembaknya. Alhasil sebelum menembak, sebuah ledakan terjadi tepat di samping musuhnya dan musuhnya jatuh di kubangan yang sama. Keduanya terjebak dan berhasrat saling membunuh. Paul berhasil meraih sebuah bayonet lalu menikam musuhnya berkali-kali tepat di jantungnya. Musuhnya tidak lantas tewas namun masih mengeluarkan bunyi yang menyiksa nurani Paul. Pada akhirnya Paul berusaha untuk menyelamatkan musuhnya dengan memberi air namun tidak tertolong. Paul menemukan foto anak isteri musuhnya di dalam saku bajunya yang akhirnya semakin mencabik-cabik hati nuraninya. Mereka adalah manusia yang sama dan hanya korban dari praktik politik para penguasa yang menjebak mereka dalam medan perang.

Diplomasi antara Jerman dan Prancis ketika perang parit di front barat terus memakan korban. Pertimbangan para pemimpin negara tidak pada statistik manusia yang meregang nyawa di medan perang namun kalkulasinya adalah bagaimana memenangkan perang untuk membanggakan negaranya. 

Gencatan senjata akhirnya disepakati pada bulan tanggal dan jam 11. Seharusnya para prajurit merayakan kesepakatan tersebut sebagai sebuah sinyal kepulangan mereka ke rumah, namun tidak demikian dengan penguasa. Beberapa jam sebelum masuk jam 11, pemimpin Jerman tidak ingin kehilangan muka sehingga memaksa semua prajurit yang tersisa untuk menyerbu garis pertahanan lawan. Prajurit yang menolak berperang untuk terakhir kalinya akhirnya ditembak mati. 

Paul dan semua prajurit maju ke front barat untuk terakhir kalinya. Pertempuran berlangsung secara sengit 15 menit sebelum jam 11. Korban jiwa tergeletak di sekitaran parit. Paul yang mengejar musuhnya sampai di bunker 2 harus meregang nyawa beberapa menit sebelum gencatan senjata dimulai.

Perang ini benar-benar sebuah tragedi memilukan bagi kemanusiaan karena hanya dengan dengan memperebutkan beberapa ratus meter wilayah, harus mengorbankan lebih dari 3 juta jiwa prajurit melayang. 

Kemudian apakah setelah perang, ada pihak yang menang? Terjadi tidak. Menang itu hanya statistik namun secara psikologis, semua pihak kalah dengan mengorbankan hati nuraninya menghancurkan kehidupan. Tidak ada yang lebih kejam daripada melihat kemanusiaan berada pada titik nadir. 

Perang memang absurd. Seperti lirik band Gigi “banyak yang cinta damai tapi perang semakin ramai.” Banyak sekali momen absurditas yang terjadi dari potongan film seperti misalnya prajurit yang menolak ikut perang untuk terakhir kalinya harus meregang nyawa ditembak mati oleh pemimpin mereka sedangkan mereka yang ikut perang terakhir pun meninggal di tangan musuh. Menolak atau ikut juga tetap saja meninggal. Absurditas lain ketika salah seorang temannya, Kat tidak meninggal saat perang berlangsung namun meninggal oleh tembakan senapan anak petani karena mencuri angsa. 

Ajal memang misterius, menjemput manusia pada situasi yang sama sekali tidak terduga. Seorang tentara yang sudah berperang sekian kali tidak meninggal di medan perang namun ternyata meninggal hanya dengan satu butir peluru oleh seorang bocah anak petani yang merasa terganggu karena hewan peliharaannya dicuri. Kematian yang terus membayangi di situasi perang ternyata datang ketika pada kondisi yang dianggap aman-aman saja.

Secara umum, film tersebut memberikan penonton insight yang mendalam tentang sebuah fragmen situasi perang yang menyeramkan. Para reviewer film tersebut menganggap bahwa film ini membawa pesan anti-perang. Selebihnya gambaran peperangan dipertontonkan untuk mendapatkan gambaran bahwa perang itu benar-benar merusak. 

Perang diselesaikan hanya dengan beberapa lembar kertas berserta tandatangan penguasa kedua negara. 

Sebagai mantan mahasiswa hubungan internasional, saya sebenarnya berharap ada banyak scene tentang proses negosiasi yang berlangsung secara detail untuk menggambarkan bagaimana para stake holder memutuskan untuk berperang atau berdamai. Selebihnya, film ini cukup baik untuk menggambarkan fragmen suasana perang dan kondisi psikologis prajurit perang yang juga hanya manusia biasa namun tidak memiliki kuasa atas diri mereka. Ada negara yang memaksa meraka hadir di medan pertempuran dan harus membunuh manusia lain atas nama nasionalisme.


Day #5


No comments:

Post a Comment

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...