Friday, December 9, 2022

Benturan Identitas Dalam Perhelatan Piala Dunia 2022 (Sebuah Analisis Konstruktivisme)

 

Tahun 2022 menjadi musim pesta para penggemar sepak bola dengan digelarnya kembali piala dunia di Qatar setelah sempat ditunda karena kondisi dunia yang sedang dilanda pandemi Covid-19. Selain fans sepak bola, tentunya para pemain yang akan berpartisipasi juga sedang bergairah karena puncak dari kebanggaan seorang pemain sepak bola adalah berlaga di piala dunia. Semua pasang mata penonton menyaksikan aksi mereka di lapangan bahkan mungkin masyarakat yang tidak menyukai sepak bola.

Piala Dunia kali ini anomali karena digelar di akhir tahun ketika kompetisi liga di berbagai negara masih berjalan sedangkan piala dunia pada umumnya digelar di bulan pertengahan tahun ketika liga Eropa sudah selesai. Hal ini pula yang menjadi faktor sehingga beberapa pemain tidak bisa berlaga di piala dunia karena mengalami cedera. Liga di negara Eropa baru diliburkan seminggu sebelum piala dunia dimulai.

Selain pada persoalan waktu pelaksanaan, piala dunia kali ini juga menyisakan berbagai fenomena di luar lapangan. Ada begitu banyak hal yang menjadi penyedap dari perhelatan kali ini. Mulai dari isu pelanggaran HAM terdapat tenaga kerja imigran yang berkontribusi membangun infrastruktur seperti jalan raya, hotel, stadium dan berbagai fasilitas pendukung dalam kelancaran perhelatan piala dunia. Bahkan the Guardian melaporkan bahwa lebih dari 6.500 tenaga kerja imigran yang meninggal di Qatar dalam tahap persiapan piala dunia sejak Qatar ditetapkan sebagai tuan rumah.

Piala dunia 2022 juga merupakan piala dunia termahal sepanjang sejarah. Dilaporkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh Qatar lebih dari US$ 200 miliar. Sebuah angka yang jauh melebihi dari biaya yang dikeluarkan oleh Brazil pada piala dunia 2014 yang hanya mencapai US$ 15 miliar. Artinya bahwa Qatar sedang membangun sebuah citra di mata dunia dengan biaya yang tidak murah.

Kontroversi tidak berhenti pada proses persiapan bahkan pada saat perhelatan dimulai, muncul berbagai isu yang cukup menyita perhatian selain sepak bola itu sendiri. Berbagai larangan yang diterapkan saat piala dunia yang berhubungan dengan budaya Qatar namun ada dua larangan yang mendapat perhatian yaitu larangan mempromosikan isu LGBT dan larangan mengkonsumsi alkohol.

Kebijakan tersebut menimbulkan pro dan kontra mengenai bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan identitas yang pada akhirnya melahirkan kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan identitas kelompok yang lain. Pihak yang pro menganggap bahwa penerapan kebijakan merupakan otoritas penuh pihak Qatar untuk menghormati budaya mereka dan seharusnya kelompok lain mengikuti aturan yang sudah ditetapkan, sedangkan pihak yang kontra cenderung berpendapat bahwa tidak seharusnya Qatar sebagai tuan rumah menafikan budaya kelompok lain khususnya dari barat seperti kebiasaan minum alkohol dan penghargaan terhadap hak-hak kelompok LGBT.

 

Signifikansi Identitas dalam Perspektif Konstruktivisme

Konstruktivisme sebagai sebuah perspektif yang baru muncul dalam diskursus hubungan internasional pasca perang dingin di tengah dominasi teori arus utama. Konstruktivisme hadir untuk memberikan ide segar bahwa fenomena internasional tidak hanya dipandang sebagai kondisi konfliktual sebagaimana kepercayaan kelompok realisme, tidak pula hanya dilihat sebagai kondisi saling bekerja sama seperti yang dipercayai oleh liberalisme.

Konstruktivisme merunut lebih jauh lagi bahwa sebelum memandang sebuah realitas internasional yang dihidangkan di depan kita maka sebaiknya menganalisis sampai pada proses pembentukan realitas, misalnya interaksi antar subjek yang dibentuk oleh identitas, nilai, kepentingan dan berbagai hal lain yang mempengaruhi keputusan aktor. Intersubjektif tersebut yang kemudian akan melahirkan pola hubungan yang terjadi dan realitas internasional yang dapat disaksikan secara empiris.

Dalam arti yang lebih sederhana bahwa realitas sosial hanyalah perwujudan dari interaksi sosial yang sudah terjadi sebelumnya. Alexander Wendt memandang bahwa realitas sosial terjadi salah satunya karena kesamaan identitas yang mendorong negara untuk saling memahami dan menerima perbedaan.

Pada umumnya, kelompok akan merasa aman ketika berada di tengah kelompok dengan identitas yang sama karena kesamaan tersebut sudah terbentuk sejak lama, sedangkan mereka akan merasa terancam dengan kelompok yang berbeda. Lahirnya pola hubungan yang konfliktual karena perbedaan yang tidak mampu dikomunikasikan dengan baik.

 

Benturan Budaya Timur versus Barat

Perekonomian di Timur Tengah menggeliat dengan digelarnya piala dunia di Qatar. Normalnya, bangsa Arab khususnya Qatar seharusnya memandang bahwa gelombang massa dari bangsa barat yang berkunjung ke Qatar untuk menyaksikan piala dunia, dianggap sebagai potensi yang cukup menjanjikan dalam bidang ekonomi tanpa harus mempersoalkan identitas yang melekat pada bangsa barat namun yang terjadi kemudian adalah berbagai identitas yang berbenturan bahkan solidaritas antar bangsa Arab seakan kembali menemukan momentumnya.

Konstruktivisme memiliki justifikasi atas fenomena yang terjadi bahwa sesungguhnya, pakta material berupa potensi ekonomi bukan hal yang utama karena dalam konstruktivisme, ideasional jauh lebih penting dari pakta material.

Analoginya seperti ini, bangsa barat datang ke Qatar dengan sejumlah uang yang akan digunakan dalam memenuhi kebutuhannya selama gelaran piala dunia namun bangsa timur tidak memandang hal tersebut sebagai sebuah keuntungan bahkan sebaliknya dianggap sebagai ancaman karena perbedaan identitas. Bangsa timur merasa terancam terhadap bangsa barat yang dianggap akan menyebarkan budaya barat di daerah mereka, sedangkan bangsa timur sama sekali tidak merasa terancam dengan bangsa Afrika khususnya yang mayoritas Islam karena kesamaan identitas. Hal ini yang dimaksudkan oleh Alexander Wendt bahwa kesamaan identitas dapat melahirkan kerja sama.

Apa yang terjadi di piala dunia Qatar 2022 sangat sarat dengan pertarungan identitas yang melahirkan polarisasi antara bangsa timur dan bangsa barat. Perbedaan tersebut bahkan mempengaruhi seseorang dalam mendukung tim nasional yang sedang berlaga. Maroko yang mampu melaju ke babak delapan besar mendapat dukungan yang luas dari mayoritas bangsa Arab termasuk non-Arab yang beragama Islam.

Fenomena dukungan terhadap Maroko sangat sarat dengan kesamaan identitas yang melahirkan solidaritas meskipun tidak berasal dari negara yang sama. Mereka menganggap bahwa Maroko merepresentasikan identitas bangsa timur dan akan menjadi pertarungan identitas bahkan sampai dalam lapangan hijau. Jika pada akhirnya Maroko mampu menjuarai piala dunia, tidak hanya menjadi kemenangan Maroko namun dianggap kemenangan bangsa timur terhadap dominasi bangsa barat.

Sejauh yang dapat disaksikan selama ini bahwa terdapat beberapa perbedaan yang mampu dikelola dengan baik seperti misalnya bangsa barat sedikit lebih memahami budaya timur meskipun di lain sisi, masih terdapat perbedaan yang menyisakan perdebatan panjang seperti larangan minum alkohol.

Pada akhirnya, piala dunia Qatar 2022 mempertontonkan fenomena di luar sepak bola khususnya tentang kajian geopolitik. Benturan identitas yang terjadi merupakan sebuah keniscayaan karena perbedaan yang inheren dalam diri masing-masing kelompok, namun apakah perbedaan tersebut akan melahirkan pola hubungan “enemies” atau “friends”? Jawabannya adalah seberapa intens semua pihak mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan yang ada dan bersepakat untuk melahirkan pola hubungan yang menguntungkan antara semua pihak.

Day #3

No comments:

Post a Comment

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...