Di tengah fokus masyarakat dalam proses recovery musibah bencana alam yang sedang melanda berbagai wilayah di Indonesia dan memikirkan proses mitigasi bencana yang akan dicanangkan untuk menghadapi kemungkinan bencana yang terjadi, seorang pria berusia 34 tahun menarik atensi masyarakat dengan meledakkan diri di Polsek Astana Anyar Bandung pada rabu (7/12/2022). Serangan bom bunuh diri tersebut menyebabkan dua orang meninggal dunia termasuk pelaku dan seorang polisi yang sedang menjalankan tugasnya.
Pertanyaan yang muncul kemudian terkait kenapa setiap aksi bom bunuh diri yang dilakukan di lokasi yang vital dan tempat yang merepresentasikan simbol negara termasuk kantor kepolisian yang sering dijadikan sasaran empuk oleh para pengantin bom bunuh diri.
Menurut UU no 5 tahun 2018 bahwa “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”
Dari pengertian tersebut di atas dengan jelas membedakan antara tindakan terorisme dengan kriminal pada umumnya dari beberapa poin. Hal pertama terkait rasa takut, kriminal pada umumnya tidak menimbulkan rasa takut secara meluas di tengah masyarakat sedangkan tindakan teror menghantui masyarakat karena terjadi secara tak terduga baik waktu dan tempat kejadian, selain itu kerusakan yang ditimbulkan bersifat massal. Perbedaan kedua adalah kriminal seperti perampokan biasanya hanya didasari motif ekonomi sedangkan tindakan teror didasari oleh motif politik termasuk ideologi yang diyakini oleh pelaku.
Pada dasarnya bahwa tindakan terorisme tidak hanya membawa implikasi terhadap masyarakat luas namun keluarga menjadi pihak yang paling merasakan dampak baik secara psikologis maupun secara sosial. Tidak hanya keluarga korban namun juga terhadap keluarga pelaku. Kemudian apa yang mendasari para pelaku tidak menjadikan keluarga sebagai pertimbangan utama dalam bertindak karena pada dasarnya, pelaku sadar bahwa tindakan mereka akan merusak pondasi dalam keluarga.
Pada akhirnya bahwa keluarga akan menjadi pihak yang paling berdampak atas setiap aksi konyol yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang meledakkan dirinya dengan alasan apapun. Dosen UIN Yogyakarta, Dr. Fahruddin Faiz dalam salah satu diskusinya menjelaskan bahwa bunuh diri termasuk aksi bom bunuh diri disebabkan karena seseorang gagal merefleksikan hidupnya. Tidak ada satu pun filsuf baik dari barat maupun filsuf timur, yang menyarankan bunuh diri sebagai solusi bahkan bunuh diri dianggap bermasalah. Menurut hans Jonas bahwa apa yang ada, memang sebaiknya tetap ada sehingga tidak ada hak bagi seseorang untuk menghilangkan kehidupan orang lain. Teroris telah menyalahi unsur terpenting dalam hidup yaitu menjaga kehidupan. Mereka merusak tatanan kehidupan atas nama kebenaran subjektif yang mereka tafsirkan sendiri.
Dampak terhadap Keluarga
Keluarga yang dimaksud bukan hanya keluarga yang menjadi korban dari tindakan terorisme namun termasuk juga keluarga pelaku yang mungkin saja tidak mengetahui segala hal tentang ideologi yang dianut oleh pelaku.
Isteri pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, menangis histeris sesaat setelah mendengar kabar suaminya meninggal dalam aksi yang dilakukannya. Artinya bahwa ada kesedihan mendalam yang dirasakan seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya apapun penyebabnya. Tentunya dengan kesedihan itu maka dapat dimaknai bahwa Isteri pelaku sama sekali tidak siap atas apa yang terjadi. Jika seandainya aksi bom bunuh diri sudah diketahui sebelumnya oleh isterinya, maka tentunya tidak ada kesedihan yang mendalam.
Kesedihan mungkin akan tersapu oleh waktu dengan cepat namun stigma yang melekat tidak dapat begitu saja dihilangkan. Masyarakat akan memandangnya sebagai seorang isteri teroris dan itu yang akan menjadi beban berat sepanjang hidup. Perjuangan untuk berdamai dengan diri akan lebih berat karena berhubungan dengan masyarakat yang terlanjur memandangnya sebagai parasit.
Di samping itu, dampak psikologis bagi keluarga korban akan meninggalkan luka atas keluarga yang menjadi korban tindakan teror. Kematian anggota keluarga yang tidak lazim selalu menyakitkan apalagi melihat potret jasad keluarga yang tersebut di media massa dan menjadi konsumsi publik, belum lagi energi psikis yang terkuras akan pemberitaan media. Perjuangan keluarga korban untuk lepas dari trauma mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena melihat jasad keluarga yang tercabik.
Peran Keluarga
Supono yang merupakan kakek tiri pelaku, memberikan pernyataan bahwa yang bersangkutan sudah lama meninggalkan rumah dan sudah sangat jarang berkomunikasi dengan keluarganya. Artinya bahwa relasi dalam keluarga pelaku sudah tidak berjalan optimal. Fungsi keluarga sebagai salah satu pondasi kuat untuk mencegah anggota keluarga dari pengaruh negatif pemikiran radikal, tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut mengafirmasi bahwa ada rajutan dalam relasi keluarga yang terlepas sehingga segala tindakan yang dilakukan tidak terkontrol.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam bangunan keluarga seorang pelaku tindak terorisme. Mengapa dengan begitu mudahnya seseorang didoktrin untuk merusak tatanan kehidupan hanya demi kebenaran utopia yang diyakini.
Salah satu motif pelaku terorisme karena meyakini ada tempat yang paling baik selain di dunia ini dan mereka mengejar impian tersebut meskipun harus mengorbankan kehidupan alam semesta. Tidak pernah terbayangkan mengejar sesuatu yang indah dengan merusak atas tatanan yang sudah stabil. Sadhguru, seorang mistikus dari India mengatakan bahwa “One of the greatest crime that we have done in this world is to tell people that there is a better place than this.”
Kemudian di mana posisi keluarga seharusnya dalam hal mitigasi tindakan terorisme yang bisa saja mempengaruhi siapapun tanpa memandang label identitas apapun. Dalam relasi keluarga, seorang anak akan selalu mengingat orang tua sebagai kontrol atas setiap tindakannya. Orang tua yang mendidik anaknya sejak kecil kemudian akan membentuk karakter seorang anak yang melekat dalam dirinya ketika sudah dewasa.
Keluarga seharusnya menjadi institusi paling awal untuk proses mitigasi tindakan terorisme. Dalam salah satu webinar yang diadakan oleh kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, disimpulkan bahwa “Tantangan pola pengasuhan anak dalam keluarga dapat dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan dan pola pikir orangtua. Keluarga yang menganut intoleransi, paham radikalisme, dan terorisme cenderung memiliki pola asuh yang toxic parent dan memiliki risiko tinggi mudah terpapar paham radikalisme dan terorisme.”
Dengan demikian, sebelum proses pembinaan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya maka orang tua yang seharusnya terlebih dulu untuk membiasakan diri menjadi pribadi yang inklusif dan menjunjung tinggi toleransi atas setiap perbedaan yang sering muncul dalam masyarakat. Menjadi orang tua bukan sesuatu yang given namun harus diusahakan untuk mencapai level maksimal karena implikasinya terhadap keturunan. Jika tidak ada pembinaan sejak awal terhadap anak maka potensi menjadi seorang teroris sangat besar. Mereka menganggap ada dunia yang lebih baik daripada tinggal lebih lama di dunia.
Pada akhirnya, tindakan terorisme adalah kejahatan multidimensi yang seharusnya bisa dimitigasi sejak awal yaitu pondasi utama di pihak keluarga. Suka tidak suka, orang tua harus mempunyai porsi lebih untuk membentuk karakter seorang anak dan menjadi kontrol terhadap pemikiran seorang anak yang kerap kali cepat terpengaruh dan ingin mencoba hal yang baru.
Keluarga adalah pijakan pertama dalam membangun kohesi sosial yang ideal. Jika peran keluarga tidak berjalan dengan optimal maka tentunya implikasi lebih luas akan menyulitkan bangunan sosial di tengah masyarakat. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian bagi setiap pasangan yang baru memulai untuk hidup berkeluarga. Dibutuhkan sebuah proyeksi panjang tentang generasi yang akan lahir dari sebuah keluarga untuk membangun kohesi masyarakat yang solid.
Day #2
No comments:
Post a Comment