Saturday, June 27, 2020

Indonesia dan Rivalitas China, Jepang dan India

Judul        Indonesia dan Rivalitas China, Jepang dan India
Penulis     : Poltak Partogi Nainggolan
Penerbit    : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun        : 2018

Amerika Serikat pada akhir Januari 2016 telah menutup pabrik mobil Ford yang sudah lama eksis di Indonesia
Hubungan China dan Indonesia telah berlangsung lama selama berabad-abad, secara resm sejak kedatangan misi Laksamana Cheng Ho ke Majapahit. Hal. 2
Laksamana Ceng Ho diyakini Sinolog Pattiradjawane tidak pernah berlabuh di Indonesia namun AL China dengan utusan Cheng Ho hadir di Nusantara antara lain di Majapahit untuk memungut pajak yang ditolak penguasa Majapahit, Raden Wijaya ketika itu, memotong telinga utusan China tersebut sehingga menyulut perang yang berpengaruh kemudian atas masa dengan kerajaannya. Hal 11
Konsep Major Power bersifat terbuka yang artinya negara (kekuatan) baru atau lama bisa keluar masuk dari ketegori ini. Hal 12
Perimbangan kekuataan (balance of power) untuk dapat memberikan daya tangkal (deterrence) yang bagi penganut realis justru dinilai mampu mencegah prang. premis bahwa bersiap-siap untuk perang dengan membangun dan memperkuat angkatan bersenjata nasional adalah baik dalam rangkah mencegah intimidasi dan tekanan militer negara lain. hal. 13
Pada tahun 2014, PD China tercatat menempati 2 terbesar di dunia-hanya setingkat di bawah AS-dengan jumlah PDB terbesar US$11,212 Triliun. Hal 15

Sunday, June 21, 2020

Organization of the Islamic Conference

Konflik, kekerasan dan ancaman terhadap perdamaian dewasa ini banyak terjadi di negara-negara berpenduduk muslim (anggota OIC), padahal Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan toleransi. Mengapa negara-negara tersebut rentan terhadap konflik dan kerusuhan? 
Islam sebagai salah satu Agama terbesar di dunia, mengajarkan tentang perdamaian dan toleransi dalam semua sisi kehidupan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa negara-negara Islam khususnya di kawasan Timur Tengah sangat rentan dilanda konflik dan kerusuhan. Ada beberapa faktor yang menurut saya membuat negara Islam terjebak dalam konflik yang berkepanjangan baik sesama umat Islam maupun konflik dengan agama lain atau pun dengan negara Barat. Pertama bahwa konsep Jihad yang sering disalahpahami oleh kelompok garis keras umat Islam. Jihad dianggap sebagai sebuah metode berperang untuk membela agama Islam. Kedua adalah paham Khawarij yang masih menjangkiti sebagian kelompok umat Islam, bahkan semakin tumbuh subur di era sekarang. Mereka tidak segan berkonfrontasi bahkan dengan sesama umat Islam yang tidak sealiran dengan mereka. Di masa sekarang kelompok Khawarij mewujud dalam kelompok Teroris seperti Al-Qaeda pada dekade silam, kemudian ISIS, Taliban dan kelompok radikal lainnya yang dengan mudahnya mengkafirkan umat Islam yang berbeda dengan mereka bahkan sampai memeranginya. Jika kelompok Khawari ini masih menjamur maka dunia Islam akan selalu dipenuhi konflik berdarah. Ketiga adalah sikap eksklusivisme sebagian umat Islam. hampir sama dengan sikap Khawarij namun sikap eksklusif yang menjangkiti sebagian umat Islam tidak sampai memerangi kelompok yang dianggap berbeda. Mereka mengagung-agungkan Islam/kelompoknya dengan merendahkan agama lain/kelompok lainnya namun masih dalam batas pemikiran tidak melakukan tindakan kekerasan, namun jika tidak dikontrol maka sikap seperti ini bisa berubah menjadi tindakan intoleran. Keempat adalah politisasi antara Sunni dengan Shia yang masih berlanjut sampai saat ini. Dalam konferensi Islam Internasional di Amman, Yordania pada tanggal 4-6 Juli 2005, sudah disepakati bahwa Mazhab Shia (Ja’fari & Zaidi) adalah bagian Islam namun tetap saja pada akar rumput umat Islam, masih terprovokasi politisasi bahwa Shia bukan Islam sehingga memperuncing konflik antar sesama Muslim. Umat Islam tidak bisa bersatu dalam menghadapi ancaman dari luar akibat perbedaan Sunni dengan Shia yang selalu ditonjolkan. Kelima lebih pada faktor eksternal yaitu pemberitaan media Barat yang tidak seimbang dalam menginformasikan segala hal mengenai Islam. hal ini mengundang sikap defensif dari berbagai kalangan umat Islam bahkan kelompok Islam yang inklusif sekalipun akan merasa tidak nyaman dengan pemberitaan sebagian media Barat yang selalu mendiskreditkan segala hal tentang Islam.

Mengapa konflik-konflik tersebut seringkali mengarah kepada keterlibatan tindak terorisme? Dalam konflik yang terjadi di negara Islam, seringkali menggunakan metode Terorisme. Salah satu konsep dalam Islam yang selalu diidentikkan dengan terorisme adalah konsep Jihad. Sebuah konsep mulia dalam ajaran Islam yang disalahartikan oleh sebagian kecil kelompok radikal Islam. Jihad pada hakekatnya adalah “berjuang atau berusaha keras” namun direduksi maknanya oleh sebagian kelompok menjadi sebuah tindakan kekerasan dalam makna fisik atas nama “membela Islam”. konsep Jihad ini yang kemudian dikonversi menjadi tindakan terorisme oleh sebagian kecil kelompok Islam. alih-alih tindak terorisme tersebut membela Islam bahkan sebaliknya menjadikan nama Islam tercoreng sebagai agama yang dianggap melegalkan kekerasan. Sebagian dari umat Islam lainnya berusaha mendemonstrasikan ke dunia Global bahwa terorisme bukan bagian dari Islam bahkan Islam sama sekali melarang tindakan terorisme namun umat Islam juga harus mengakui bahwa sejak peristiwa 11 September 2011, sebagian besar tindakan teror didalangi oleh kelompok yang beragama Islam sehingga umat Islam harus lebih mengevaluasi ke dalam internal dibandingkan selalu berupaya keras mendemonstrasikan secara verbal ke dunia Global bahwa Islam bukan agama Teroris. Ada proses yang tidak berkelanjutan dalam tubuh Islam sehingga beberapa konsep mulia seperti Jihad, disalahartikan oleh sebagian kelompok atau mungkin digunakan sebagai tameng oleh mereka untuk mencapai tujuan kelompoknya.

Apa upaya OIC merespon konflik-konflik itu, dan langkahnya dalam mempromosikan perdamaian dan kehidupan dunia yang lebih harmonis?  Salah satu upaya OIC dalam mempromosikan perdamaian dan kehidupan yang lebih harmonis adalah dengan membentuk sebuah badan independen dalam organisasi OIC yang dikenal dengan nama Independent Permanent Human Rights Commission (IPHRC). Badan independen tersebut berfungsi untuk mempromosikan hak-hak sipil, politik, sosial dan ekonomi bagi seluruh negara anggota OIC yang disepakati sesuai dengan nilai-nilai dalam Islam. namun badan ini masih terbatas fungsinya hanya sebatas konsultatif seperti yang tercantum dalam statuta piagam OIC.
Langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh oleh OIC dalam mempromosikan perdamaian yang lebih harmonis adalah mencoba untuk membuka ruang dialog antar agama, mempererat hubungan kerjasama dengan organisasi lain di dunia seperti PBB dan Uni Eropa sebagai representasi organisasi di dunia barat yang selalu vis a vis dengan dunia Islam. OIC juga harus mampu membuka diri untuk bekerjasama dengan media yang selama ini memberitakan dunia Islam dari sisi negatif. Jika ruang dialog dibuka selebar-lebarnya maka diharapkan pihak-pihak yang selama ini mendiskreditkan Islam, bisa memahami dunia Islam dari sisi positifnya.

Perbaikan seperti apa yang perlu dilakukan oleh OIC dalam upaya penyelesaian konflik dan mempromosikan perdamaian dunia? OIC diharapkan mampu menjadi organisasi di negara Islam untuk menyelesaikan berbagai macam konflik yang selama ini melanda negara Islam namun sebelum melangkah lebih jauh dalam proses penanganan konflik, maka OIC sebagai organisasi kerjasama Islam harus mampu menjadi wadah yang netral bagi semua negara anggota. OIC harus menegaskan dirinya sebagai organisasi yang berdiri secara netral dan tidak memihak terhadap negara yang sedang berkonflik. Upaya lain yang harus ditempuh adalah melalui proses musyawarah dalam mencapai sebuah solusi atas konflik yang sedang terjadi. 

Dalam proses mempromosikan perdamaian dunia, maka terlebih dulu OIC harus menjawab tantangan di dunia Islam itu sendiri seperti isu terorisme, Islamphobia, sampai pada kekerasan hak asasi manusia yang sering terjadi di negara Islam. jika isu-isu tersebut masih sering terjadi di dunia Islam itu sendiri, maka OIC akan mengalami kesulitan dalam mempromosikan perdamaian dunia karena negara-negara lain tidak akan mempercayai OIC sebagai sebuah organisasi yang mengusung perdamaian dunia jika di dalam tubuh negara-negara anggotanya masih sering terjadi hal-hal yang kontraproduktif dengan isu perdamaian dunia. Satu hal yang sangat urgent dalam proses OIC menjadi organisasi yang diakui oleh dunia adalah sampai dimana kemampuan mereka memediasi kepentingan Palestina. Sepanjang masalah Palestina masih terus berlanjut tanpa solusi yang jelas maka selama itu pula, OIC akan dianggap sebagai organisasi yang gagal karena tidak bisa dipungkiri bahwa awal berdirinya OIC adalah membela kepentingan Palestina.

Negara-negara Islam yang tergabung dalam OIC mengadopsi The Cairo Declaration of Human Rights in Islam pada bulan Juli 1990. Apa alasan yang melatarbelakangi dilakukannya deklarasi tersebut? 

Pada dasarnya The Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) merupakan sebuah konsepsi tentang hak asasi manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar perumusan deklarasi tersebut. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan deklarasi HAM PBB 1948 yang berlandaskan pada kemanusiaan tanpa memasukkan nilai-nilai Islam. Dari isi Deklarasi Kairo tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa isi deklarasi tersebut sangat jelas ditujukan kepada penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang bernafaskan nilai-nilai Islam sehingga ketika timbul masalah HAM diantara para negara anggota OIC yang notabene adalah negara dengan mayoritas penduduk Islam, maka dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, OIC akan memediasi dengan berdasarkan pada CDHRI.

Selain itu, Deklarasi Kairo tentang HAM (CDHRI) juga sebagai pelengkap/komplemen. dimana terdapat beberapa pernyataan dalam CDHRI yang melengkapi isi the Universal Declaration of Human Rights sebagai dasar pijakan OIC dalam menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Secara sederhananya bahwa kenapa OIC merasa perlu mengadopsi CDHRI sedangkan sudah ada Deklarasi HAM PBB 1948 maka bisa disimplifikasi bahwa jika terjadi permasalahan HAM antara sesama anggota OIC maka referensinya adalah Deklarasi Kairo karena lebih spesifik terkait HAM dalam konteks Islam namun jika timbul masalah HAM antar negara anggota OIC dengan negara yang bukan anggota maka Deklarasi HAM PBB 1948 yang dijadikan rujukan atau referensi dalam menyelesaikan masalah HAM tersebut.

Selain sebagai sebuah pelengkap namun Deklarasi Kairo juga menyisakan perdebatan panjang yang belum menemui titik terang antar anggota OKI yaitu pada pasal 24 dan pasal 25. Pasal 24 menyatakan bahwa “ semua hak dan kebebasan yang diatur dalam deklarasi ini tunduk pada Syariat Islam”sedangkan pasal 25 menetapkan bahwa “Syariat Islam sebagai referensi tunggal dalam hal penjelasan dan klarifikasi atas semua poin dalam deklarasi Kairo.” Perdebatan lainnya adalah pembatasan kebebasan dalam beragama melalui pelarangan keluar/murtad dari Islam, pembatasan berekspresi yang harus sesuai dengan yang ditentukan Syariat Islam, isi Deklarasi ini juga menambahkan bahwa dalam proses rekonsiliasi antara Islam dan HAM internasional maka dua hak khusus untuk Islam adalah hak untuk tetap harus menjadi Muslim dan larangan Riba.

Mengapa OIC perlu membuat Deklarasi HAM dan instrumen sendiri terkait perlindungan HAM? OIC membuat deklarasi HAM dan instrumen tersendiri terkait perlindungan HAM adalah sebagai manifestasi bahwa terdapat perbedaan mencolok terkait konsep HAM menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disepakati oleh PBB dengan konsep HAM dalam pemahaman ajaran Islam. deklarasi Kairo sebagai Deklarasi HAM tersendiri bagi negara-negara OIC menjadi dasar pijakan dalam menyelesaikan permasalahan HAM dalam dunia Islam. sedangkan instrumen tersendiri dibentuk sebagai alat untuk mempromosikan HAM di negara-negara anggota OIC. Tingginya pelanggaran HAM di negara-negara Islam menjadi perhatian serius bagi OIC bagaimana menegakkan Hak Asasi Manusia di dalam dunia Islam yang selama ini diberitakan oleh dunia Barat sebagai negara dengan memiliki sejarah panjang pelanggaran HAM.

Dalam piagam OIC Pasal 1-15 sangat jelas menyatakan bahwa negara anggota OIC diharuskan untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan utama termasuk hak-hak perempuan , anak-anak, pemuda, orang tua dan orang yang berkebutuhan khusus. Kemudian pasal 1-16 menjelaskan bahwa OIC melindungi hak, martabat, dan identitas agama dan budaya Islam dan kelompok minoritas di negara non anggota. 

Dari isi piagam tersebut, dapat disimpulkan bahwa deklarasi HAM bagi OIC sangat dibutuhkan sebagai pengejewantahan defenisi konsep HAM dalam negara Islam dan sebagai dasar dalam penegakan HAM bagi negara-negara anggota OIC. 

Bagaimana dampak adanya IPHRC, sebagai komisi HAM independen yang didirikan oleh OIC, terhadap promosi HAM di negara-negara anggota OIC?  IPHRC yang sudah terbentuk selama 9 (Sembilan) tahun, belum berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan HAM di negara anggota OIC karena beberapa hal. Salah satu hal yang membuat IPHRC tidak berkembang dengan baik karena mandat dari statuta yang diamanatkan kepada IPHRC sangat minim yaitu hanya sebatas mempromosikan HAM kepada negara anggota OIC, tidak ada kewenangan dalam fungsi perlindungan ataupun pengawasan sehingga meskipun IPHRC dideklarasikan sebagai komisi independen dalam organisasi OIC namun kerja-kerjanya hanya melakukan promosi atau pengenalan tentang HAM. Dari hal tersebut juga, bisa dimaklumi jika sepak terjang IPHRC dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa negara anggota OIC, tidak terlalu signifikan. Contohnya pada keterlibatan IPHRC dalam kasus Libya, IPHRC hanya sebatas memberikan bantuan terhadap para pengungsi yang melarikan diri dari konflik di Libya tanpa mampu berbuat lebih jauh lagi. Pada akhirnya, komisi IPHRC akan bergerak dalam menjalankan fungsinya hanya sebatas mengingatkan atau mengeluarkan himbauan sehingga tidak mengherankan jika komisi independen ini belum mempunyai pengaruh yang signifikan baik dalam internal anggota OIC maupun di dunia internasional. Selain hal tersebut di atas, peran IPHRC dalam perkembangan HAM di negara anggota OIC belum maksimal karena belum adanya kesepakatan yang jelas terkait batasan fungsi dari IPHRC itu sendiri. menurut mantan ketua IPHRC 2012-2016, Siti Ruhaini Dzuhayatin bahwa beberapa negara anggota OIC yang konservatif masih ragu menjadikan IPHRC sebagai salah satu instrumen dalam menegakkan masalah HAM diantara negara anggota OIC sehingga IPHRC hanya sebatas menjelaskan konten HAM global terhadap negara anggota OKI dan sebatas instrumen promosi HAM 

Bagaimana posisi negara-negara OIC dalam diplomasi HAM di kancah internasional? Sebagai organisasi antar-negara terbesar kedua di dunia setelah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), menjadikan OIC mempunyai peran yang sangat signifikan dalam proses diplomasi mengenai HAM di dunia internasional, salah satunya adalah kelompok negara OIC sangat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan pada badan HAM di PBB dimana negara-negara OIC secara konsisten menolak resolusi yang terlalu spesifik pada Dewan HAM PBB karena negara OIC menganggap resolusi tersebut mempunyai sebuah tujuan terselubung dari negara-negara barat untuk menjustifikasi tujuan mereka dalam hal melakukan intervensi terhadap sebuah negara dengan dalih HAM. Negara-negara OIC menganggap bahwa hal semacam itu melanggar kedaulatan nasional suatu negara dan resolusi yang spesifik terhadap sebuah negara juga melampaui mandat dari Dewan HAM PBB. 

Apa yang dapat Anda sampaikan sebagai kritik perbaikan terhadap OIC dalam diplomasi HAM global? Menurut pendapat saya mengenai perbaikan OIC dalam diplomasi HAM global adalah langkah awal yang harus ditempuh sebelum melangkah lebih jauh dalam diplomasi HAM Global adalah negara-negara anggota OIC harus satu suara dalam memaknai HAM itu sendiri. Negara-negara yang tergabung dalam organisasi ini mempunyai posisi daya tawar yang sangat kuat di mata internasional namun demikian, permasalahan dasar di Organisasi ini adalah masih terjadi perdebatan panjang dalam tataran ontologi bahwa esensi dari HAM menurut semua negara anggota OIC belum seragam sehingga tafsir terhadap isi Deklarasi Kairo yang diadopsi sebagai salah satu pedoman organisasi masih menjadi perdebatan. OIC yang juga sangat identik dengan negara-negara Timur tengah mendapat tantangan yang cukup berat karena konflik yang terjadi di Timur tengah seakan tidak pernah berhenti. Jika dalam internal saja negara anggota masih berkonflik dan tingkat pelanggaran HAM yang masih tinggi, maka OIC tidak bisa berbicara banyak di panggung internasional. Saya tidak sedang berpretensi untuk mendorong OIC mengadopsi full konsep HAM menurut Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang diadopsi oleh majelis umum PBB pada 10 Desember 1948, namun setidaknya bahwa kesepakatan konsep HAM di antara negara OIC akan menguatkan posisi daya tawar mereka ketika berbicara lebih jauh di kancah diplomasi HAM Global. Perdebatan panjang diantara sesama anggota masih terjadi pada ranah HAM sesuai konsep Islam yang murni misalnya tentang Perempuan dan perkawinan.

21 6 20

Asean Community

Sejarah panjang perjalanan Asean sebagai sebuah organisasi regional sejak dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, sudah melalui begitu banyak dinamika dalam proses interaksi antar sesama negara anggota yang notabene memiliki banyak persamaan yang memudahkan mereka dalam menjalankan kerjasama dalam berbagai bidang. Asean dibentuk pada saat kondisi dunia terbagi dalam kekuatan Bipolar, namun dengan berdirinya Asean menjadi sebuah pengukuhan bahwa negara-negara Asean mampu bersikap secara independen tanpa memihak kepada salah satu blok yang saat itu didominasi oleh Uni Sovyet dan Amerika Serikat. 

Sebelum ditandatangani Asean Charter pada tahun 2007 dan berlaku efektif pada 15 Desember 2008, Asean belum memiliki dasar hukum yang kuat dalam mengikat kerjasama di berbagi bidang sehingga sebelumnya, Asean berjalan hanya seperti sebuah organisasi paguyuban yang didirikan karena berbagai latar belakang persamaan sehingga berdampak pada pencapaian tujuan yang tidak maksimal karena tidak adanya dasar hukum bersama yang disepakati dan dijadikan rujukan sehingga dengan disepakatinya Piagam Asean menjadi pencapaian tersendiri bagi perjalanan organisasi Asean.

Asean Community yang ditandantangani pada pada Deklarasi Asean Concord II dan tercantum dalam pembukaan Piagam Asean menjadi blueprint dalam memimpikan sebuah progress kerjasama di antara sesama negara Anggota Asean. Sebuah cita-cita dalam mewujudkan kerjasama di tingkat kawasan Asia Tenggara yang lebih maju, makmur dan saling membantu. diwujudkan dalam sebuah kondisi di mana semua anggota Asean saling menopang dalam semua bidang tanpa ada satu negara yang tertinggal. Asean Community terdiri dari tiga pilar yang akan diwujudkan bersama-sama anggota Asean yaitu: 
1. Pilar pertama adalah Komunitas Politik Keamanan (Asean Political-Security Community/ASC) yang menekankan pada pembentukan norma-norma politik bagi negara anggota Asean
2. Pilar kedua adalah Komunitas Ekonomi Asean (Asean Economic Community/AEC) yang menekankan pada pembentukan pasar tunggal. Semua warga negara Asean berhak bekerja dan juga membuka usaha di wilayah Asean manapun
3. Pilar ketiga adalah Komunitas Sosial Budaya Asean (Asean Socio-Cultural Community/ASCC) yang diharapkan membentuk sebuah hubungan saling tolong di antara sesama anggota Asean khususnya dalam beberapa hal yang mendesak seperti penanganan bencana alam, masalah lingkungan hidup, Kesehatan, Pengentasan kemiskinan dll. 

Meskipun tetap optimis dalam menghadapi rencana-rencana yang sudah ditetapkan dalam konsep Asean Community namun para Stakeholder juga harus bersikap realistis bahwa dalam mewujudkan Asean Community yang dimanifestikan dalam tiga pilar di atas, bahwa langkah-langkah yang diambil akan mendapat tantangan yang cukup serius.

Pada masa sekarang, ketiga pilar tersebut mendapat tantangan tersendiri yang cukup menguras energi untuk diselesaikan. Tantangan terhadap pilar komunitas Politik-Keamanan Asean antara lain isu di Laut Cina Selatan yang melibatkan Tiongkok dengan beberapa negara Asean, isu keamanan di selat Malaka dan kasus perompakan di Laut Cina Selatan. tantangan pada Komunitas Ekonomi Asean antara lain isu kesenjangan ekonomi antara negara anggota Asean, isu RCEP yang diprakarsai oleh Tiongkok dengan isu TPP yang diprakarsai Amerika Serikat.

Menurut pandangan saya bahwa dari ketiga pilar Asean Community tersebut beserta tantangan yang sedang dihadapi dan potensi tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang, maka ada pilar yang cukup sulit diwujudkan dalam Asean Community yang yang terwujud dalam konektivitas Asean 2025. Pilar yang paling sulit diwujudkan adalah pilar komunitas Politik-Keamanan Asean. Khusus pilar ini menurut saya menghadapi tantangan yang cukup serius baik dari internal negara anggota Asean maupun tantangan yang berasal dari eksternal. Menurut blueprint komunitas Politik-Keamanan Asean bahwa 
“Asean’s cooperation in political development aims to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote and protect human rights and fundamental freedom, with due regards to the rights and responsibilities of the member states of Asean.” (ASEAN Political-Security Community Blueprint 2025 article A.2)
 
Dari beberapa poin blueprint komunitas Politik-Keamanan Asean di atas, ada tiga poin yang saya kemukakan sebagai dasar argumen kenapa saya menarik kesimpulan bahwa pilar Politik-Keamanan Asean cukup sulit diwujudkan. Poin pertama adalah strengthen democracy. Perlu digarisbawahi bahwa negara anggota Asean sangat heterogen bahkan menurut mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirayuda bahwa hanya dua dari 10 negara anggota Asean yang demokratis.  Kenyataan ini jelas sangat paradoks dengan blueprint yang diusung dalam pilar Komunitas Politik-Keamanan Asean  yang bermaksud memperkuat demokrasi bahkan menurut Emmerson (2005) bahwa Laos, Myanmar dan Vietnam menyatakan keberatannya tentang penyebutan demokrasi sebagai tujuan bersama Asean (as cited in Choiruzzad, 2014:53). Meskipun negara-negara tersebut tetap meratifikasi Piagam Asean yang memuat konsep demokrasi, namun tetap saja bahwa demokrasi bagi negara anggota Asean yang belum menerapkannya akan menyisakan masalah yang tidak sepele.

Poin kedua yang saya tekankan pada blueprint di atas yaitu mengenai enhance good governance and the rule of law. Poin ini berhubungan erat dengan perlindungan hak asasi manusia. jika pelanggaran HAM masih masif terjadi di sebagian negara anggota maka hal tersebut menjadi salah satu indikator bahwa penegakan hukum di negara tersebut masih sangat lemah. Tidak bisa dipungkiri bahwa negara-negara Asean masih menjadi sorotan dalam penegakan hukum yang masih lemah. Fakta di lapangan bahwa kawasan Asia Tenggara masih menjadi lahan bagi berbagai macam kejahatan seperti, perdagangan manusia, perdagangan narkoba, dan perdagangan satwa liar dan obat palsu.

laporan terbaru dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menyatakan bahwa konteks obat palsu, Asia Tenggara telah menghabiskan uang berkisar antara US $ 520 juta dan US $ 2,6 miliar per tahun untuk obat palsu . Maraknya kejahatan di Asia Tenggara menjadi indikasi bahwa penegakan hukum di kawasan ini masih sangat lemah yang secara langsung akan menghambat perwujudan cita-cita komunitas Politik-Keamanan Asean.

Poin yang ketiga tentang “promote and protect human rights.” Dalam hal mempromosikan hak asasi manusia, Asean tidak mengalami kesulitan yang berarti pada dalam berbagai bentuk yang sifatnya formalitas misalnya seminar, pendidikan dan metode promosi lainnya karena masih dalam ranah teoritis namun jika sudah berbicara mengenai perlindungan hak asasi manusia di tengah Masyarakat, maka beberapa negara anggota Asean akan mengalami kontraproduktif. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa negara anggota Asean masih bermasalah dengan pelanggaran hak asasi manusia baik yang menjadi sorotan dunia global maupun dalam skala nasional yang mampu ditutupi oleh Pemerintahannya untuk melindungi nama baik negara.

Kasus pelanggaran Hak asasi manusia yang masih belum menemui titik terang sampai saat ini adalah kasus Rohingya di Myanmar. Kasus pelanggaran HAM atas etnis Rohingnya belum menemui titik terang sampai sekarang meskipun PBB sudah menyetujui resolusi yang mengutuk pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar. bukan hanya pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di Myanmar, bahkan di negara Indonesia sekalipun yang dikenal sebagai negara yang sudah mengusung sistem Demokrasi namun tidak lepas dari pelanggaran HAM misalnya kasus pelanggaran HAM tahun 1998 yang masih belum selesai dan kasus pelanggaran HAM di Papua yang tidak disikapi dengan  dengan baik oleh Pemerintah Indonesia.

The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) sebagai lembaga dalam bertugas menangani masalah pelanggaran HAM di Asean juga tidak bisa berbuat banyak karena terdapat prinsip non-intervensi yang dianut oleh Asean sehingga membatasi ruang gerak AICHR dalam memantau pelanggaran HAM yang terjadi dalam internal negara anggota Asean. 

Asean juga menghadapi tantangan yang cukup vital di bidang Politik-Keamanan karena sengketa perbatasan antar sesama negara Anggota Asean yang belum menemui titik terang. Salah satu contohnya adalah konflik antara Vietnam dan Filipina, Brunia, Malysia dan Singapura di Laut Cina Selatan. Sengketa antar negara anggota Asean terkait masalah territorial akan menghambat segala upaya organisasi ini dalam mencapai komunitas Politik Keamanan Asean.

Melihat secara keseluruhan hal tersebut di atas, saya berpendapat bahwa pilar Asean  Community khususnya pilar Politik-Keamanan Asean akan sangat sulit terwujud karena permasalahan internal negara anggota Asean belum sepenuhnya selesai baik yang terkait dengan hak asasi manusia, penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan sampai pada proses demokratisasi yang dicantumkan dalam blueprint Komunitas Politik-Keamanan Asean namun dalam proses penerapannya, mayoritas negara anggota Asean belum mengadopsi secara absolut proses demokratisasi yang ideal. 

Selain itu, faktor eksternal juga sangat mempengaruhi sulitnya mewujudkan pilar Politik-Keamanan Asean dalam waktu dekat. meningkatnya pengaruh Tiongkok di laut Cina Selatan turut mempengaruhi kestabilan dalam internal Asean. Tindakan agresif Tiongkok mengklaim laut Cina Selatan membuat negara-negara Asean semakin terancam, bahkan Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Vietnam sudah mengajukan protes terhadap Tiongkok terhadap beberapa pelanggaran yang dilakukan di kawasan Asean.  Di lain hal, negara-negara Asean mengalami kondisi dilema dalam setiap konflik dengan Tiongkok karena tidak bisa dipungkiri bahwa Tiongkok menjadi sumber dana bagi Asean bahkan di masa kondisi Pandemi Covid-19, Pemerintah Tiongkok melalui duta besarnya untuk Asean, Deng Xijun bahwa Tiongkok berkomitmen memberikan bantuan USD 2 Miliar terhadap Asean.

Konstalasi bidang politik dan keamanan di Kawasan Asean menjadi tantangan yang sangat berat bagi Asean dalam proses perwujudan Masyarakat Politik Keamanan Asean yang merupakan salah satu pilar dalam cita-cita Asean seperti yang tercantum dalam Asean Community. Namun demikian, bukan berarti Asean lantas pesimis namun harus ada langkah riil dalam mewujudkan semua pilar Asean Community yang disepakati. Langkah-langkah menuju perwujudan pilar Politik-Keamanan Asean bisa dilakukan dengan cara melalui penanganan masalah domestik seluruh negara anggota Asean kemudian mengatasi masalah yang meliputi kawasan.

Jika negara-negara anggota Asean sudah menyelesaikan masalah internal maka faktor eksternal seperti friksi yang terjadi dengan Tiongkok khususnya di Laut Cina Selatan, bisa diatasi jika negara anggota Asean bersatu dalam menyikapi hal tersebut.

21 6 20

DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP PROSPEK INDO PASIFIK,
SENTRALITAS ASEAN DAN PERAN INDONESIA  
DALAM PERKEMBANGAN INDO PASIFIK

A. Pendahuluan
Indo Pasifik adalah kawasan yang terbentang sepanjang Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indo Pasifik menjadi terminologi baru dalam geopolitik dan geostrategis global sejak diperkenalkan oleh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe pada Quadrilateral Security Dialogue (forum dialog yang beranggotakan Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan India) tahun 2007. kawasan ini menjadi episentrum perebutan kekuasaan oleh negara-negara besar di dunia. kenyataan yang lumrah jika Indo Pasifik menjadi area geopolitik dan geostrategis yang paling mewah saat ini karena kawasan tersebut menjadi lahan paling basah dalam perekonomian dunia, diperkirakan GDP di kawasan Indo Pasifik mencapai 52 triliun dolar US.

Salah satu bukti bahwa negara-negara besar di dunia menaruh perhatian besar pada Indo Pasifik adalah perebutan pengaruh melalui serangkaian kebijakan di kawasan tersebut. Amerika Serikat merilis kebijakan ”Free and Open Indo Pasific (FOIP).” Sebuah kebijakan yang secara formal bertujuan untuk memajukan demokrasi di kawasan ini namun pada intinya bahwa kebijakan tersebut dibuat untuk menghadapi Tiongkok yang semakin menancapkan pengaruhnya di kawasan Indo Pasifik. Tiongkok sebelumnya sudah mendominasi kawasan Indo Pasifik dengan bantuannya melalui Belt and Road initiative (BRI) yang mencapai nilai  US$1 triliun. Sebuah angka fantastis yang membuktikan keseriusan Tiongkok dalam mengakses Indo Pasifik sebagai lahan kekuasaannya.

Bencana Pandemi Covid-19 yang muncul sejak akhir tahun 2019, berpengaruh sangat signifikan terhadap stabilitas geopolitik di kawasan Indo Pasifik. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat dan Tiongkok menaruh perhatian lebih pada kawasan ini dengan bersaing dalam memberikan bantuan dalam penanganan wabah Covid 19, bahkan dikhawatirkan bahwa kawasan Indo Pasifik akan menjadi area yang paling merasakan persaingan hegemoni antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Kedua negara tersebut tidak berhenti saling bersaing di Indo Pasifik untuk mengukuhkan hegemoni mereka. Beberapa prediksi menyatakan bahwa Indo Pasifik akan menjadi arena baru dalam babak perang dingin antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Diskursus tentang Indo Pasifik tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan Asean sebagai kawasan yang tepat berada di tengah Indo Pasifik. Jika terjadi konflik di kawasan ini, maka Asean menjadi kawasan yang terkena dampak paling besar. Berangkat dari hal tersebut, Asean yang dalam proses pembentukannya pada 8 Agustus 1967, di mana saat itu masih berlangsung perang dingin dan Asean mampu tetap bersikap netral pada saat itu, maka di situasi sekarang, Asean juga diharapkan mampu mempertahankan sikap netralitas dalam posisi sentralitasnya di kawasan Indo Pasifik. Indonesia sebagai Leader dalam Asean harus mampu menjadi inisiator dalam menggerakkan Asean menjaga stabilitas geopolitik di Indo Pasifik.

B. Kerangka Konseptual
Dalam menganalisa Sentralitas Asean dan Peran Indonesia di Indo Pasifik dalam kaitannya dengan dampak Covid 19 yang menyebabkan perubahan Geopolitik di kawasan akibat persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat, maka akan digunakan teori Balance of power dan Regionalisme. Balance of Power sebagai sebuah grand teori dalam hubungan Internasional dimaksudkan untuk menganalisa persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam perebutan hegemoni di Indo Pasifik saat dan pasca pandemi Covid 19 sedangkan teori Regionalisme digunakan sebagai bahan analisa untuk melihat sentralitas Asean dalam menyikapi dinamika geopolitik di Indo Pasifik akibat pandemi Covid 19. Meskipun teori ini merupakan salah satu teori klasik yang marak digunakan pada saat perang dingin, namun bangkitnya Tiongkok mengimbangi kekuatan Amerika Serikat di tatanan politik Global menjadikan teori ini kembali relevan.

Balance of Power adalah sebuah konsep yang sangat populer pada masa perang dingin ketika dunia dikuasai oleh kekuatan Bipolar yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Paradigma Realisme meyakini bahwa untuk menciptakan dunia yang damai maka diperlukan kedua negara beserta aliansinya dalam perimbangan kekuatan sehingga tidak ada salah satu diantara mereka yang benar-benar menyerang secara terbuka. jika salah satu phak menjadi lebih besar dari pihak yang lain maka pihak yang lebih kuat akan dengan leluasa melakukan tindakan yang menguntungkan pihaknya bahkan sampai pada penyerangan. Balance of Power pada intinya dimaksudkan untuk tetap menjaga kondisi aman dari perang karena adanya dua kekuatan yang sama kuat dan tidak saling menyerang karena mereka sadar bahwa jika menyerang maka kemungkinan kalah sangat besar.

Konsep Regionalisme sendiri masih menjadi perdebatan pada tataran karakteristik terbentuknya, namun demikian menurut Edward D. Mansfield1 dan Helen V bahwa ada dua jenis Regionalisme yaitu Regionalisme berdasarkan geografis yaitu adanya kerjasama diantara negara-negara yang berdekatan secara geografis dan yang kedua adalah Regionalisme berdasarkan non-geografis, peningkatan level ekonomi dan aktivitas negara di antara negara yang tidak berdekatan secara geografis.

Secara sederhana, konsep Regionalisme bisa dimaknai sebagai hubungan negara-negara yang terlembaga dengan baik dalam satu kawasan tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Aspek dalam kerjasama regionalisme sangat luas mencakup bidang politik, ekonomi, sosia, budaya bahkan semua ruang lingkup kehidupan bernegara.

C. Dampak Pandemi Covid 19 terhadap Prospek Indo Pasifik
Pandemi Covid-19 yang muncul akhir tahun 2019 di Wuhan, Tiongkok membuat tatanan global berubah secara drastis. Tiongkok menjadi negara yang paling awal mengalami dampak yang signifikan karena wabah tersebut berasal dari salah satu provinsi di Tiongkok dan diprediksi Tiongkok akan mengalami keterpurukan akibat wabah Covid-19, namun seiring berjalanannya waktu yang hanya berlangsung sekitar 5 bulan, Tiongkok mampu mengatasi wabah tersebut di saat negara-negara di dunia baru terjangkit. Ketika episentrum Covid-19 berada di kawasan Eropa dan Amerika Serikat, Tiongkok sudah berhasil keluar dari kondisi krisis akibat wabah Covid 19 dan mulai bergerak mengarahkan bantuan ke negara-negara yang terkena dampak wabah Covid 19.

Indo Pasifik sebagai kawasan yang sangat luas, membentang dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadi salah satu kawasan yang terdampak pandemi Covid 19. Dampak wabah Covid 19 menjadi celah bagi persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Indo Pasifik menjadi terbuka karena kawasan tersebut membutuhkan bantuan yang sangat besar dalam proses penanganan saat pandemi Covid 19 dan pemulihan pada suatu saat pandemi Covid 19 berlalu. Persaingan kedua kekuatan baru dunia ini akan semakin mengubah Geopolitik di kawasan Indo Pasifik yang memang menjadi primadona kawasan paling diperebutkan oleh kedua negara sebelum pandemi Covid 19. 

Tiongkok yang sudah melewati masa krisis selangkah lebih maju dari Amerika Serikat yang masih bergulat dengan urusan domestik dalam penanganan Covid 19. Namun demikian, Amerika Serikat bukan aktor baru dalam dunia Internasional, negara ini sudah melewati beberapa kali dinamika tatanan global dan menjadi aktor tunggal negara adidaya pasca perang dingin, sehingga meskipun masih dalam masa pandemi Covid 19, Amerika Serikat tetap meningkatkan tekanan militernya terhadap Tiongkok. Pesawat pengebom Amerika Serikat tetap melakukan aktivitas di kawasan Indo Pasifik bahkan pihak Pentagon menyatakan bahwa wabah Covid 19 sama sekali tidak merusak kemampuan Amerika Serikat untuk merespon tindak Tiongkok. 

Persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok jika dilihat dari paradigm Realisme dengan menggunakan konsep Balance of Power bahwa jika menginginkan kawasan Indo Pasifik tetap aman dari arena perang terbuka, maka kedua negara tersebut harus tetap dalam kondisi kekuatan yang sama, baik kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi karena jika salah satu dari kedua negara tersebut menjadi lebih kuat, maka akan terjadi serangan terbuka dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.

D. Sentralitas Asean terhadap Indo Pasifik dan Peran Indonesia dalam Perkembangan Indo Pasifik
Asean sebagai sebuah organisasi kawasan yang tepat berada di tengah Indo Pasifik, menjadi pihak yang terdampak jika terjadi ketegangan di Indo Pasifik. Di masa krisis seperti ini, netralitas Asean akan diuji kembali dengan tatatan politik dunia yang hampir mirip pada saat perang dingin. Pada saat perang dingin dalam suasana persaingan hegemoni kekuatan Bipolar saat itu, Asean mampu melewati dengan tetap menjaga netralitas tanpa berpihak kepada salah satu pihak. Tatanan dunia global saat ini menampakkan tanda-tanda yang sama bahwa dunia kembali akan terjebak dalam sebuah tatanan dunia yang dikuasai oleh kekuatan Bipolar dengan aktor yang berbeda, kali ini Amerika Serikat vis-à-vis dengan Tiongkok. Asean memiliki tantangan yang berlipat karena Asean tepat berada di dalam sentral kawasan Indo Pasifik yang notabene menjadi area paling diperebutkan oleh kedua negara tersebut. Setiap dampak dari perubahan Geopolitik di Indo Pasifik serta merta menjadi masalah tersendiri bagi Asean. 

Indonesia sebagai Leader di Asean harus menggunakan peranannya untuk mengarahkan Asean menjadi lebih netral dalam menyikapi persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang semakin meningkat di kawasan Indo Pasifik. Konsep Politik Luar Negeri Indonesia bebas aktif bisa menjadi sebuah alat untuk mengarahkan Asean menjadi lebih tepat dalam mengambil keputusan dalam menyikapi situasi geopolitik yang sedang berkembang di Indo Pasifik. Konsep politik luar negeri Indonesia dalam tataran Asean bisa diartikan bahwa Asean bebas dalam menentukan sikap tanpa dipengaruhi oleh salah satu pihak yang sedang berkonflik sedangkan aktif bisa dimaknai bahwa Asean aktif berinisiatif dalam mencari solusi atas krisis yang terjadi sehingga pihak yang berkonflik mampu menerima solusi yang menguntungkan bagi semua pihak. 

Indonesia mewujudkan hal tersebut dalam mempelopori kerjasama multilaterisme kawasan Indo Pasifik yang berbasiskan sentralitas Asean. Indonesia menginternalisasi kebijakan Politik Luar Negeri bebas aktif melalui Asean Outlook on Indo-Pasific (AOIP) yang dihasilkan dari pada KTT Asean ke-34 di Bangkok tanggal 20-23 Juni 2019. Indonesia melalui kesepatakan AOIP berusaha mendorong Asean agar saling berangkulan dalam menginisiasi stabilitas geopolitik di kawasan Indo Pasifik, menekankan prinsip inklusivitas, transparansi, Sentralitas Asean, menghormati hukum internasional dan mengedepankan kerjasama dan dialog dalam pengembangan kerjasama Indo Pasifik (cnbcindonesia.com, 2019), meskipun pada akhirnya bahwa Tiongkok tidak menyetujui AOIP karena hegemoninya sudah mulai menguat di kawasan Indo Pasifik dengan begitu banyaknya gelontoran bantuan yang dikucurkan kepada Indo Pasifik melalui BRI.

E. Kesimpulan
Pandemi Covid 19 sangat berdampak pada perekonomian kawasaan indo pasifik saat masa pandemic dan terganggunya prospek kawasan ini di masa mendatang, . Hal tersebut tentunya membuka kesempatan yang lebih besar bagi Tiongkok dan Amerika Serikat untuk memberikan bantuan kepada Indo pasifik dalam hal penanganan selama pandemi Covid 19 dan bantuan pemulihan pasca pandemi Covid 19. Bantuan tersebut tentunya diartikan sebagai sebuah usaha persaingan antara kedua negara dalam mengukuhkan hegemoninya di kawasan Indo Pasifik. Tiongkok dengan program BRI mengucurkan bantuan yang tidak sedikit untuk mendapatkan pengaruhnya begitupun Amerika Serikat melalui kebijakan Free and Open Indo Pasific (FOIP). Semua kebijakan yang berujung pada sebuah usaha untuk menarik semua potensi yang ada di Indo Pasifik ke dalam pengaruhnya.

Tensi persaingan yang semakin meninggi antara Amerika Serikat dengan Tiongkok mempengaruhi secara langsung Asean yang tepat berada di sentral kawasan Indo Pasifik. Atas hal tersebut, Asean yang dimotori oleh Indonesia membentuk sebuah konsep Asean Outlook on Indo Pasifik (AOIP) dengan tujuan mendorong semua pihak untuk menjaga kestabilan geopolitik Indo Pasifik.

21 6 20

IMPLEMENTASI DIPLOMASI DIGITAL INDONESIA SELAMA ERA REFORMASI


A. Pendahuluan
Perkembangan teknologi satu dekade terakhir sangat masif bahkan perkembangan teknologi tidak membutuhkan hitungan tahun untuk menciptakan teknologi baru, perkembangan teknologi hanya membutuhkan waktu hitungan bulan untuk menciptakan teknologi yang lebih baik dari teknologi sebelumnya. Perkembangan tersebut sangat berpengaruh terhadap semua bidang kehidupan termasuk bidang ketatanegaraan. Beberapa kebijakan negara dipengaruhi langsung oleh perkembangan teknologi informasi. Dinamika yang lazim terjadi dalam proses pengambilan kebijakan pada tataran negara karena jika tetap terpaku pada konsep lama, maka negara akan tertinggal dari negara lain.

Kebijakan Luar Negeri juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi informasi bahkan perkembangan teknologi informasi sangat mendominasi metode pelaksanaan kebijakan luar negeri suatu negara. tidak bisa dipungkiri bahwa proses interaksi antar negara semakin mudah dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan berpengaruh juga pada efektivitas dan efisiensi suatu negara dalam menjalankan kebijakannya, namun di samping kemudahan dan manfaat yang dirasakan oleh negara, perkembangan teknologi informasi juga menyisakan sisi negatif yang sangat krusial jika negara tidak prudent dalam menyikapi fenomena ini. Kebocoran dokumen yang confidential (cyber security) suatu negara menjadi momok menakutkan akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi karena jika hal tersebut terjadi, kemungkinan terburuk sebuah negara akan ambruk. 

Kemajuan teknologi informasi juga sangat berdampak pada proses Diplomasi dalam hubungan antar negara. pada masa perang dunia dan perang dingin di mana perspektif Realisme yang mendominasi, proses Diplomasi dijalankan oleh aktor state dengan jalur first-track Diplomacy yaitu proses diplomasi antar negara dan berlangsung sangat rahasia. Jalur diplomasi tersebut dianggap sebagai diplomasi tradisional atau diplomasi resmi, namun pada masa sekarang, meskipun jalur Diplomasi tersebut dijalankan namun terdapat berbagai macam varian dalam proses Diplomasi termasuk yang dikenal dengan Diplomasi Digital. Sebuah terminologi Diplomasi yang mencuat karena pengaruh dari perkembangan teknologi dan informasi.

Indonesia sebagai negara dengan populasi ke-4 di dunia dan menduduki peringkat kelima dengan pengguna internet sebesar 143,26 per maret 2019 (katadata.co.id: 2019) otomatis tidak lepas dari aktivitas Diplomasi Digital meskipun harus diakui bahwa perhatian Indonesia terhadap Diplomasi Digital masih sangat minim bahkan belum menemukan formula yang tepat dalam menjalankan jenis diplomasi ini yang menjadikan teknologi sebagai alat untuk menjalankan diplomasi dalam mencapai kepentingan negara.

B. Implementasi Diplomasi Digital Indonesia di Era Reformasi
Konsep Diplomasi digital muncul seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin masif. Diplomasi digital adalah anak kandung dari perkembangan penggunaan internet yang semakin marak. Diplomasi digital dapat didefinisikan sebagai “The use of the Web and associated ICTs including social media tools to solve foreign policy problems” (Huxley, 2014; Jones, Irani, Sivarajah, & Love, 2017; Sivarajah, Irani, & Weerakkody, 2015). Diplomasi digital sangat erat kaitannya dengan Diplomasi publik bahkan jika ditarik garis persinggungan bahwa Diplomasi publik berjalanan melalui wadah Diplomasi digital dalam artian bahwa keterlibatan Publik dalam proses diplomasi diwadahi oleh perangkat teknologi internet misalnya melalui platform media sosial.
menurut Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno L.P. Marsudi dalam Regional Conference on Digital Diplomacy memaparkan empat manfaat Diplomasi Digital yaitu:
a) Diplomasi digital dapat digunakan untuk menyebarkan pesan perdamaian
b) Sebagai alat untuk penguatan kerja sama ekonomi
c) Sebagai alat untuk melindungi warga negara
d) Sebagai alat untuk memajukan pembangunan.

Sejarah implementasi Diplomasi digital di Indonesia masih sangat singkat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Diplomasi digital terlambat berkembang di Indonesia misalnya, tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa Orde Baru, akses informasi dikekang oleh Pemerintah pada saat itu sehingga masyarakat tidak memiliki cukup informasi dalam berbagai bidang termasuk informasi mengenai tata kelola negara dan proses kebijakan luar negeri Indonesia yang memuat di dalamnya proses Diplomasi, selain pembatasan akses informasi oleh Pemerintah, keterbatasan informasi yang didapatkan oleh masyarakat juga disebabkan karena pada zaman Orde Baru, perkembangan teknologi dan informasi belum massif seperti sekarang.

Runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 menandai dimulainya era Reformasi yang berarti bahwa keterbukaan informasi semakin tak terbatas dan masyarakat bebas mengakses informasi seluas-luasnya. Peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi juga diikuti oleh perkembangan teknologi informasi yang mulai menemukan momentumnya, meskipun demikian di awal era Reformasi, Indonesia sama sekali belum menaruh perhatian pada dinamika perkembangan teknologi informasi. Selain karena perangkatnya yang belum memadai, Pemerintah juga terbebani dengan banyaknya pekerjaan domestik yang berhubungan dengan masalah sosial yang merupakan warisan masalah dari Orde Baru. hal ini menandai bahwa penerapan Diplomasi digital Indonesia sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain, bahkan Amerika Serikat sejak tahun 2002 sudah membangun sebuah konsep tentang Diplomasi digital dengan membentuk unit kerja di Kemenlu AS yang menangani E-Diplomacy secara khusus.

Kesadaran akan pentingnya Diplomasi digital secara serius baru dimulai tahun 2017 ketika Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi merilis Digital Command Center (DCC) untuk mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan Diplomasi digital (Kemlu RI, 2017 as cited in Ludiro Madu, 2018). Setelah DCC rilis, Indonesia mulai proaktif dalam menentukan pola penerapan Diplomasi digital yang ideal, hal ini terlihat dari rangkaian upaya dalam menemukan pola Diplomasi digital yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri seperti International Seminar on Digital Diplomacy: Beyond Social Media kemudian diikuti pelaksanaan Conference Regional on Digital Diplomacy yang diadakan pada September 2019, setelah itu, serangkaian kerjasama dengan negara tetangga antara lain dengan Australia, kerjasama dalam mengembangkan kerjasama Diplomasi digital yang mencakup peningkatan sumber daya alam.  

Belum adanya regulasi tentang Diplomasi digital bukan halangan bagi Kementerian Luar Negeri untuk membuat terobosan terkait Diplomasi digital seperti merilis aplikasi untuk pendataan terintergrasi bagi diaspora di luar negeri, aplikasi yang dinamakan Safe Travel dan Portal Peduli WNI tersebut bisa diklasifikasikan sebagai bagian dari Diplomasi digital. Meskipun pada kenyataan di lapangan bahwa pelaku Diplomasi Indonesia sudah menjalankan varian Diplomasi digital namun belum terkonsep dengan baik. Kementerian Luar Negeri sebagai representasi Pemerintah Indonesia pada bidang hubungan internasional dalam menjalankan Diplomasi Indonesia belum pakem dalam hal teknis misalnya penggunaan platform media sosial seperti twitter dan facebook. belum ada keseragaman akun yang digunakan termasuk nama akun, bahasa apa yang dipakai dalam menyebarkan informasi, apakah bahasa asing atau bahasa lokal, dan beberapa hal teknis lainnya yang sama sekali belum diatur sehingga tidak mengherankan jika Diplomasi digital Indonesia sama sekali belum memiliki dampak yang signifikan dalam mencapai tujuan diplomatik.

Penggunaan Diplomasi digital masa pemerintahan Joko Widodo sudah mendapat perhatian yang lebih meskipun masih terdapat pedebatan tentang Diplomasi itu sendiri misalnya terkait tujuan Diplomasi digital yang hanya befungsi untuk menyebarluaskan informasi, membentuk opini citra pemerintah dan melakukan counter isu. Diplomasi digital bagi Indonesia masih dianggap fokus pada dampak pelaksanaan Diplomasi digital terhadap domestik. Bukan hal yang mengherankan jika anggapan tersebut mencuat ke permukaan karena pada kenyataannya pilihan bahasa yang sering digunakan platform media sosial Pemerintah Indonesia termasuk juga akun Presiden Joko Widodo, baik twitter, facebook maupun youtube, lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. 

Pemerintah Indonesia sudah dalam jalur yang tepat untuk mendorong terwujudnya implementasi Diplomasi digital yang lebih komprehensif dalam berbagai hal, dengan berbagai upaya melalui konferensi maupun pertemuan resmi yang membahas terkait Diplomasi digital. Proses Diplomasi digital yang sudah dijalankan harus dilakukan evaluasi terkait banyak hal misalnya metode pelaksanaannya dan batasan-batasannya namun yang paling mendesak adalah evaluasi terhadap capaian-capaian atas pelaksanaan Diplomasi digital yang sudah diimplementasikan sebagai bahan perbaikan ke depan untuk penerapan yang lebih sempurna.

Diplomasi digital pada masa pandemi Covid 19 sebenarnya menemukan momentum yang tepat karena adanya himbauan untuk mengurangi interaksi fisik. Kondisi saat ini memaksa pemerintah Indonesia untuk segera mengimplementasikan Diplomasi digital secara total karena kondisi mengharuskan hal tersebut bahkan untuk pertemuan-pertemuan penting diadakan secara virtual. Di awal pandemi, Pemerintah Indonesia secara masif  menjadikan platform berbagai macam media sosial untuk mengetahui perkembangan lebih jauh tentang wabah ini dan sejatinya. Kondisi sekarang menjadi faktor tambahan bagi Pemerintah Indonesia untuk segera mengimplemetasikan Diplomasi digital.

C. Kesimpulan
Pilihan pemerintah untuk menempuh proses Diplomasi digital sebagai bagian integral dari proses Diplomasi lainnya adalah sebuah keniscayaan di tengah perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Meskipun menjadi varian dari proses Diplomasi yang efisien dan efektif, namun pemerintah harus membuat sebuah rumusan khusus tentang model Diplomasi digital mengingat tantangan yang sangat besar pada jenis Diplomasi ini. Rumusan Diplomasi digital harus memuat secara komprehensif mulai dari prosesnya, batasan, instrumen sampai pada langkah-langkah dalam mengantisipasi kelemahan dari proses Diplomasi ini termasuk Cyber Security yang sangat mengkhawatirkan dalam perkembangan teknologi yang tidak terkendali.

Pemerintah harus menyiapkan regulasi mengenai Diplomasi digital karena semua pihak memiliki akses untuk terlibat di dalam proses Diplomasi digital. Konsensus nasional atau Undang-undang tentang Diplomasi digital dimaksudkan untuk mengarahkan proses Diplomasi ini sesuai dengan tujuan Pemerintah dalam rangka mencapai kepentingan nasional dan menghindari hal-hal yang merupakan dampak negatif dari perkembangan jenis Diplomasi ini.

Proses Diplomasi digital yang sudah berjalan secara parsial harus segera diatur dengan baik dalam sebuah regulasi yang mencakup semua mulai dari hal teknis bahkan sampai pada langkah-langkah pencegahan dampak buruk dari Diplomasi digital. Serangkaian upaya pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri dalam mengadakan berbagai macam konferensi dan kerjasama dengan negara lain dalam upaya menemukan formula baku terkait pelaksanaan Diplomasi digital menjadi kemajuan tersendiri bagi Indonesia yang sudah ketinggalan sangat jauh dari negara lain yang sudah lebih dulu menjadikan Diplomasi digital sebagai perhatian utama dalam mencapai kepentingan nasional. meskipun sedikit terlambat namun Indonesia harus segera menemukan formulasi atas penerapan Diplomasi digital dalam menjawab perkembangan teknologi dan informasi yang semakin tidak bisa diprediksi.

21 6 20

Polugri Indonesia dalam konteks Asean

Indonesia merdeka pada saat momen di mana konstalasi perpolitikan dunia terbagi dalam dua kekuatan Bipolar yang didominasi oleh Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Mayoritas negara yang baru menjalani dekolonisasi pasca perang dunia II, ikut arus dalam dua kekuatan dunia pada saat itu, jika tidak berpihak pada Uni Sovyet maka sudah dipastikan akan ikut dalam koalisi Amerika Serikat. Indonesia yang juga menjalani masa dekolonisasi bertepatan saat usainya perang dunia II, terjebak dalam kekuataan perpolitikan dunia yang Bipolar, namun founding father Indonesia memilih jalan lain yang sangat idealis yaitu Pemerintah Indonesia pada saat itu memilih untuk tidak berpihak baik kepada Amerika Serikat maupun Uni Sovyet dan memilih menentukan arah Politik Luar Negeri yang bebas dan aktif. 
Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Mohammad Hatta memperkenalkan konsep Politik Bebas Aktif pada tanggal 2 September 1948 di depan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Politik yang berhaluan bebas aktif menjadi  salah satu instrumen paling penting dalam politik Luar Negeri Indonesia. Bebas dimaknai sebagai sebuah keadaan di mana Indonesia tidak berpihak pada salah satu dari dua kekuatan dunia pada saat itu yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet sedangkan Aktif dimaknai sebagai sebuah kondisi Indonesia tidak berpangku tangan dalam proses perkembangan konstalasi perpolitikan dunia namun ikut aktif dalam menjalin kerjasama yang ideal. 
Salah satu contoh nyata penerapan Politik Bebas Aktif yang dianut Indonesia adalah keterlibatan aktif Pemerintah Indonesia pada gerakan Non-Blok bahkan Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1955 sebagai cikal bakal gerakan Non-Blok. Gerakan ini menjadi wadah bagi negara-negara di dunia yang menolak berpihak ke salah satu dari dua kekuatan dunia pada masa perang dingin.
Asean juga bisa menjadi contoh nyata penerapan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif karena dengan berdirinya Asean sebagai organisasi kawasan di masa perang dingin menjadi sebuah bentuk sikap tegas dari negara-negara di Asia Tenggara yang tidak ingin diintervensi oleh dua kekuataan besar yang menguasai dunia. Indonesia ikut andil dalam mendirikan organisasi ini.

Dalam proses pendirian Asean sebagai sebuah Organisasi kawasan, peran Indonesia sangat krusial. Indonesia yang diwakili oleh Adam Malik termasuk dalam 5 negara pendiri Asean termasuk Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand yang ditandatangani pada tanggal 8 Desember 1967.  Upaya Indonesia pada awal berdirinya Asean yaitu Indonesia turut serta aktif dalam menjaga stabilitas keamanan di Asia Tenggara pada saat awal berdirinya Asean karena saat itu, tensi persaingan Ideologi antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat sangat tinggi bahkan setiap daerah dijadikan proxy antara kedua kekuatan tersebut.
Berdirinya Asean bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan Indonesia dalam menjalankan politik Luar negeri Bebas Aktif di kawasan Asia Tenggara karena salah satunya tujuan berdirinya Asean adalah menjaga kawasan Asia Tenggara dari persaingan antara dua blok saat itu yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Hal tersebut sejalan dengan konsep Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas aktif. Dalam perjalanannya, beberapa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk tetap menjaga kerjasama Asean antara lain Indonesia mendorong kerjasama dalam hal keamanan maritim. Hal ini dimaksudkan agar proses penanggulangan dalam isu-isu terkait illegal fishing, unregulated fishing dan kejahatan lainnya yang menggunakan alat transportasi lain bisa diatasi dengan baik. Saat konstalasi Tiongkok dengan Amerika Serikat memanas di kawasan Asia Pasifik, Indonesia mendorong Asean untuk menjaga kestabilan di kawasan tersebut dan atas inisiasi Indonesia, Asean menyepakati sebuah konsep yang dikenal sebagai Asean Outlook on Indo Pasific (AOIP). Sebuah konsep yang dimaksudkan untuk menjaga kestabilan di Indo Pasifik dalam menyikapi rivalitas Tiongkok-US di kawasan tersebut.

21 6 20

Islam dan Politik Luar Negeri Indonesia

A. Pengaruh Islam dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia pada masa Orde Lama, Orde baru dan Masa Reformasi

Islam di Indonesia memiliki karakter tersendiri. Sebagai negara dengan penganut agama Islam terbesar di Dunia namun Islam sama sekali tidak berpengaruh signifikan dalam proses pengambil kebijakan di tataran Pemerintahan kecuali dengan prosi yang sangat minim, baik dalam tataran kebijakan domestik maupun kebijakan yang sifatnya berhubungan dengan dunia Internasional termasuk kebijakan luar negeri Indonesia. Islam bukan sebuah pertimbangan utama dalam formulasi kebijakan Republik Indonesia, sejak merdeka sampai saat ini. (Suryadinata 1998,  Leifer 1984,  Al-Anshori 2020). Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah perjalanan Indonesia sebagai negara Islam terbesar, pasti memberikan ruang terhadap Islam dalam proses penentuan kebijakan maupun pengambilan kebijakan dalam negara meskipun porsi yang disisakan untuk Islam sangat sedikit. Hal ini bisa dimengerti karena Indonesia memang bukan negara Islam meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. 
Orde Lama menjadi masa awal di mana proses pembentukan nuansa perpolitikan Indonesia dimulai, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pergulatan antara kelompok Islam (kelompok Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara karena ada juga kelompok Islam Sekuler yang meskipun mereka Islam namun tidak ingin Indonesia menjadi negara Islam) dengan kelompok Nasionalis sudah terlihat pada perdebatan perumusan Pancasila khususnya sila 1. Kelompok Islam ingin menambahkan sila 1 dengan kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi Pemeluknya.” Kenyataan sejarah tersebut setidaknya mempunyai andil pada pengaruh Islam di perjalanan Indonesia berikutnya.  Pengaruh Islam dalam kebijakan Luar Negeri pada Masa Orde Lama termanifestasi dalam Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Nasakom direpresentasikan oleh 3 partai yaitu PNI mewadahi kelompok Nasionalis, Partai Sosialis yang merupakan representasi Komunisme dan Masyumi sebagai perwakilan dari kelompok Agama.  Dominasi Partai Sosialis di masa orde Lama berpengaruh besar terhadap posisi Islam dalam perumusan Kebijakan Luar Negeri Indonesia saat itu. Pemerintah Orde Lama lebih didominasi oleh pengaruh Sosialisme daripada pengaruh Islam. meskipun Orde Lama mendukung penuh kemerdekaan Palestina namun tidak bisa dijadikan ukuran bahwa Orde Lama memberikan porsi terhadap Islam karena dukungan terhadap Palestina tidak berangkat dari sentiment agama namun lebih pada dilihat dari sisi kemanusiaan yang sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea 1 bahwa Indonesia menolak penjajahan di atas dunia. 
Pada masa Orde Baru, Islam menjadi salah satu instrumen bagi pemerintah Indonesia saat itu untuk mencapai tujuan dalam proses two-level game Diplomacy. Hal ini berarti bahwa Islam pada masa Orde Baru hanya dijadikan instrumen dalam memuluskan kepentingan negara tanpa melibatkan Islam sebagai aktor dalam proses diplomasi. Islam hanya menjadi instrumen pada level diplomasi domestik karena pemerintah Orde Baru menyadari Indonesia sebagai penganut Islam terbesar sehingga Pemerinah harus mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk memuluskan kepentingan nasional Indonesia di dunia internasional. Sebenarnya hal tersebut tidak keliru namun jika dianalisa lebih jauh bahwa ada ruang yang kosong karena saat perumusan dasar kebijakan Luar Negeri, Islam tidak ditempatkan pada posisi yang penting namun ketika Orde Baru ingin mendapatkan dukungan domestik, mereka kemudian merangkul Islam untuk melegitimasi kepentingan yang sudah dirumuskan, bahkan identitas Islam pada masa Orde Baru pun sangat dibatasi seperti penggunaan jilbab bagi Perempuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa perumusan kebijakan Luar Negeri Indonesia pada masa Orde Baru didominasi oleh Militer. meskipun pada dekade 1990-an, Orde Baru secara drastis berubah haluan dengan tiba-tiba mengundang banyak pemimpin Islam dari berbagai spektrum politik untuk ikut menikmati kekuasaan negara dalam upaya terakhirnya untuk menyelamatkan rezimnya yang sedang sekarat  namun hal tersebut tidak bisa diartikan bahwa peran Islam menjadi dominan karena hanya sebagai sebuah langkah untuk menyelamatkan status quo.
Keputusan Suharto dalam mendukung kemerdekaan Bosnia dengan cara mengunjungi langsung negara tersebut pada tahun 1995 juga dipandang sebagai salah satu langkah menarik simpati umat Islam di Indonesia dalam rangka menyelamatkan status quo karena pada tahun tersebut, posisi rezim Orde Barus sudah mulai rapuh dengan banyaknya resistensi dari berbagai kalangan terhadap pemerintahan Orde Baru yang menyimpan bau bangkai yang terus ditutup-tutupi seperti pelanggaran hak asasi manusia, tindakan korupsi dan Kebijakan lainnya yang hanya menguntungkan kelompoknya. Islam memang agama Islam di Indonesia namun Islam dalam tataran perpolitikan Indonesia selalu gagal dalam meraih posisi yang dominan dalam ketatanegaraan Indonesia.
Pada masa Reformasi sampai sekarang, Islam tetap menjadi variabel yang tidak signifikan dalam proses pengambilan kebijakan Indonesia. Hal yang berubah saat era reformasi hanya pada tataran Identitas misalnya wanita sudah bebas mengenakan jilbab. Pemerintah Indonesia tidak memberikan ruang yang signifikan bagi wacana Islam sebagai konsideran dalam menentukan kebijakan, bahkan dinamika yang terjadi di dalam negeri pasca Orde Baru direspon dengan cara yang berbeda oleh para Presiden di era reformasi misalnya Abdul Rahman Wahid yang datang dari kalangan NU, ingin menghidupkan Islam yang rahmatan lil’alamin. Ketika beliau ingin mewujudkan pemahamanan Islamnya dalam bentuk kebijakan negara seperti membuka hubungan diplomatik dengan Israel namun keputusan tersebut mendapat pertentangan dari berbagai kalangan Islam. pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), persoalan terkait Islam lebih banyak pada persoalan sosial di mana sangat marak terjadi aksi Terorisme sehingga pemerintahan SBY fokus pada proses pencegahan dan proses deradikalisasi, alih-alih menjadikan Islam sebagai salah satu instrumen perumusan kebijalan Luar Negeri pada saat itu. 
Pada periode pemerintahan Joko Widodo, sejak tahun 2014 sampai pada periode kedua saat ini, posisi Islam dalam perumusan Politik Luar Negeri semakin minim, meskipun pada permukaan, politik identitas Islam sangat marak bahkan di beberapa peristiwa seperti pemilihan Presiden 2019, identitas Islam ditonjolkan oleh salah satu kandidat bahkan yang paling menyita perhatian adalah pemilihan Gubernur DKI pada 2017 berujung pada proses pidana karena salah satu kandidat dianggap mencederai Islam, namun meningkatnya Identitas Islam di tengah masyarakat ternyata tidak serta merta membawa pengaruh yang signifikan dalam proses perumusan kebijakan Luar Negeri. Islam tetap ditempatkan pada posisi semula, hanya dalam ruang-ruang masyarakat. Identitas Islam yang ditonjolkan oleh beberapa kalangan bahkan semakin memojokkan Islam karena mereka larut dalam konstalasi perebutan kekuasaan dengan mendukung salah satu tokoh. Islam seharusnya sudah mempunyai peran lebih di Indonesia, tidak hanya sekedar Identitas yang digunakan sebagai kendaraan oleh segelintir golongan dalam mengejar tampuk kekuasaan. 
Menurut pendapat saya bahwa salah satu alasan kenapa Islam tidak pernah menjadi instrumen yang vital dalam perumusan Kebijakan Luar Negeri Indonesia sejak era Orde lama sampai pada periode 2 Pemerintahan Joko Widodo karena Islam yang ada di Indonesia berbeda coraknya dengan Islam di Timur tengah. Islam di Indonesia lebih inklusif dan lebih fokus pada pola interaksi kemasyarakatan tanpa menyentuh ketatanegaraan, selain itu Indonesia juga bukan merupakan negara Islam meskipun sebagai negara dengan populasi Islam terbesar. Nilai-nilai Islam dianggap sudah terinternalisasi dalam dasar negara Indonesia yaitu Pancasila sehingga hal tersebut dianggap sudah mewakili nilai Islam dalam ketatanegaraan Indonesia. Meskipun setiap era yang dilalui oleh Indonesia memiliki corak Islam tersendiri dalam hubungannya dengan Pemerintahan.

B. Langkah-langkah (Teoritis dan Praktis) untuk memperkuat posisi daya tawar Indonesia di Dunia Internasional
Dalam tataran mikro, kelemahan lain pada proses Diplomasi Indonesia terkait aktor utama (state) dalam bidang diplomasi. Saya teringat metafora pak Anton Aliabbas saat menjelaskan tentang peranan para Diplomat Indonesia di luar negeri yang menggambarkan bagaimana budaya Diplomat yang berpengaruh terhadap posisi daya tawar diplomasi Indonesia di mata dunia Internasional. Menurutnya bahwa para Diplomat tersebut  memiliki budaya seperti ingin dihormati, birokrasi yang berbelit-belit, tidak berusaha memperluas hubungan informal dengan Diplomat dari negara lain sedangkan Pemerintah menyiapkan biaya tunjangan selama memperluas hubungan dengan Diplomat dari negara lain dalam menunjang kerja-kerja Diplomasi. Budaya birokrasi domestik yang dibawa ke dunia Internasional membuat citra Indonesia menjadi negara yang tidak tegas. Kenyataan tersebut tidak bisa dipungkiri, meskipun mungkin tidak terlalu signifikan, menjadi salah satu faktor penyebab diplomasi Indonesia dipandang sangat lemah di dunia Internasional misalnya Diplomat yang tidak terlalu suka bergaul dengan Diplomat dari negara lain sedangkan informasi-informasi tambahan sering diperoleh dari pertemuan-pertemuan informal. Faktor SDM yang lemah disebabkan oleh proses rekrutmen yang masih menggunakan budaya kekerabatan maupun budaya suap. Terkait kenyataan tersebut di atas, Diplomasi Indonesia harus diperbaiki dalam tataran mikro antara lain, proses rekrutmen yang benar-benar bebas dari kepentingan pribadi yang terlibat di dalamnya sehingga menghasilkan SDM yang berkualitas. Training yang memadai dalam mempersiapkan SDM yang akan mewakili Indonesia di mata Internasional. 
Perbaikan berikutnya pada tataran domestik adalah birokrasi Indonesia yang harus dipertegas dalam menunjang proses Diplomasi. Seringkali birokrasi Indonesia bukan memudahkan urusan namun sebaliknya, sesuatu yang mudah menjadi sulit karena rumitnya proses birokrasi yang harus dilalui. Penegakan hukum (law enforcement) yang menjadi ukuran bahwa Indonesia bisa dipercaya oleh dunia Internasional. Jika Indonesia tidak tegas dalam proses penegakan hukum yang berlaku maka dunia Internasional akan melihat Indonesia sebagai sebuah negara yang tidak mampu menjalankan apa yang sudah menjadi ketetapan bersama yang kemudian berimbas pada posisi daya tawar yang lemah. 
Salah satu contoh nyata lemahnya posisi daya tawar Indonesia di dunia Internasional adalah di tahun 2015, Indonesia menunda eksekusi mati terhadap gembong Narkoba asal Australia karena ancaman boikot.  Sedangkan di sisi lain, ketika WNI mendapat masalah di luar Negeri khususnya para TKI di timur tengah, Indonesia seingkali gagal dalam menjalankan praktek diplomasi dalam rangka memenuhi kepentingan warganya. Kasus terbaru lemahnya diplomasi Indonesia terkait kematian ABK warga negara Indonesia di di kapal ikan berbendera Tiongkok. Indikasi pelanggaran HAM dan perbudakan atas WNI sudah ada namun belum ada investigasi mendalam dari pihak pemerintah Indonesia dalam mendalami kasus tersebut. Pemerintah Indonesia hanya fokus melakukan investigasi terhadap perusahaan penyalur ABK tersebut, meskipun hal tersebut juga perlu dilakukan namun menurut saya bahwa proses investigasi terhadap pihak kapal Tiongkok lebih penting dalam rangka menunjukkan bahwa Indonesia kuat di mata internasional.
Terkait berbagai macam kelemahan diplomasi dan posisi daya tawar Indonesia di dunia internasiona, maka Indonesia harus mengambil langkah konkret dalam perbaikan citra Indonesia. langkah-langkah teoritis harus koheren dengan langkah praktis dalam memperbaiki posisi daya tawar Indonesia di mata dunia internasional, dengan tawaran metode sebagai berikut:
a) Indonesia harus memulai dari permasalahan domestik yaitu proses penegakan hukum (law enforcement) harus kuat. Kenyataan sehari-hari bahwa penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah baik karena instrumennya yang kurang maupun karena budaya penegakan hukum Indonesia yang masih dipengaruhi oleh faktor lain misalnya budaya suap.
b) Regulasi yang harus dibenahi. Proses diplomasi Indonesia belum didukung dengan perangkat regulasi yang jelas sehingga mengakibatkan terdapatnya celah yang menjadi kelemahan Indonesia. Misalnya terkait diplomasi ekonomi. Indonesia harus menciptakan sebuah regulasi yang pro terhadap kepentingan domestik untuk menghindari dominasi pihak swasta. Salah satu dengan menerapkan tarif impor yang menguntungkan pasar domestik.
c) Menjaga independensi terhadap negara lain. Seringkali posisi Indonesia di dunia internasional sangat lemah karena dominasi negara lain terhadap Indonesia. Pada masa Orde Baru, Indonesia didikte oleh kepentingan Amerika Serikat sedangkan di masa sekarang, ada indikasi bahwa Indonesia akan lemah ketika berhadap dengan Tiongkok karena besarnya bantuan Tiongkok terhadap Indonesia. Kasus pelanggaran HAM terhadap ABK di kapal ikan Tiongkok adalah salah satu indikasi bahwa Indonesia lemah di depan Tiongkok, meskipun hipotesa ini masih membutuhkan penelitian lanjutan terkait pemerintah Indonesia yang segan terhadap Tiongkok. 

C. Peluang Forum MIKTA dan IORA bagi Indonesia untuk mengejar Kepentingan Nasional dan Relevansi ASEAN bagi Indonesia di Masa Sekarang
MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia) adalah forum internal yang dibentuk tahun 2013 saat sidang Majelis Umum PBB ke-67. Forum yang sudah berjalan 7 tahun tentunya tidak bisa dikatakan sudah mapan namun juga bukan menjadi justifikasi bahwa forum tersebut masih baru sehingga belum berimplikasi terhadap kepentingan Indonesia. Menurut saya bahwa meskipun forum ini sebagai forum informal namun masih sangat relevan bagi Indonesia untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Periode Indonesia sebagai program MIKTA yang dimulai pada tahun 2018 dengan tema “Membina Ekonomi Kreatif dan berkontribusi pada Perdamaian Global” sangat relevan dengan kepentingan Indonesia. Pertama mengenai ekonomi kreatif bahwa proyeksi tahan 2025, sektor ekonomi kreatif akan berkontribusi sekitar US$ 81 miliar (pada PDB nasional)  Saat ini Indonesia mempunyai Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) yang bisa mengambil peran penting dalam proses penerapan program yang sudah dicanangkan pada forum MIKTA. Tema tersebut juga mengambil wacana terkait Perdamaian Global sehingga forum ini bisa menjadi jembatan bagi Indonesia untuk menampilkan Islam Indonesia yang lebih inklusif dan menghapus sejarah gelap serangkaian aksi teroris yang terjadi di Indonesia sejak era reformasi.
Indian Ocean Rim Association (IORA) yang sebelumnya bernama IOR-ARC berdiri sejak tahun 1997 seharusnya sudah menjadi organisasi yang mapan dan memberikan manfaat bagi semua negara anggota. IORA sebagai pelopor dan satu-satunya organisasi regional di wilayah Samudera Hindia bisa menjadi sebuah wadah bagi Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya terutama karena forum ini hanya satu-satunya di Samudera Hindia. Prioritas kerjasama dalam IORA mayoritas fokus pada bidang yang berkaitan dengan maritim. Poin prioritas kerjasama IORA antara lain keselamatan dan keamanan Maritim, fasilitasi Perdagangan, dan Manajemen Perikanan. Menurut saya bahwa prioritas kerjasama IORA menjadi sangat relevan di masa pemerintahan Joko Widodo karena seperti yang diketahui bahwa Joko Widodo menaruh perhatian yang sangat besar pada kepentingan Maritim dan sedang menggalakkan Diplomasi Maritim. Atas hal tersebut, organisasi IORA bisa dijadikan alat dalam mencapai tujuan Indonesia dalam hal kepentingan Maritim. IORA juga sudah lebih mapan karena adanya Piagam IORA yang mengikat setiap anggota.
Asean masih menjadi forum yang relevan bagi Indonesia untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Asean Community bisa menjadi pencapaian yang besar bagi negara anggota Asean termasuk Indonesia melalui 3 (tiga) pilar yang sudah ditetapkan yaitu Asean Political-Security Community/ASC, Asean Asean Economic Community/AEC dan Asean Socio-Cultural Community/ASCC. Ketiga pilar tersebut seharusnya tidak terlalu sulit diwujudkan oleh Asean meskipun memiliki tantangan masing-masing. Indonesia sendiri bisa mengambil keuntungan dari perwujudan Asean Community misalnya pilar Politik dan Keamanan, maka Indonesia bisa menjadikan Asean Community sebagai alat dalam menghalau dominasi Tiongkok yang mengklaim pulau Natuna, begitupun dengan negara anggota Asean lainnya yang memiliki konflik teritori dengan Tiongkok.

D. Langkah-Langkah Indonesia menghadapi tantangan di Abad ke-21
Menurut Rudine Emrich dan David Schulze, terdapat tiga tantangan Diplomasi di era abad ke 21 yaitu:
1) Aktor dan legitimasi 
Keterlibatan aktor-aktor non-state baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses  negosiasi. Menguatnya peran aktor non-state.
2) Diplomasi publik
Diplomasi secara berabad-abad dilaksanakan secara tertutup dan rahasia. Masyarakat awam tidak tahu pasti apa yang dibicarakan dimeja-meja perundingan, dan bagaimana kepentingan mereka dinegosiasikan

3) Digitalisasi
Pola komunikasi yang didukung teknologi digital dan kecepatan internet telah  memberi pengaruh signifikan terhadap pola-pola diplomasi. Perundingan-perundingan yang terbuka dan hasilnya yang dengan mudah  diakses oleh publik menunjukkan sifat terbuka dari diplomasi.
Berdasarkan pemaparan Emrich dan Schulze tentang tantangan Diplomasi di abad 21, menurut saya bahwa tantangan-tantangan tersebut bukan sesuatu yang harus dihindari karena fenomena tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang hadir di dunia Internasional dengan perkembangan dunia yang sangat dinamis. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah menjadikan tantangan-tantangan tersebut sebagai sebuah potensi dan peluang dalam menguatkan Diplomasi Indonesia di dunia Internasional.
Berikut langkah-langkah yang menurut pandangan saya mampu menguatkan posisi Diplomasi Indonesia antara lain:
1) Terkait tantangan mengenai aktor non-state yang semakin menguat, Pemerintah harus merangkul semua aktor non-State baik MNC, NGO, maupun Individu yang mempunyai peran dalam proses Diplomasi. Namun harus diingat bahwa ada batasan dalam menyertakan mereka dalam proses Diplomasi misalnya aturan yang ketat. Pemerintah tidak boleh membuka ruang yang terlalu longgar terhadap Transnasional Coperation (TNC) atau Multinational Corporation (MNC) sehingga mereduksi kepentingan domestik. Pemerintah harus menerapkan tarif inmpor yang menguntungkan negara dan melindungi pasar domestik dan pajak bagi pelaku ekonomi swasta. Hal yang terjadi sekarang adalah Pemerintah menurunkan tarif dan pajak yang rendah sehingga menguntungkan para aktor MNC/TNC. Logika yang sama menurut hukum Kapitalisme.
2) Terkait hambatan Diplomasi Publik bahwa kemajuan teknologi yang semakin pesat dengan keterbukaan informasi yang cukup lebar dan setiap orang bisa mengakses berita bahkan sampai pada level pengambilan kebijakan dalam tataran negara. ruang Diplomasi tentunya tidak lepas dari akses masyarakat umum untuk mengetahui kebijakan apa yang sedang diambil Pemerintah. Kenyataan tersebut tentunya menjadi tantangan bagi Pemerintah dalam menjalankan proses Diplomasi yang confidential namun di sisi lain, Diplomasi Publik bisa menjadi kekuatan Indonesia di mata Internasional. Indonesia harus menguatkan peran Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (IDP) dalam mengontrol Diplomasi Publik. Poin-poin penting dari tugas IDP yang harus diperkuat yaitu pelaksanaan informasi serta penyelenggaraan diplomasi publik, keamanan diplomatik dan kerja sama teknik. Dalam proses pelaksanaannya, Diplomasi Publik harus menampilkan wajah Indonesia di mata Internasional sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan dengan tampilan Islam yang inklusif.
3) Tantangan terkait Digitalisasi sangat erat hubungannya dengan tantangan mengenai Diplomasi Publik. Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa kemajuan teknologi tidak bisa dihindari dan tantangan Diplomasi yang berkaitan dengan digitalisasi sangat besar. Potensi kebocoran informasi yang confidential sangat besar sehingga langkah-langkah Pemerintah dalam menghadapi tantangan ini adalah dengan mengetatkan aturan pada teknologi dan informasi namun bukan berarti mengekang kebebasan namun lebih pada kebebasan yang bertanggung jawab di ranah digitalisasi. Memang perdebatan di wilayah ini sampai sekarang belum menemui kata final, bukan hanya di Indonesia namun di seluruh dunia. Tidak adanya territorial yang jelas membuat era digitalisasi menjadi ruang yang bisa dimanfaatkan oleh pihak manapun untuk kepentingan apapun termasuk mengakses informasi negara.

21 6 20

Saturday, June 13, 2020

Belajar Kearifan Hidup Bersama Jalaluddin Rumi &Sa'di Syirazi

By. Dr. Zaprulkhan, M.S.I

Kata Maulana Rumi "Mengapa kesibukanmu mengejar roti untuk jasadmu membuat dirimu melalaikan roh untuk Tuhan-Mu" Hal. XXVI

Maulana Rumi:
Jika seseorang dapat menjadi "laki-laki"
berdasarkan janggut dan buah pelir,
setiap kambing akan mempunyai 
cukup janggut dan pelir! Hal. 8

Sa'di Syirazi:
"Jika seseorang penyelam takut dengan buaya,
niscaya dia tidak akan pernah mendapatkan
mutiara yang amat mahal harganya. Hal. 16

Hasan Hanafi, filosof Mesir yang menggagas konsep oksidentalisme, memformat syarat kebesaran seseorang dengan dua hal, pertama, produktivitas seseorang. "sesungguhnya puncak produktivitas seorang pemikir, ilmuwan, filsuf terletak pada sejauh mana ia mampu menciptakan pemikir-pemikir selanjutnya. kedua, selain syarat yang pertama, syarat berikutnya yang paling esensial adalah perbedaan antara keduanya (guru dan murid). dengan kata lain, ditentukan juga oleh kebebasan, kreativitas dan keberanian seorang murid berbeda dengan gurunya.

Contoh nyata adalah Plato dan Aristoteles. Plato menyuguhkan wacana filosofis yang bercorak transedental sedangkan Aristoteles berani menampilkan diskursu filosofis yang bernuansa rasional. hal. 56-57

Dalam contoh yang lain, Ide Suhrawardi, filsuf besar abad 12 ihwal esensi (asholatul mahiyah) lebih fundamental dari pada eksistensi (asholatul wujud) digoyang oleh Mulla Shadra dengan konsep sebaliknya bahwa eksistensi lebih fundamental ketimbang esensi. 

Sangat tepat sindiran Friederich Nietzsche 100 tahun silam "engkau akan membayar kembali jasa seorang guru dengan buruk bilamana engkau tetap tinggal hanya sebagai seorang murid"
Tokoh poststrukturalis dengan teori dekonstruksinya, Jacques Derrida " bahwa seorang pemikir tidak akan sampai menjadi seorang pemikir apabila ia tidak mampu menulis dengna bahasa yang bebas dari sikap konsep-konsep yang telah mapan, yang dianggap sebaga jimat dan mantra kesuksesan" Hal. 61

Salah satu yang menyebabkan manusia terhalang menyaksikan kekuasaan Tuhan adalah sifat mengatur sekalipun seringkali tidak mereka sadari. hal. 62

ketika anda berjumpa dengan sebuah experience yang belum pernah anda aami sebelumnya, bagaimanakah anda menjelaskan pengalaman baru anda itu kepada orang lain yang belum mengalaminya? bukan hanya dalm dunia tasawaf, dalam wacana filsafat pun, sebagian para filsuf mengakui kelemahan bahasa dalam mengutarakan kenyataan yang berhubungan dengan subjektivitas manusia. Soren Kierkegaad, bapak eksistensialisme mengatakan "for what I say is quite than what I want t express" Hal. 71

Psikologi kekanak-kanakan bisa dilihat misalnya orang mengkonsumsi sesuatu bukan karena memenuhi kebutuhan dasar tetapi utuk mencari atau mengidentifikasi dengan level status sosial tertentu.

Salah satu karakter yang paling mencolok juga pada anak-anak adalah mereka sangat senang apabila keinginannya dipenuhi dan akan berubah kecewa sekali jika kemauannya tidak dipenuhi oleh orang tua mereka.
Secara vertikal dalam pengabdian kepada Tuhan, anda belum beranjak dewasa, anda belum benar-benar menjadi hambaNya yang tidak disibukkan oleh apa- apa yang datang dariNya, tapi merasa puas dengan perhatian Tuhan itu sendiri. dalam kondisi demikian, Anda sejatinya masih menjadi hamba nikmat. hal. 104.

Cambuk kehidupan antara lain: Hinaan Orang lain kepada kita, kemiskinan dan kesusahan hidup dan Penyakit.

14 Juni 2020

Revolusi Harapan

Erich Fromm menulis buku ini dengan intensi untuk menemukan solusi atas keadaan Amerika Serikat sekitar tahun 1968.  Solusi yang dia maksudk...