A. Pengaruh Islam dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia pada masa Orde Lama, Orde baru dan Masa Reformasi
Islam di Indonesia memiliki karakter tersendiri. Sebagai negara dengan penganut agama Islam terbesar di Dunia namun Islam sama sekali tidak berpengaruh signifikan dalam proses pengambil kebijakan di tataran Pemerintahan kecuali dengan prosi yang sangat minim, baik dalam tataran kebijakan domestik maupun kebijakan yang sifatnya berhubungan dengan dunia Internasional termasuk kebijakan luar negeri Indonesia. Islam bukan sebuah pertimbangan utama dalam formulasi kebijakan Republik Indonesia, sejak merdeka sampai saat ini. (Suryadinata 1998, Leifer 1984, Al-Anshori 2020). Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah perjalanan Indonesia sebagai negara Islam terbesar, pasti memberikan ruang terhadap Islam dalam proses penentuan kebijakan maupun pengambilan kebijakan dalam negara meskipun porsi yang disisakan untuk Islam sangat sedikit. Hal ini bisa dimengerti karena Indonesia memang bukan negara Islam meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam.
Orde Lama menjadi masa awal di mana proses pembentukan nuansa perpolitikan Indonesia dimulai, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pergulatan antara kelompok Islam (kelompok Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara karena ada juga kelompok Islam Sekuler yang meskipun mereka Islam namun tidak ingin Indonesia menjadi negara Islam) dengan kelompok Nasionalis sudah terlihat pada perdebatan perumusan Pancasila khususnya sila 1. Kelompok Islam ingin menambahkan sila 1 dengan kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi Pemeluknya.” Kenyataan sejarah tersebut setidaknya mempunyai andil pada pengaruh Islam di perjalanan Indonesia berikutnya. Pengaruh Islam dalam kebijakan Luar Negeri pada Masa Orde Lama termanifestasi dalam Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Nasakom direpresentasikan oleh 3 partai yaitu PNI mewadahi kelompok Nasionalis, Partai Sosialis yang merupakan representasi Komunisme dan Masyumi sebagai perwakilan dari kelompok Agama. Dominasi Partai Sosialis di masa orde Lama berpengaruh besar terhadap posisi Islam dalam perumusan Kebijakan Luar Negeri Indonesia saat itu. Pemerintah Orde Lama lebih didominasi oleh pengaruh Sosialisme daripada pengaruh Islam. meskipun Orde Lama mendukung penuh kemerdekaan Palestina namun tidak bisa dijadikan ukuran bahwa Orde Lama memberikan porsi terhadap Islam karena dukungan terhadap Palestina tidak berangkat dari sentiment agama namun lebih pada dilihat dari sisi kemanusiaan yang sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea 1 bahwa Indonesia menolak penjajahan di atas dunia.
Pada masa Orde Baru, Islam menjadi salah satu instrumen bagi pemerintah Indonesia saat itu untuk mencapai tujuan dalam proses two-level game Diplomacy. Hal ini berarti bahwa Islam pada masa Orde Baru hanya dijadikan instrumen dalam memuluskan kepentingan negara tanpa melibatkan Islam sebagai aktor dalam proses diplomasi. Islam hanya menjadi instrumen pada level diplomasi domestik karena pemerintah Orde Baru menyadari Indonesia sebagai penganut Islam terbesar sehingga Pemerinah harus mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk memuluskan kepentingan nasional Indonesia di dunia internasional. Sebenarnya hal tersebut tidak keliru namun jika dianalisa lebih jauh bahwa ada ruang yang kosong karena saat perumusan dasar kebijakan Luar Negeri, Islam tidak ditempatkan pada posisi yang penting namun ketika Orde Baru ingin mendapatkan dukungan domestik, mereka kemudian merangkul Islam untuk melegitimasi kepentingan yang sudah dirumuskan, bahkan identitas Islam pada masa Orde Baru pun sangat dibatasi seperti penggunaan jilbab bagi Perempuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa perumusan kebijakan Luar Negeri Indonesia pada masa Orde Baru didominasi oleh Militer. meskipun pada dekade 1990-an, Orde Baru secara drastis berubah haluan dengan tiba-tiba mengundang banyak pemimpin Islam dari berbagai spektrum politik untuk ikut menikmati kekuasaan negara dalam upaya terakhirnya untuk menyelamatkan rezimnya yang sedang sekarat namun hal tersebut tidak bisa diartikan bahwa peran Islam menjadi dominan karena hanya sebagai sebuah langkah untuk menyelamatkan status quo.
Keputusan Suharto dalam mendukung kemerdekaan Bosnia dengan cara mengunjungi langsung negara tersebut pada tahun 1995 juga dipandang sebagai salah satu langkah menarik simpati umat Islam di Indonesia dalam rangka menyelamatkan status quo karena pada tahun tersebut, posisi rezim Orde Barus sudah mulai rapuh dengan banyaknya resistensi dari berbagai kalangan terhadap pemerintahan Orde Baru yang menyimpan bau bangkai yang terus ditutup-tutupi seperti pelanggaran hak asasi manusia, tindakan korupsi dan Kebijakan lainnya yang hanya menguntungkan kelompoknya. Islam memang agama Islam di Indonesia namun Islam dalam tataran perpolitikan Indonesia selalu gagal dalam meraih posisi yang dominan dalam ketatanegaraan Indonesia.
Pada masa Reformasi sampai sekarang, Islam tetap menjadi variabel yang tidak signifikan dalam proses pengambilan kebijakan Indonesia. Hal yang berubah saat era reformasi hanya pada tataran Identitas misalnya wanita sudah bebas mengenakan jilbab. Pemerintah Indonesia tidak memberikan ruang yang signifikan bagi wacana Islam sebagai konsideran dalam menentukan kebijakan, bahkan dinamika yang terjadi di dalam negeri pasca Orde Baru direspon dengan cara yang berbeda oleh para Presiden di era reformasi misalnya Abdul Rahman Wahid yang datang dari kalangan NU, ingin menghidupkan Islam yang rahmatan lil’alamin. Ketika beliau ingin mewujudkan pemahamanan Islamnya dalam bentuk kebijakan negara seperti membuka hubungan diplomatik dengan Israel namun keputusan tersebut mendapat pertentangan dari berbagai kalangan Islam. pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), persoalan terkait Islam lebih banyak pada persoalan sosial di mana sangat marak terjadi aksi Terorisme sehingga pemerintahan SBY fokus pada proses pencegahan dan proses deradikalisasi, alih-alih menjadikan Islam sebagai salah satu instrumen perumusan kebijalan Luar Negeri pada saat itu.
Pada periode pemerintahan Joko Widodo, sejak tahun 2014 sampai pada periode kedua saat ini, posisi Islam dalam perumusan Politik Luar Negeri semakin minim, meskipun pada permukaan, politik identitas Islam sangat marak bahkan di beberapa peristiwa seperti pemilihan Presiden 2019, identitas Islam ditonjolkan oleh salah satu kandidat bahkan yang paling menyita perhatian adalah pemilihan Gubernur DKI pada 2017 berujung pada proses pidana karena salah satu kandidat dianggap mencederai Islam, namun meningkatnya Identitas Islam di tengah masyarakat ternyata tidak serta merta membawa pengaruh yang signifikan dalam proses perumusan kebijakan Luar Negeri. Islam tetap ditempatkan pada posisi semula, hanya dalam ruang-ruang masyarakat. Identitas Islam yang ditonjolkan oleh beberapa kalangan bahkan semakin memojokkan Islam karena mereka larut dalam konstalasi perebutan kekuasaan dengan mendukung salah satu tokoh. Islam seharusnya sudah mempunyai peran lebih di Indonesia, tidak hanya sekedar Identitas yang digunakan sebagai kendaraan oleh segelintir golongan dalam mengejar tampuk kekuasaan.
Menurut pendapat saya bahwa salah satu alasan kenapa Islam tidak pernah menjadi instrumen yang vital dalam perumusan Kebijakan Luar Negeri Indonesia sejak era Orde lama sampai pada periode 2 Pemerintahan Joko Widodo karena Islam yang ada di Indonesia berbeda coraknya dengan Islam di Timur tengah. Islam di Indonesia lebih inklusif dan lebih fokus pada pola interaksi kemasyarakatan tanpa menyentuh ketatanegaraan, selain itu Indonesia juga bukan merupakan negara Islam meskipun sebagai negara dengan populasi Islam terbesar. Nilai-nilai Islam dianggap sudah terinternalisasi dalam dasar negara Indonesia yaitu Pancasila sehingga hal tersebut dianggap sudah mewakili nilai Islam dalam ketatanegaraan Indonesia. Meskipun setiap era yang dilalui oleh Indonesia memiliki corak Islam tersendiri dalam hubungannya dengan Pemerintahan.
B. Langkah-langkah (Teoritis dan Praktis) untuk memperkuat posisi daya tawar Indonesia di Dunia Internasional
Dalam tataran mikro, kelemahan lain pada proses Diplomasi Indonesia terkait aktor utama (state) dalam bidang diplomasi. Saya teringat metafora pak Anton Aliabbas saat menjelaskan tentang peranan para Diplomat Indonesia di luar negeri yang menggambarkan bagaimana budaya Diplomat yang berpengaruh terhadap posisi daya tawar diplomasi Indonesia di mata dunia Internasional. Menurutnya bahwa para Diplomat tersebut memiliki budaya seperti ingin dihormati, birokrasi yang berbelit-belit, tidak berusaha memperluas hubungan informal dengan Diplomat dari negara lain sedangkan Pemerintah menyiapkan biaya tunjangan selama memperluas hubungan dengan Diplomat dari negara lain dalam menunjang kerja-kerja Diplomasi. Budaya birokrasi domestik yang dibawa ke dunia Internasional membuat citra Indonesia menjadi negara yang tidak tegas. Kenyataan tersebut tidak bisa dipungkiri, meskipun mungkin tidak terlalu signifikan, menjadi salah satu faktor penyebab diplomasi Indonesia dipandang sangat lemah di dunia Internasional misalnya Diplomat yang tidak terlalu suka bergaul dengan Diplomat dari negara lain sedangkan informasi-informasi tambahan sering diperoleh dari pertemuan-pertemuan informal. Faktor SDM yang lemah disebabkan oleh proses rekrutmen yang masih menggunakan budaya kekerabatan maupun budaya suap. Terkait kenyataan tersebut di atas, Diplomasi Indonesia harus diperbaiki dalam tataran mikro antara lain, proses rekrutmen yang benar-benar bebas dari kepentingan pribadi yang terlibat di dalamnya sehingga menghasilkan SDM yang berkualitas. Training yang memadai dalam mempersiapkan SDM yang akan mewakili Indonesia di mata Internasional.
Perbaikan berikutnya pada tataran domestik adalah birokrasi Indonesia yang harus dipertegas dalam menunjang proses Diplomasi. Seringkali birokrasi Indonesia bukan memudahkan urusan namun sebaliknya, sesuatu yang mudah menjadi sulit karena rumitnya proses birokrasi yang harus dilalui. Penegakan hukum (law enforcement) yang menjadi ukuran bahwa Indonesia bisa dipercaya oleh dunia Internasional. Jika Indonesia tidak tegas dalam proses penegakan hukum yang berlaku maka dunia Internasional akan melihat Indonesia sebagai sebuah negara yang tidak mampu menjalankan apa yang sudah menjadi ketetapan bersama yang kemudian berimbas pada posisi daya tawar yang lemah.
Salah satu contoh nyata lemahnya posisi daya tawar Indonesia di dunia Internasional adalah di tahun 2015, Indonesia menunda eksekusi mati terhadap gembong Narkoba asal Australia karena ancaman boikot. Sedangkan di sisi lain, ketika WNI mendapat masalah di luar Negeri khususnya para TKI di timur tengah, Indonesia seingkali gagal dalam menjalankan praktek diplomasi dalam rangka memenuhi kepentingan warganya. Kasus terbaru lemahnya diplomasi Indonesia terkait kematian ABK warga negara Indonesia di di kapal ikan berbendera Tiongkok. Indikasi pelanggaran HAM dan perbudakan atas WNI sudah ada namun belum ada investigasi mendalam dari pihak pemerintah Indonesia dalam mendalami kasus tersebut. Pemerintah Indonesia hanya fokus melakukan investigasi terhadap perusahaan penyalur ABK tersebut, meskipun hal tersebut juga perlu dilakukan namun menurut saya bahwa proses investigasi terhadap pihak kapal Tiongkok lebih penting dalam rangka menunjukkan bahwa Indonesia kuat di mata internasional.
Terkait berbagai macam kelemahan diplomasi dan posisi daya tawar Indonesia di dunia internasiona, maka Indonesia harus mengambil langkah konkret dalam perbaikan citra Indonesia. langkah-langkah teoritis harus koheren dengan langkah praktis dalam memperbaiki posisi daya tawar Indonesia di mata dunia internasional, dengan tawaran metode sebagai berikut:
a) Indonesia harus memulai dari permasalahan domestik yaitu proses penegakan hukum (law enforcement) harus kuat. Kenyataan sehari-hari bahwa penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah baik karena instrumennya yang kurang maupun karena budaya penegakan hukum Indonesia yang masih dipengaruhi oleh faktor lain misalnya budaya suap.
b) Regulasi yang harus dibenahi. Proses diplomasi Indonesia belum didukung dengan perangkat regulasi yang jelas sehingga mengakibatkan terdapatnya celah yang menjadi kelemahan Indonesia. Misalnya terkait diplomasi ekonomi. Indonesia harus menciptakan sebuah regulasi yang pro terhadap kepentingan domestik untuk menghindari dominasi pihak swasta. Salah satu dengan menerapkan tarif impor yang menguntungkan pasar domestik.
c) Menjaga independensi terhadap negara lain. Seringkali posisi Indonesia di dunia internasional sangat lemah karena dominasi negara lain terhadap Indonesia. Pada masa Orde Baru, Indonesia didikte oleh kepentingan Amerika Serikat sedangkan di masa sekarang, ada indikasi bahwa Indonesia akan lemah ketika berhadap dengan Tiongkok karena besarnya bantuan Tiongkok terhadap Indonesia. Kasus pelanggaran HAM terhadap ABK di kapal ikan Tiongkok adalah salah satu indikasi bahwa Indonesia lemah di depan Tiongkok, meskipun hipotesa ini masih membutuhkan penelitian lanjutan terkait pemerintah Indonesia yang segan terhadap Tiongkok.
C. Peluang Forum MIKTA dan IORA bagi Indonesia untuk mengejar Kepentingan Nasional dan Relevansi ASEAN bagi Indonesia di Masa Sekarang
MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia) adalah forum internal yang dibentuk tahun 2013 saat sidang Majelis Umum PBB ke-67. Forum yang sudah berjalan 7 tahun tentunya tidak bisa dikatakan sudah mapan namun juga bukan menjadi justifikasi bahwa forum tersebut masih baru sehingga belum berimplikasi terhadap kepentingan Indonesia. Menurut saya bahwa meskipun forum ini sebagai forum informal namun masih sangat relevan bagi Indonesia untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Periode Indonesia sebagai program MIKTA yang dimulai pada tahun 2018 dengan tema “Membina Ekonomi Kreatif dan berkontribusi pada Perdamaian Global” sangat relevan dengan kepentingan Indonesia. Pertama mengenai ekonomi kreatif bahwa proyeksi tahan 2025, sektor ekonomi kreatif akan berkontribusi sekitar US$ 81 miliar (pada PDB nasional) Saat ini Indonesia mempunyai Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) yang bisa mengambil peran penting dalam proses penerapan program yang sudah dicanangkan pada forum MIKTA. Tema tersebut juga mengambil wacana terkait Perdamaian Global sehingga forum ini bisa menjadi jembatan bagi Indonesia untuk menampilkan Islam Indonesia yang lebih inklusif dan menghapus sejarah gelap serangkaian aksi teroris yang terjadi di Indonesia sejak era reformasi.
Indian Ocean Rim Association (IORA) yang sebelumnya bernama IOR-ARC berdiri sejak tahun 1997 seharusnya sudah menjadi organisasi yang mapan dan memberikan manfaat bagi semua negara anggota. IORA sebagai pelopor dan satu-satunya organisasi regional di wilayah Samudera Hindia bisa menjadi sebuah wadah bagi Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya terutama karena forum ini hanya satu-satunya di Samudera Hindia. Prioritas kerjasama dalam IORA mayoritas fokus pada bidang yang berkaitan dengan maritim. Poin prioritas kerjasama IORA antara lain keselamatan dan keamanan Maritim, fasilitasi Perdagangan, dan Manajemen Perikanan. Menurut saya bahwa prioritas kerjasama IORA menjadi sangat relevan di masa pemerintahan Joko Widodo karena seperti yang diketahui bahwa Joko Widodo menaruh perhatian yang sangat besar pada kepentingan Maritim dan sedang menggalakkan Diplomasi Maritim. Atas hal tersebut, organisasi IORA bisa dijadikan alat dalam mencapai tujuan Indonesia dalam hal kepentingan Maritim. IORA juga sudah lebih mapan karena adanya Piagam IORA yang mengikat setiap anggota.
Asean masih menjadi forum yang relevan bagi Indonesia untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Asean Community bisa menjadi pencapaian yang besar bagi negara anggota Asean termasuk Indonesia melalui 3 (tiga) pilar yang sudah ditetapkan yaitu Asean Political-Security Community/ASC, Asean Asean Economic Community/AEC dan Asean Socio-Cultural Community/ASCC. Ketiga pilar tersebut seharusnya tidak terlalu sulit diwujudkan oleh Asean meskipun memiliki tantangan masing-masing. Indonesia sendiri bisa mengambil keuntungan dari perwujudan Asean Community misalnya pilar Politik dan Keamanan, maka Indonesia bisa menjadikan Asean Community sebagai alat dalam menghalau dominasi Tiongkok yang mengklaim pulau Natuna, begitupun dengan negara anggota Asean lainnya yang memiliki konflik teritori dengan Tiongkok.
D. Langkah-Langkah Indonesia menghadapi tantangan di Abad ke-21
Menurut Rudine Emrich dan David Schulze, terdapat tiga tantangan Diplomasi di era abad ke 21 yaitu:
1) Aktor dan legitimasi
Keterlibatan aktor-aktor non-state baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses negosiasi. Menguatnya peran aktor non-state.
2) Diplomasi publik
Diplomasi secara berabad-abad dilaksanakan secara tertutup dan rahasia. Masyarakat awam tidak tahu pasti apa yang dibicarakan dimeja-meja perundingan, dan bagaimana kepentingan mereka dinegosiasikan
3) Digitalisasi
Pola komunikasi yang didukung teknologi digital dan kecepatan internet telah memberi pengaruh signifikan terhadap pola-pola diplomasi. Perundingan-perundingan yang terbuka dan hasilnya yang dengan mudah diakses oleh publik menunjukkan sifat terbuka dari diplomasi.
Berdasarkan pemaparan Emrich dan Schulze tentang tantangan Diplomasi di abad 21, menurut saya bahwa tantangan-tantangan tersebut bukan sesuatu yang harus dihindari karena fenomena tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang hadir di dunia Internasional dengan perkembangan dunia yang sangat dinamis. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah menjadikan tantangan-tantangan tersebut sebagai sebuah potensi dan peluang dalam menguatkan Diplomasi Indonesia di dunia Internasional.
Berikut langkah-langkah yang menurut pandangan saya mampu menguatkan posisi Diplomasi Indonesia antara lain:
1) Terkait tantangan mengenai aktor non-state yang semakin menguat, Pemerintah harus merangkul semua aktor non-State baik MNC, NGO, maupun Individu yang mempunyai peran dalam proses Diplomasi. Namun harus diingat bahwa ada batasan dalam menyertakan mereka dalam proses Diplomasi misalnya aturan yang ketat. Pemerintah tidak boleh membuka ruang yang terlalu longgar terhadap Transnasional Coperation (TNC) atau Multinational Corporation (MNC) sehingga mereduksi kepentingan domestik. Pemerintah harus menerapkan tarif inmpor yang menguntungkan negara dan melindungi pasar domestik dan pajak bagi pelaku ekonomi swasta. Hal yang terjadi sekarang adalah Pemerintah menurunkan tarif dan pajak yang rendah sehingga menguntungkan para aktor MNC/TNC. Logika yang sama menurut hukum Kapitalisme.
2) Terkait hambatan Diplomasi Publik bahwa kemajuan teknologi yang semakin pesat dengan keterbukaan informasi yang cukup lebar dan setiap orang bisa mengakses berita bahkan sampai pada level pengambilan kebijakan dalam tataran negara. ruang Diplomasi tentunya tidak lepas dari akses masyarakat umum untuk mengetahui kebijakan apa yang sedang diambil Pemerintah. Kenyataan tersebut tentunya menjadi tantangan bagi Pemerintah dalam menjalankan proses Diplomasi yang confidential namun di sisi lain, Diplomasi Publik bisa menjadi kekuatan Indonesia di mata Internasional. Indonesia harus menguatkan peran Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (IDP) dalam mengontrol Diplomasi Publik. Poin-poin penting dari tugas IDP yang harus diperkuat yaitu pelaksanaan informasi serta penyelenggaraan diplomasi publik, keamanan diplomatik dan kerja sama teknik. Dalam proses pelaksanaannya, Diplomasi Publik harus menampilkan wajah Indonesia di mata Internasional sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan dengan tampilan Islam yang inklusif.
3) Tantangan terkait Digitalisasi sangat erat hubungannya dengan tantangan mengenai Diplomasi Publik. Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa kemajuan teknologi tidak bisa dihindari dan tantangan Diplomasi yang berkaitan dengan digitalisasi sangat besar. Potensi kebocoran informasi yang confidential sangat besar sehingga langkah-langkah Pemerintah dalam menghadapi tantangan ini adalah dengan mengetatkan aturan pada teknologi dan informasi namun bukan berarti mengekang kebebasan namun lebih pada kebebasan yang bertanggung jawab di ranah digitalisasi. Memang perdebatan di wilayah ini sampai sekarang belum menemui kata final, bukan hanya di Indonesia namun di seluruh dunia. Tidak adanya territorial yang jelas membuat era digitalisasi menjadi ruang yang bisa dimanfaatkan oleh pihak manapun untuk kepentingan apapun termasuk mengakses informasi negara.
21 6 20
No comments:
Post a Comment