Tahun 2022 menjadi musim pesta para penggemar sepak bola dengan
digelarnya kembali piala dunia di Qatar setelah sempat ditunda karena kondisi
dunia yang sedang dilanda pandemi Covid-19. Selain fans sepak bola, tentunya
para pemain yang akan berpartisipasi juga sedang bergairah karena puncak dari
kebanggaan seorang pemain sepak bola adalah berlaga di piala dunia. Semua
pasang mata penonton menyaksikan aksi mereka di lapangan bahkan mungkin
masyarakat yang tidak menyukai sepak bola.
Piala Dunia kali ini anomali karena digelar di akhir tahun ketika
kompetisi liga di berbagai negara masih berjalan sedangkan piala dunia pada
umumnya digelar di bulan pertengahan tahun ketika liga Eropa sudah selesai. Hal
ini pula yang menjadi faktor sehingga beberapa pemain tidak bisa berlaga di
piala dunia karena mengalami cedera. Liga di negara Eropa baru diliburkan
seminggu sebelum piala dunia dimulai.
Selain pada persoalan waktu pelaksanaan, piala dunia kali ini juga
menyisakan berbagai fenomena di luar lapangan. Ada begitu banyak hal yang
menjadi penyedap dari perhelatan kali ini. Mulai dari isu pelanggaran HAM
terdapat tenaga kerja imigran yang berkontribusi membangun infrastruktur
seperti jalan raya, hotel, stadium dan berbagai fasilitas pendukung dalam
kelancaran perhelatan piala dunia. Bahkan the Guardian melaporkan bahwa lebih
dari 6.500 tenaga kerja imigran yang meninggal di Qatar dalam tahap persiapan
piala dunia sejak Qatar ditetapkan sebagai tuan rumah.
Piala dunia 2022 juga merupakan piala dunia termahal
sepanjang sejarah. Dilaporkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh Qatar
lebih dari US$ 200 miliar. Sebuah
angka yang jauh melebihi dari biaya yang dikeluarkan oleh Brazil pada piala
dunia 2014 yang hanya mencapai US$ 15 miliar. Artinya bahwa Qatar sedang membangun sebuah citra di mata
dunia dengan biaya yang tidak murah.
Kontroversi tidak berhenti pada
proses persiapan bahkan pada saat perhelatan dimulai, muncul berbagai isu yang
cukup menyita perhatian selain sepak bola itu sendiri. Berbagai larangan yang
diterapkan saat piala dunia yang berhubungan dengan budaya Qatar namun ada dua
larangan yang mendapat perhatian yaitu larangan mempromosikan isu LGBT dan
larangan mengkonsumsi alkohol.
Kebijakan tersebut menimbulkan
pro dan kontra mengenai bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan identitas yang
pada akhirnya melahirkan kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan identitas
kelompok yang lain. Pihak yang pro menganggap bahwa penerapan kebijakan merupakan
otoritas penuh pihak Qatar untuk menghormati budaya mereka dan seharusnya
kelompok lain mengikuti aturan yang sudah ditetapkan, sedangkan pihak yang
kontra cenderung berpendapat bahwa tidak seharusnya Qatar sebagai tuan rumah
menafikan budaya kelompok lain khususnya dari barat seperti kebiasaan minum
alkohol dan penghargaan terhadap hak-hak kelompok LGBT.
Signifikansi Identitas dalam
Perspektif Konstruktivisme
Konstruktivisme sebagai sebuah
perspektif yang baru muncul dalam diskursus hubungan internasional pasca perang
dingin di tengah dominasi teori arus utama. Konstruktivisme hadir untuk memberikan
ide segar bahwa fenomena internasional tidak hanya dipandang sebagai kondisi
konfliktual sebagaimana kepercayaan kelompok realisme, tidak pula hanya dilihat
sebagai kondisi saling bekerja sama seperti yang dipercayai oleh liberalisme.
Konstruktivisme merunut lebih
jauh lagi bahwa sebelum memandang sebuah realitas internasional yang
dihidangkan di depan kita maka sebaiknya menganalisis sampai pada proses
pembentukan realitas, misalnya interaksi antar subjek yang dibentuk oleh
identitas, nilai, kepentingan dan berbagai hal lain yang mempengaruhi keputusan
aktor. Intersubjektif tersebut yang kemudian akan melahirkan pola hubungan yang
terjadi dan realitas internasional yang dapat disaksikan secara empiris.
Dalam arti yang lebih sederhana
bahwa realitas sosial hanyalah perwujudan dari interaksi sosial yang sudah
terjadi sebelumnya. Alexander Wendt memandang bahwa realitas sosial terjadi
salah satunya karena kesamaan identitas yang mendorong negara untuk saling
memahami dan menerima perbedaan.
Pada umumnya, kelompok akan
merasa aman ketika berada di tengah kelompok dengan identitas yang sama karena
kesamaan tersebut sudah terbentuk sejak lama, sedangkan mereka akan merasa
terancam dengan kelompok yang berbeda. Lahirnya pola hubungan yang konfliktual
karena perbedaan yang tidak mampu dikomunikasikan dengan baik.
Benturan Budaya Timur versus
Barat
Perekonomian di Timur Tengah
menggeliat dengan digelarnya piala dunia di Qatar. Normalnya, bangsa Arab
khususnya Qatar seharusnya memandang bahwa gelombang massa dari bangsa barat yang
berkunjung ke Qatar untuk menyaksikan piala dunia, dianggap sebagai potensi
yang cukup menjanjikan dalam bidang ekonomi tanpa harus mempersoalkan identitas
yang melekat pada bangsa barat namun yang terjadi kemudian adalah berbagai
identitas yang berbenturan bahkan solidaritas antar bangsa Arab seakan kembali
menemukan momentumnya.
Konstruktivisme memiliki
justifikasi atas fenomena yang terjadi bahwa sesungguhnya, pakta material
berupa potensi ekonomi bukan hal yang utama karena dalam konstruktivisme,
ideasional jauh lebih penting dari pakta material.
Analoginya seperti ini, bangsa
barat datang ke Qatar dengan sejumlah uang yang akan digunakan dalam memenuhi
kebutuhannya selama gelaran piala dunia namun bangsa timur tidak memandang hal
tersebut sebagai sebuah keuntungan bahkan sebaliknya dianggap sebagai ancaman
karena perbedaan identitas. Bangsa timur merasa terancam terhadap bangsa barat
yang dianggap akan menyebarkan budaya barat di daerah mereka, sedangkan bangsa
timur sama sekali tidak merasa terancam dengan bangsa Afrika khususnya yang
mayoritas Islam karena kesamaan identitas. Hal ini yang dimaksudkan oleh
Alexander Wendt bahwa kesamaan identitas dapat melahirkan kerja sama.
Apa yang terjadi di piala dunia
Qatar 2022 sangat sarat dengan pertarungan identitas yang melahirkan polarisasi
antara bangsa timur dan bangsa barat. Perbedaan tersebut bahkan mempengaruhi
seseorang dalam mendukung tim nasional yang sedang berlaga. Maroko yang mampu
melaju ke babak delapan besar mendapat dukungan yang luas dari mayoritas bangsa
Arab termasuk non-Arab yang beragama Islam.
Fenomena dukungan terhadap
Maroko sangat sarat dengan kesamaan identitas yang melahirkan solidaritas
meskipun tidak berasal dari negara yang sama. Mereka menganggap bahwa Maroko
merepresentasikan identitas bangsa timur dan akan menjadi pertarungan identitas
bahkan sampai dalam lapangan hijau. Jika pada akhirnya Maroko mampu menjuarai
piala dunia, tidak hanya menjadi kemenangan Maroko namun dianggap kemenangan
bangsa timur terhadap dominasi bangsa barat.
Sejauh yang dapat disaksikan
selama ini bahwa terdapat beberapa perbedaan yang mampu dikelola dengan baik
seperti misalnya bangsa barat sedikit lebih memahami budaya timur meskipun di
lain sisi, masih terdapat perbedaan yang menyisakan perdebatan panjang seperti
larangan minum alkohol.
Pada akhirnya, piala dunia
Qatar 2022 mempertontonkan fenomena di luar sepak bola khususnya tentang kajian
geopolitik. Benturan identitas yang terjadi merupakan sebuah keniscayaan karena
perbedaan yang inheren dalam diri masing-masing kelompok, namun apakah
perbedaan tersebut akan melahirkan pola hubungan “enemies” atau “friends”?
Jawabannya adalah seberapa intens semua pihak mengkomunikasikan
perbedaan-perbedaan yang ada dan bersepakat untuk melahirkan pola hubungan yang
menguntungkan antara semua pihak.
Day #3
No comments:
Post a Comment